Metode dan Teknik Pengajaran Bahasa Indonesia

makalah pendekatan metode dan teknik pembelajaran bahasa indonesia di kelas rendah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi, butuh berkomunikasi dengan menusia lain. Interaksi terasa semakin penting pada saat manusia ingin menampilkan eksistensi diri agar keberadaan dirinya di antara manusia lain dapat diakui. Kemudian juga terasa sangat perlu dilakukan karena dorongan sosial-kultur, yang mendesak dan bergejolak ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain serta bisa memahami pesan yang disampaikan orang lain secara resiprokal, dapat saling memberi, saling menerima, saling memahami, dan saling mafhum.
Supaya interaksi dapat berlangsung interaktif, tentu membutuhkan alat, sarana atau media, dan yang paling utama digunakan manusia adalah BAHASA.
Ilmu Bahasa, Studi Bahasa, kajian tentang bahasa, sekarang sudah bersifat universal. Demikian pula pendidikan bahasa dan pembelajaran bahasa setiap jenjang pendidikan pada era globalisasi ini amat sangat diperlukan. Oleh karena itu, pengajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia, telah ditanamkan kepada anak sejak di usia dini. Hal ini dapat dilihat dari pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar khususnya di kelas rendah oleh para pendidik/guru.
Berhasil atau tidaknya seorang pendidik mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada anak didiknya, dapat dilihat dari metode pengajaran yang digunakan pendidik tersebut dan bagaimana respons dari anak didiknya. Jika seorang pendidik memakai suatu metode tertentu dengan baik dan benar ketika mengajar maka anak didiknya pun akan merespons pesan atau informasi yang diberikan pendidik tersebut dengan baik pula. Begitupun sebaliknya.
1.2 Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan pengajaran bahasa Indonesia dan apa saja fungsinya?
  2. Bagaimana pelaksanaan pengajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah?
  3. Metode apa saja yang digunakan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah?
  4. Teknik apa saja yang digunakan dalam pengajaran Bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui pengertian dari pengajaran bahasa Indonesia
  2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengajaran bahasa Indonesia
  3. Untuk mengetahui metode metode yang digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia
  4. Untuk mengetahui teknik teknik yang digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia
1.4 Manfaat Penulisan
Untuk menambah pengetahuan tentang pengajaran pembelajaran bahasa Indonesia. Untuk gambaran tentang bagaimana seharusnya guru mengajarkan bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dengan benar.
makalah pendekatan metode dan teknik pembelajaran bahasa indonesia
pembelajaran bahasa indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengajaran Bahasa Indonesia dan Fungsinya

Pengajaran Bahasa Indonesia (MK, 1991) adalah proses mengajar atau mengajarkan Bahasa Indonesia. Tujuan utamanya adalah siswa mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa Indonesia diajarkan kepada siswa dengan kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara. Dalam mempelajari Bahasa Indonesia, siswa sudah memiliki bahasa pertama yaitu bahasa daerah. Oleh karena itu, pengajaran Bahasa Indonesia ini merupakan pengajaran bahasa kedua setelah bahasa daerah.
Menurut Bachman memandang bahwa pengajaran bahasa kedua (Rosmana, 2008) adalah pemberdayaan sejumlah kompetensi siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa tertentu. Ada 5 kompetensi yang harus diberdayakan dalam diri siswa.
  1. Kompetensi kebiasaan
  2. Kompetensi kognitif (skemata)
  3. Kompetensi strategi produktif
  4. Kompetensi mekanisme psikofisik
  5. Kompetensi kontekstual
Pengajaran Bahasa Indonesia yang dilaksanakan di Sekolah Dasar adalah mengjarkan bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Untuk itu, fungsi pengajaran Bahasa Indonesia, selain untuk meningkatkan kemampuan komunikasi siswa, ada fungsi lainnya yaitu :
  1. Sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa.
  2. Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya.
  3. Sarana peningkatan pengetahuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  4. Sarana penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan konteks untuk berbagai keperluan dan berbagai masalah.
  5. Sarana pengembangan kemampuan intelektual / penalaran (Depdiknas, 1994).
Oleh karena itu, pengajaran Bahasa Indonesia dapat dipandang sebagai upaya mengindonesiakan anak-anak Indonesia melalui Bahasa Indonesia.

2.2 Pelaksanaan Pengajaran Bahasa Indonesia di SD khususnya kelas 2

Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh penutur. Dalam pelaksanaannya, bermacam-macam fungsi tersebut dapat dipadukan melalui berbagai kegiatan pembelajaran (bermain peran, percakapan mengenai topic tertentu, menulis karangan, dsb).
Landasan formal pengajaran Bahasa Indonesia adalah Kurikulum Bahasa Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah. Dikemukakan dalam Kurikulum (GBPP) Bahasa Indonesia SD bahwa pengajaran Bahasa Indonesia pada hakikatnya belajar berkomunikasi dan peningkatan kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia lisan maupun tulisan.
Berdasarkan penjelasan dalam Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia SD, bahwa bahan pembelajaran kebahasaan mencakup lafal, ejaan dan tanda baca, kosakata, struktur, paragraph, dan wacana. Lafal yang baik dan wajar perlu diperkenalkan sejak dini, termasuk cara pengucapan yang jelas dan intonasi yang wajar sesuai dengan situasi kebahasaan. Ejaan dan tanda baca diajarkan tahap demi tahap untuk membiasakan siswa menggunakannya baik untuk kegiatan membaca meupun menulis dengan tingkat ketelitian dan pemahaman yang tinggi. Ketelitian di dalam ejaan dan tanda baca diperlukan di dunia modern. Misalnya untuk memahami atau menyusun dokumen penting dan penggunaan komputer. Sarana penahapan dan penyebaran pembelajaran mengenai lafal, intonasi, ejaan, dab tanda baca, untuk siswa yang berkemampuan lebih tinggi, butir-butir pada tahapan kemudian dapat diperkenalkan lebih awal. Pembelajaran kosakata, struktur, paragraf, dan wacana bukan berupa penyajian kaidah atau peristilahan, melainkan berupa kegiatan memahami dan menggunakan kosakata dan struktur. Jadi, penekanan pembelajaran kosakata, struktur, paragraf, dan wacana bukan pada pembahasan bagian-bagian kalimat, paragraf, atau wacana, melainkan pada pengembangan gagasan melalui hubungan antar kalimat, antar kalimat dalam paragraf, dan antar paragraf menjadi wacana yang utuh.

2.3 Metode Pengajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah

Menurut GBPP 1984 yang memuat empat belas metode pengajaran bahasa. Metode-metode sebagai berikut ini (Resmini, 2006):
  1. Metode Penugasan
  2. Metode Eksperimen
  3. Metode Proyek
  4. Metode Diskusi
  5. Metode Widyawisata
  6. Metode Bermain Peran
  7. Metode Demontrasi
  8. Metode Sosiodrama
  9. Metode Pemecahan Masalah
  10. Metode Tanya-Jawab
  11. Metode Latihan
  12. Metode Ceramah
  13. Metode Bercerita
  14. Metode Pameran Tarian
Sedangkan untuk sekarang metode lebih meliputi, pemilihan bahan, penentuan urutan bahan, pengembangan bahan, rancangan evaluasi dan remedial. berikut ini adalah metode yang digunakan dalam Kurikulum 2004 maka langkah dilakukan setelah guru menetapkan kompetensi dasar beserta indikato -indikatornya. Beberapa metode ini digunakan secara terpisah maupun digabungkan dengan metode lain atau beberapa metode dalam pelaksanaannya.

1. Metode Langsung

Metode ini menerapkan secara langsung semua aspek dalam bahasa yang diajarkan. Misalnya, dalam suatu pembelajaran pelajaran bahasa Indonesia didaerah bahasa pengantar dikelas adalah bahasa Indonesia tanpa diselingi bahasa daerah/bahasa ibu.

2. Metode Alamiah

Metode ini berprinsip bahwa mengajar bahasa baru (seperti bahasa kedua) harus sesuia dengan kebiasaan belajar bahasa yang sesungguhnya seperti yang dilalui anak-anak ketika belajar bahasa ibunya.proses alamiah sangat berpengaruh pada metode ini.

3. Metode Tatabahasa

Metode ini memusatkan pada pembelajaran vokabulerr (kosakata), kelebihan metode ini terletak pada kesederhanaannya dan sangat mudah dalam pelaksanaannya.

4. Metode Terjemahan

Metode terjemahan (the translation method) adalah metode yang lazim digunakan dalam pengajaran bahasa asing, termasuk alam pengajaran bahasa Indonesia yang umumnya merupakan bahasa kedua setelah bahasa penggunaan bahasa ibu/daerah.

5. Metode Pembatasan Bahasa

Metode ini menekankan pada pembatasan dan penggradasian kosakata dan struktur bahasa yang akan diajarkan, kata-kata dan pola kalimat yang tinggi pemakaiannya dimasyarakat diambil sebagai sumber bacaan dan latihan penggunaan bahasa.

6. Metode Linguistik

Prinsip metode ini adalah pendekatan ilmiah karena yang menjadi landasan pembelajaran adalah hasil dari penelitian para linguis (ahli bahasa). Urutan penyajian bahan pembelajaran disusun sesuai tahap-tahap kesukaran yang mungkin dialami siswa.
Dengan demikian pada metode ini tidak dilarang menggunakan bahasa ibu murid, karena bahasa ibu murid akan memperkuat pemahaman bahasa tersebut.

7. Metode SAS

Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik) bersumber pada ilmu jiwa yang berpandangan bahwa pengamatan dan penglihatan pertama manusia adalah global atau bersifat menyeluruh. Dengan demikian segala sesuatu yang diperkenalkan pada murid haruslah mulai ditunjukan dan diperkenalkan struktur totalitasnya atau secara global.

8. Metode Bibahasa

Metode ini hampir sama dengan metode linguistik, bahasa ibu murid digunakan untuk menerangkan perbedaan–perbedaan fonetik, kosakata, struktur kalimat dan tata bahasa kedua bahasa itu.

9. Metode Unit

Metode ini berdasarkan pada 5 tahap, yaitu:
a. mempersiapkan murid untuk menerima pengajaran
b. penyajian bahan
c. bimbingan melalui proses induksi
d. generalisai dan penggunaannya di sekolah dasar
Perencanaan atau disebut desain yang disusun di depan kelas. Ada tiga tahapan kegiatan teknik di depan kelas. Pertama, kegiatan penyajian dan penjelasan bahan pembelajaran. Kedua, kegiatan latihan yang dilaksanakan oleh siswa dalam rangka memahami bahan pembelajaran. Ketiga, kegiatan umpan balik untuk menentukan arah kegiatan belajar berikutnya sekaligus merupakan pengulangan atau lanjutan kegiatan belajar berikutnya.

2.4 Teknik Pengajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah

Setelah memahami metode pembelajaran bahasa guru juga harus mengetahui teknik-teknik atau strategi pengajaran yang lazim digunakan. Teknik bersifat prosedural. Teknik yang baik dijabarkan metode dan serasi dengan pendekatan. Berikut sejumlah teknik pengajaran bahasa Indonesia yang biasa dipraktikan guru bahasa Indonesia.

1. Teknik Ceramah

Pelaksanaan teknik ceramah dikelas rendah dapat berbentuk cerita kenyataan, dongeng atau informasi tentang ilmu pengetahuan.

2. Teknik Tanya Jawab

Teknik tanya jawab dapat diterapkan pada latihan keterampialn menyimak, membaca, berbicara dan menulis. Selain guru bertanya pada murid, murid juga dapat bertanya pada guru.

3. Teknik Diskusi Kelompok

Teknik ini dapat dilakukan di kelas rendah dengan bimbingan guru. Peran guru terutama dalam pemilihan bahan diskusi, pemilihan ketua kelompok dan memotivasi siswa lainnya agar mau berbicara atau bertanya.

4. Teknik Pemberian Tugas

Teknik ini bertujuan agar siswa lebih aktif dalam mendalami pelajaran dan memiliki keterampilan tertentu, untuk siswa kelas rendah tugas individual seperti membuat catatan kegiatan harian atau disuruh menghapal puisi atau lagu.

5. Teknik Bermain Peran

Teknik ini bertujuan agar siswa menghayati kejadian atau peran seseorang dalam hubungan sosialnya. Dalam bermain peran siswa dapat mencoba menempatkan diri sebagai tokoh atau pribadi tertentu, misal: sebagai guru, sopir, dokter, pedagang, hewan, dan tumbuhan. Setelah itu diharapkan siswa dapat menghargai jasa dan peranan orang lain, alam dalam kehidupannya.

6. Teknik Karya Wisata

Teknik ini dilaksanakan dengan cara membawa langsung siswa kepada obyek yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Misalkan : museum, kebun binatang, tempat pameran atau tempat karya wisata lainnya.

7. Teknik Sinektik

Strategi pengajaran sinektik merupakan susatu strategi untuk menjadikan suatau masyarakat intelektual yang menyediakan berbagai siswa untuk bertindak kreatif dan menjelajahi gagasan-gagasan baru dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan alam, teknologi, bahasa dan seni. Kelebihan teknik ini antara lain:
  • Strategi ini bermanfaaat untuk mengembangkan pengertian baru pada diri siswa tenang sesuatu masalah sehingga dia sadar bagaimana bertingkah laku dalam situasi tertentu.
  • Strategi ini bermanfaat karena dapat mengembangkan kejelasan pengertian dan internalisasi pada diri siswa tentang materi baru.
  • Strategi ini dapat mengmbangkan berpikir kreatif, baik pada diri siswa maupun pada guru.
  • Strategi ini dilaksanakan dalam suasana kebebasan intelektual dan kesamaan martabat antara siswa.
  • Strategi ini membantu siswa menemukan cara berpikir baru dalam memecahkan suatu masalah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD khususnya kelas 2, akan menjadi sangat efektif, bermakna, dan berhasil mencapai tujuan jika guru mempertimbangkan berbagai faktor yang ada pada siswanya seperti motivasi, tipe belajar, lingkungan belajar yang disenangi, kelemahan dan kelebihan yang dimiliki siswa.
Peran aktif guru dalam penyampaian materi pelajaran Bahasa Indonesia di kelas sangat menentukan diterima atau tidaknya pesan dan informasi oleh siswa. Kesalahan-kesalahan siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia harus dapat dijadikan motivasi siswa untuk belajar memperbaiki kesalahan tersebut dan mengetahui kebenaran atas kesalahan tersebut. Di sinilah peran guru untuk meluruskan dan mengarahkannya.
Metode- metode yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia antara lain : metode langsung, metode alamiah, metode tata bahasa, metode terjemahan, metode linguistik,metode pembatasan bahasa, metode SAS, metode bibahasa dan metode unit.
Teknik teknik yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia antara lain : teknik ceramah, teknik Tanya jawab, teknik diskusi kelompok, teknik pemberian tugas, teknik bermain peran, teknik karya wisata dan teknik sinektik.
3.2 Saran
Kita sebagai calon guru yang akan mengajar di sekolah Dasar hendaknya mengetahui tentang apa apa saja yang harus dipahami oleh kita sebagai calon guru. Jangan sampai kita mengajar dengan asal asalan karena itu akan membuat ketidak nyamanan bagi siswa. Di biasakan setiap kita akan mengajar kita terlebih dahulu harus mempunyai rencana pembelajaran atau yang biasa di sebut RPP, mengapa demikian agar pembelajaran kita terencana. Jadi kita dapat mengetahui tema apa yang akan di bahas metode apa saja yang akan digunakan dan teknik apa saja yang akan dipakai. Oleh karena itu kita harus selaku calon guru harus mengetahui teori-teori tersebut sehingga dapat dituangkan dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, M. (1990). Dasar Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: y3A.
Alwasilah, A. c. (1992). Kuliah Dasar-Dasar Teori Linguistik. Bandung: Tunas Putra.
Budiningsih, C. A. (2004). Belajar dan Pembelajaran . Jakarta : Rineka Cipta.
Hermawan, A. H. (2007). Belajar dan Pembelajaran SD. Bandung: UPI PRESS.
MK, S. A. (1991). Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Resmini, N. (2006). Membaca dan Menulis di SD Teori dan Pengajarannya. Bandung: UPI PRESS.
Rosmana, I. A. (2008). Pendidikan Bahasa Indonesa. Bandung: Sonagar Press.
Sudjana, N. (2005). Dasar Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Syafi’ie, I. (1996). Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Distosia

Distosia (Jenis dan Penyebab Distosia)

Distosia artinya kelambatan ataupun kesulitan persalinan normal. Distosia biasanya disebabkan karena kelainan tenaga, kelainan letak, dan bentuk janin, serta kelainan jalan lahir.
 distosia adalah persalinan yang normal
Distosia Bayi

Ada dua jenis tipe distosia, antaralain:
  1. Distosia servikalis. Leher rahim gagal melebar selama persalinan, sehingga kontraksinya tidak cukup kuat untuk mengeluarkan bayi. Distosia serviks digolongkan sebagai darurat medis. Dokter akan mencoba merangsang kontraksi dengan oksitosin. Namun, jika gagal, bayi perlu dikeluarkan melalui operasi Caesar. Faktor penyebab: cidera leher rahim, ibu obesitas dan diabetes.
  2. Distosia bahu. Kondisis darurat medis yang ekstrim, dan jarang sekali terjadi. Hanya terjadi pada 0,6% kelahiran. Hal ini terjadi ketika kepala bayi telah sampai ke jalan lahir, namun bahunya terjebak atau tersangkut di pinggir panggul. Kegagalan ini bisa menyebabkan kematian ibu dan janin. Tindakan yang bisa dilakukan adalah Meminta ibu untuk menekuk kedua tungkainya dan mendekatkan lututnya sejauh mungkin ke arah dadanya dalam posisi ibu berbaring terlentang. Meminta bantuan 2 orang untuk menekan fleksi kedua lutut ibu ke arah dada. Jika gagal, dokter akan membuat episiotomi yang cukup luas untuk mengurangi obstruksi jaringan lunak dan memberi ruangan yang cukup untuk tindakan. Jika berbagai posisi dan usaha belum juga berhasil, diperlukan segera operasi Caesar darurat. 
Faktor penyebab Distosia dikarenakan kelainan panggul.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan normal suatu keadaan fisiologis, normal dapat berlangsung sendiri tanpa intervensi penolong. Kelancaran persalinan tergantung 3 faktor ”P” utama yaitu kekuatan ibu (power), keadaan jalan lahir (passage) dan keadaan janin (passanger). Faktor lainnya adalah psikologi ibu (respon ibu ), penolong saat bersalin, dan posisi ibu saat persalinan. Dengan adanya keseimbangan atau kesesuaian antara faktor-faktor “P” tersebut, persalinan normal diharapkan dapat berlangsung. Bila ada gangguan pada satu atau lebih faktor “P” ini, dapat terjadi kesulitan atau gangguan pada jalannya persalinan. Kelambatan atau kesulitan persalinan ini disebut distosia.
Salah satu penyebab dari distosia karena adalah kelainan jalan lahir lunak seperti vulva, vagina, serviks dan uterus. Distosia berpengaruh buruk bagi ibu maupun janin. Pengenalan dini dan penanganan tepat akan menentukan prognosis ibu dan janin.
1.2 Rumusan masalah
Ø Kesempitan Pintu Atas Panggul – Pap
Ø Kesempitan Bidang Tengah Panggul – Btp
Ø Kesempitan Pbp

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesempitan Pintu Atas Panggul – Pap

Pintu atas panggul dianggap sempit kalau konjugata vera kurang dari 10 cm atau kalau diameter transversa kurang dari 12 cm. kesempitan pada konjugata vera (panggul picak) umumnya lebih menguntungkan daripada kesempitan pada semua ukuran (panggul sempit seluruhnya). Oleh karena pada panggul sempit kemungkinan lebih besar bahwa kepala tertahan oleh pintu atas panggul, maka dalam hal ini serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala. Hal ini dapat mengakibatkan inersia uteriserta lambannnya pendataran dan pembukaan serviks. Apabila pada panggul sempit pintu atas panggul tidak tertutup dengan sempurna oleh kepala janin, ketuban bisa pecah pada pembukaan kecil dan ada bahaya pula terjadinya prolapsus funikuli. Pada panggul turunnya kepala bisa tertahan dengan akibat terjadinya defleksi kepala, sedang pada panggul sempit seluruhnya ditemukan rintangan pada semua ukuran; kepala memasuki rongga panggul dengan hiperfleksi.
Bisa juga melalui perkiraan diameter AP – Pintu Atas Panggul dilakukan melalui pengukuran Conjugata Diagonalis secara manual (VT) dan kemudian dikurangi 1.5 cm ; sehingga kesempitan pintu atas panggul sering ditegakkan bila ukuran CD kurang dari 11,5 cm. Pada kehamilan aterm, ukuran rata-rata diameter biparietal – BPD 9.5 – 9.8 cm. Sehingga kepala janin yang normal tidak mungkin dapat melalui panggul bila diameter AP – Pintu Atas Panggul .
Perlu diingat bahwa ibu yang bertubuh kecil, biasanya memiliki panggul yang kecil namun anak dalam kandungannya biasanya juga kecil. Dalam keadaan normal, bila ketuban masih utuh dilatasi servik terjadi melalui tekanan hidrostatik pada selaput ketuban atau bila sudah pecah, dilatasi servik terjadi akibat tekanan langsung bagian terendah janin terhadap servik. Pada kasus kesempitan panggul dimana kepala janin masih berada diatas Pintu Atas Panggul, semua tekanan hidrostatik disalurkan pada bagian selaput ketuban yang berada diatas ostium uteri internum sehingga sering terjadi peristiwa Ketuban Pecah Dini-KPD pada kasus kesempitan Pintu Atas Panggul. Setelah ketuban pecah, tidak adanya tekanan hidrostatik selaput ketuban pada servik dan Segmen Bawah Rahim menyebabkan kontraksi uterus menjadi tidak efektif bagi jalannya persalinan.
Kesempitan Pintu Atas Panggul merupakan predisposisi terjadinya kelainan presentasi. Pada wanita dengan kesempitan panggul, angka kejadian letak muka dan letak lintang meningkat 3 kali lipat dan angka kejadian prolapsus talipusat meningkat 5 – 6 kali lipat.
Perkiraan Ø AP – PAP dilakukan dengan mengukur Conjugata Diagonalis secara manual (VT) dan kemudian dikurangi 1.5 cm ; kesempitan PAP ditegakkan bila ukuran CD < 11.5 cm.
Pada kehamilan aterm, ukuran rata-rata Ø biparietal - BPD 9.5 – 9.8 cm. Sehingga kepala janin yang normal tidak mungkin dapat melewati panggul bila Ø AP – PAP < 10 cm.
Perlu diingat bahwa ibu yang bertubuh kecil, biasanya memiliki panggul yang kecil namun anak dalam kandungan ibu yang dimaksud biasanya juga kecil. 
Dalam keadaan normal, bila ketuban masih utuh dilatasi servik dibantu pula dengan tekanan hidrostatik pada selaput ketuban atau bila sudah pecah, dilatasi servik terjadi akibat tekanan langsung bagian terendah janin terhadap servik serta penebalan fundus uteri dan penipisan segmen bawah rahim.
Pada kasus kesempitan panggul dimana kepala janin masih berada diatas PAP, semua tekanan hidrostatik disalurkan pada bagian selaput ketuban yang berada diatas ostium uteri internum sehingga sering terjadi peristiwa Ketuban Pecah Dini-KPD pada kasus kesempitan PAP.

2.2 Kesempitan Bidang Tengah Panggul – Btp

Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding-dinding panggul tidak berkonvergensi, foramen iskiadikum mayor cukup luas, dan spina iskiadika tidak menonjol ke dalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin. Apabila ukurannya kurang dari 9,5 cm, perlu kita waspada terhadap kemungkinan kesukaran pada persalinan, apalagi bila diameter sagitalis posterior juga pendek. Pada panggul tengah yang sempit, lebih sering ditemukan posisi oksipitalis posterior persisten atau presentasi kepala dalam posisi lintang tetap (transverse arrest).
Kejadian ini lebih sering terjadi dibandingkan kesempitan Pintu Atas Panggul. Kejadian ini sering menyebabkan kejadian “deep tranverse arrest” ( LETAK MALANG MELINTANG RENDAH ) pada perjalanan persalinan dengan posisi occipitalis posterior ( sebuah gangguan putar paksi dalam akibat kesempitan Bidang Tengah Panggul ).
Bidang obstetrik Bidang Tengah Panggul terbentang dari tepi bawah simfisis pubis melalui spina ischiadica dan mencapai sacrum didekat pertemuan antara vertebra sacralis 4 – 5. Garis penghubung kedua spina ischiadica membagi Bidang Tengah Panggul menjadi bagian anterior dan bagian posterior. Batas anterior bagian anterior Bidang Tengah Panggul adalah tepi bawah Simfisis Pubis dan batas lateralnya adalah rami ischiopubic. Batas dorsal bagian posterior Bidang Tengah Panggul adalah sacrum dan batas lateralnya adalah ligamentum sacrospinosum.
Ukuran rata-rata Bidang Tengah Panggul :
· Diameter tranversal (interspinous) = 10.5 cm
· Diameter AP (tepi bawah SP sampai pertemuan S4 – S5) 11.5 cm
· Diameter Sagitalis Posterior – DSP ( titik pertengahan diameter interspinous dengan pertemuan S4 – S5) 5 cm
Kesempitan BTP tidak dapat dinyatakan secara tegas seperti halnya kesempitan PAP. Chen dan Huang ( 1982) : BTP diperkirakan mengalami kesempitan bila jumlah dari Diameter Interspinous + DSP ( normal 10.5cm + 5cm = 15.5 cm) kurang dari 13.5 cm. Dengan demikian maka BTP diduga mengalami penyempitan bila diameter interspinous. Dugaan klinik adanya kesempitan BTP adalah bila pada pemeriksaan panggul teraba adanya penonjolan spina ischiadica yang menyolok.
Kejadian ini lebih sering terjadi dibandingkan kesempitan PAP 
Kejadian ini sering menyebabkan kejadian “deep tranverse arrest” pada perjalanan persalinan dengan posisio occipitalis posterior, sebuah gangguan putar paksi dalam akibat kesempitan BTP.
Bidang obstetrik BTP terbentang dari tepi bawah simfisis pubis melalui spina ischiadica dan mencapai sacrum didekat pertemuan antara vertebra sacralis 4 – 5. 
Garis penghubung kedua spina ischiadica membagi BTP menjadi bagian anterior dan bagian posterior.
Batas anterior bagian anterior BTP adalah tepi bawah Simfisis Pubis dan batas lateralnya adalah rami ischiopubic.
Batas dorsal bagian posterior BTP adalah sacrum dan batas lateralnya adalah ligamentum sacrospinosum.
2.3 Kesempitan Pintu Bawah Panggul – Pbp
Pintu bawah panggul merurpakan bidang yang tidak datar, tetapi terdiri atas segitiga depan dan segitiga belakang yang mempunyai dasar yang sama, yakni distansia tuberum. Apabila ukuran yang terakhir ini lebih kecil daripada biasa, maka sudut arkus pubis mengecil pula (kurang dari 80°). Agar kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang lebih besar pada bagian belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis posterior yang cukup panjang persalinan per vaginaan dapat dilaksanakan, walaupun dengan perlukaan luas pada perineum. PBP berbentuk dua buah segitiga yang memiliki satu sisi bersama ( berupa diameter intertuberous) dan tidak terletak pada bidang yang sama.
Apex segitiga anterior permukaan posterior arcus pubis. Apex segitiga posterior ujung vertebra sacralis terakhir ( bukan ujung coccyx). Terjadi kesempitan pada Pintu Bawah Panggul bila diameter intertuberosa. Berkurangnya nilai diameter intertuberosa menyebabkan sempitnya segitiga anterior sehingga pada kala II, kepala terdorong lebih kearah posterior dengan konskuensi pada persalinan terjadi robekan perineum yang luas. Distosia akibat kesempitan Pintu Bawah Panggul saja jarang terjadi mengingat bahwa kesempitan PBP hampir selalu disertai dengan kesempitan Bidang Tengah Panggul.
MENUA, suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normal tubuh. Akibatnya, mudah menderita penyakit. Salah satu penyakitnya, Penyakit Arteri Perifer (PAP) yang merupakan petanda adanya proses aterosklerosis sistemik. 
Masalah ini dikupas dalam disertasi dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.Pd. K.Ger lewat kajian terhadap risiko terjadinya penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus tipe 2 lanjut usia, dalam ujian doktornya yang berlangsung terbuka di Gedung Program Pascasarjana Unud, Jumat (8/5).
Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 dan WHO, yang disebut lansia mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Diproyeksikan penduduk lansia di Indonesia tahun 2010 sebanyak 23.992.552 jiwa. Berdasarkan data US Bureau of Census tahun 1990 hingga 2020 jumlah penduduk lansia di Indonesia mengalami pertambahan 414%. Berdasarkan BPS 2005 ditengarai Indonesia menjadi negara keempat terbesar yang memiliki penduduk lansia setelah Cina, India, dan AS. Menua berasosiasi dengan peningkatan risiko terjadinya PAP terutama dimulai usia 40 tahun. Kejadian PAP sangat tinggi terjadi di kalangan perempuan berusia lebih dari 70 tahun.
PAP merupakan pertanda adanya proses aterosklerosis sistemik. Perkembangan aterosklerosis pada PAP sama halnya aterosklerosis koroner. Perkembangannya sangat dipengaruhi banyak faktor seperti penyakit jantung koroner klasik atau faktor tradisional seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, riwayat diabetes melitus dan kebiasaan merokok. Beberapa peneliti menemukan proporsi PAP pada diabetes sekitar 16-30%.
PBP berbentuk dua buah segitiga yang memiliki satu sisi bersama (berupa distansia intertuberous) dan tidak terletak pada bidang yang sama.
Apex segitiga anterior permukaan posterior arcus pubis.
Apex segitiga posterior ujung vertebra sacralis terakhir ( bukan ujung coccyx).
Berkurangnya nilai distansia intertuberosa menyebabkan sempitnya segitiga anterior sehingga pada kala II, kepala terdorong lebih kearah posterior dengan konskuensi dapat terjadinya robekan perineum yang luas. Distosia akibat kesempitan PBP saja jarang terjadi oleh karena kesempitan PBP hampir selalu disertai dengan kesempitan BTP.

2.4 Penanganan Distosia

Dewasa ini 2 tindakan dalam penanganan disproporsi sefalopelvikyang dahulu banyak dilakukan tidak diselenggarakan lagi. Cunam tinggi dengan menggunakan axis-traction forceps dahulu dilakukan untuk membawa kepala janin – yang dengan ukuran besarnya belum melewati pintu atas panggul – ke dalam rongga panggul dan terus keluar.
Tindakan ini ini sangat berbahaya bagi janin dan ibu, kini diganti oleh seksio sesarea yang jauh lebih aman. Induksi partus prematurus umumnya juga tidak dilakukan lagi. Keberatan tindakan ini ialah kesulitan untuk menetapkan apakan janin walaupun belum cukup bulan, sudah cukup tua dan besar untuk hidup dengan selamat di luar tubuh ibu dan apakah kepala janin dapat dengan aman melewati kesempitan pada panggul ibu.
Selain seksio sesarea, dapat pula dilakukan partus percobaan, simfisiotomia dan karsiotomia. Namun simfisiotomia jarang sekali dilakukan di Indonesia, sedangkan kraniotomia hanya dilakukan pada janin mati.

Seksio sesarea

Seksio sesarea dapat dilakukan secar elektif atau primer, yakni sebelum persalinan mulai atau pada awal persalinan, dan secara sekunder, yakni sesudah persalinan berlangsung selama beberapa waktu.
Seksio sesarea elektif direncanakan lebih dahulu dan dilakukan pada kehamilan cukup bulan karena kesempitan panggul yang cukup berat, atau karena terdpat disproporsi sefalopelvik yang nyata. Selain itu seksio tersebut diselenggarakan pada kesempitan ringan apabila ada factor-faktor lain yang merupakan komplikasi, seperti primigrvida tua, kelainan letak janin yang tidak dapat diperbaiki, kehamilan pada wanita yang mengalami masa infertilitas yang lama, penyakit jantung dan lain-lain.
Seksio sesarea sekundar dilakukan karena persalinan percobaan dianggap gagal, atau karena timbul indikasi untuk menyelesaikan persalinan selekas mungkin, sedang syarat-syarat untuk persalinan per vaginam tidak atau belum dipenuhi.

Persalinan percobaan

Setelah pada panggul sempit berdasarkan pemeriksaan yang teliti pada hamil tua diadakan penilaian tentang bentuk serta ukuran-ukuran panggul dalam semua bidang dan hubungan antara kepala janin dan panggul, dan setelah dicapai kesimpulan bahwa ada harapan bahwa persalinan dapat berlangsung per vaginam dengan selamat, dapat diambil keputusan untuk menyelenggarakan persalinan percobaan. Dengan demikian persalinan ini merupakan suatu test terhadap kekuatan his dan daya akomodasi, termasuk moulage kepala janin; kedua fakto ini tidak dapat diketahui sebelum persalinan berlangsung selama beberapa waktu.
Pemilihan kasus-kasus untuk persalinan percobaan harus dilakukan dengan cermat. Di atas sudah dibahas indikasi-indikasi untuk seksio sesarea elektif; keadaan-keadaan ini dengan sendirinya merupakan kontra indikasi untuk persalinan percobaan. Selain itu, janin harus berada dalam presentasi kepala dan tuanya kehamilan tidak lebih dari 42 minggu. Karena kepala janin bertambah besar serta lebih sukar mengadakan moulage, dan berhubung dengan kemungkinan adanya disfungsi plasenta, janin mungkin kurang mampu mengatasi kesukaran yang dapat timbul pada persalina percobaan. Perlu disadari pula bahwa kesempitan panggul dalam satu bidang, seperti pada panggul picak, lebih menguntungkan daripada kesempitan dalam beberapa bidang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pengawasan terhadap keadaan ibu dan janin. Pada persalina yang agak lama perlu dijaga agar tidak terjadi dehidrasi dan asidosis.
2. Pengawasan terhadap turunnya kepala janin dalam rongga panggul. Karena kesempitan pada panggul tidak jarang dapat menyebabkan gangguan pada pembukaan serviks.
3. Menentukan berapa lama partus percobaan dapat berlangsung.

Simfisiotomi

Simfisotomi ialah tindakan untuk memisahkan tulang panggul kiri dari tulang panggul kanan pada simfisis agar rongga panggul menjadi lebih luas. Tindakan ini tidak banyak lagi dilakukan karena terdesak oleh seksio sesarea. Satu-satunya indikasi ialah apabila pada panggul sempit dengan janin masih hidup terdapat infeksi intrapartum berat, sehingga seksio sesarea dianggap terlalu berbahaya.

Kraniotomi

Pada persalinan yang dibiarkan berlarut-berlarut dan dengan janin sudah meninggal, sebaiknya persalina diselesaikan dengan kraniotomi dan kranioklasi. Hanya jika panggul demikian sempitnya sehingga janin tidak dapat dilahirkan dengan kraniotomi, terpaksa dilakukan seksio sesarea.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persalinan tidak selalu berjalan lancar, terkadang ada kelambatan dan kesulitan yang dinamakan distosia. Salah satu penyebab distosia itu adalah kelainan pada jalan lahir. Kelainan jalan lahir dapat terjadi di vulva, vagina, serviks dan uterus. Peran bidan dalam mengangani kasus ini adalah dengan kolaborasi dan rujukan ke tempat pelayanan kesehatan yang memilki fasilitas yang lengkap.
3.2 Saran
Peran bidan dalam menangani kelainan jalan lahir hendaknya dapat dideteksi secara dini melalui ANC yang berkualitas sehingga tidak ada keterlambatan dalam merujuk. Dengan adanya ketepatan penanganan bidan yang segera dan sesuai dengan kewenangan bidan, diharapkan akan menurunkan angka kematian ibu dan bayi.

Euthanasia

Eutanasia (Pengertian, Jenis dan Pandangan Agama terhadap Praktek Eutanasia)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di beberapa Negara di dunia, euthanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur euthanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang penyelenggaraan eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye anti euthanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan bahwa praktek euthanasia memang masih kerap terjadi. Perlu diketahui, eutanasia tidak hanya diterapkan kepada manusia saja, beberapa kasus euthanasia justru diterapkan kepada hewan peliharaan, seperti kucing dan anjing. Bahkan pada baberapa kepercayaan, mereka yang meninggal harus dikuburkan bersama barang-barang kesayangannya sewaktu hidup, termasuk juga hewan peliharannya seperti anjing atau kucing. Sehingga, saat sang majikan meninggal, biasanya hewan peliharaannya di euthanasia terlebih dahulu, kemudian dikuburkan bersama.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah tentang euthanasia ini. Rumusan masalah tersebut yaitu:
a. Apa pengertian dari eutanasia?
b. Apa saja jenis-jenis euthanasia yang pernah dilakukan?
c. Bagaimana sejarah penerapan eutanasia?
d. Bagaimana pandangan Agama terhadap praktek eutanasia?
euthanasia adalah
euthanasia artinya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian eutanasia

Secara bahasa, istilah eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang berarti kematian, sehingga istilah euthanasia secara singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang baik’.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, eutanasia artinya tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yg tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Sedangkan Wikipedia menyebutkan bahwa eutanasia berarti praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Menurut pengertian ini, kita dapat membagi eutanasia menjadi 3 jenis utama, ketiga jenis tersebut yaitu:
  1. eutanasia agresif : atau suatu tindakan euthanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup sang pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien. Baik dengan alasan maupun tanpa alasan tertentu.
  2. eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (euthanasia otomatis) termasuk kategori euthanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sang pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah suatu praktek euthanasia pasif yang dilakukan atas permintaan sang pasien itu sendiri.
  3. eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada euthanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. euthanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit (Wikipedia, 2010).

2.2 Jenis-jenis euthanasia yang Pernah Dilakukan

Didasarkan pada beberapa hal, euthanasia memiliki beragam jenis, ditinjau dari status pemberian ijin, euthanasia dibagi menjadi 3, yaitu:
  1. eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana.
  2. eutanasia secara tidak sukarela: euthanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi lain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan kondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar.
  3. eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk euthanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum.
Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu:

a. euthanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing)

euthanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya euthanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan euthanasia.

b. euthanasia hewan

Sesuai dengan namanya, euthanasia jenis ini, khusu dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan euthanasia. Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.

c. eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada euthanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.

Selain itu, sebagaimana teah disinggung di atas, berdasarkan pengertiannya, euthanasia dibagi menjadi 3 jenis utama, ketiga jenis tersebut yaitu:
a. euthanasia agresif : atau suatu tindakan euthanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup sang pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien. Baik dengan alasan maupun tanpa alasan tertentu.
b. euthanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (euthanasia otomatis) termasuk kategori euthanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sang pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah suatu praktek euthanasia pasif yang dilakukan atas permintaan sang pasien itu sendiri.
c. euthanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada euthanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. euthanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit .

2.3 Sejarah eutanasia

Istilah eutanasia pertamakali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang euthanasia di atasa, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia.
Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti euthanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya euthanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan euthanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, euthanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan euthanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu "program" euthanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan euthanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap euthanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. (Wikipedia). Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler, menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan euthanasia secara paksa kepada semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait dengan praktek euthanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya:
a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek euthanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
d. Di beberapa Negara Eropa, praktek euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan euthanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan euthanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan euthanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan euthanasia pasif.

2.4 Pandangan Agama terhadap Praktek euthanasia

a.Dalam ajaran Agama Islam
Seperti Agama yang luhur, Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
b. Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang euthanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi euthanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek euthanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa euthanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66) .
c. Dalam ajaran Agama Hindu
Pandangan Agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
d. Dalam ajaran Agama Buddha
Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
e. Dalam ajaran gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian.
itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran euthanasia.
f. Dalam ajaran Agama Yahudi
Ajaran Agama Yahudi melarang euthanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan euthanasia.
g. Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap euthanasia dan orang yang membantu pelaksanaan euthanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya 
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang berarti kematian, sehingga istilah euthanasia secara singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang baik’.
b. Terdapat dua prinsip utama dalam standar prosedur eutanasia, yaitu secara fisik (misalnya dengan pemutusan leher, perusakan otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi (dengan teknik inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)
c. eutanasia memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa katagori tertentu.
d. Pada beberapa Negara eutanasia telah dilegalkan sebagai salah satu tindakan medis, di beberapa Negara yang lain, eutanasia masih digolongkan sebagai tindakan criminal, termasuk di Indonesia.
e. Pada umumnya agama menolak dilakukannya eutanasia, karena dianggap mendahului kehenda Tuhan, sebab, hidup dan mati ada di tangan Tuhan.
3.2 Saran
eutanasia adalah tindakan yang kontrofersial, disatu sisi, ada niatan baik baik untuk membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun euthanasia merupakan suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana. 
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho,F. 2008. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam. Skripsi Tidak Diterbitkan. Solo: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rietveld, R. 2003
Methods of Euthanasia: On Farm Euthanasia of Cattle and Calves. Animal Care Specialist/OMAF. 
Etiatin, E.T. 2004. Euthanasia: Tinjauan Etik pada Hewan. Makalah tidak diterbitkan. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Baca Juga : Distosia