IPS SEBAGAI PENDIDIKAN KEWARISAN NILAI KEMASYARAKATAN

Pengertian, Hakekat dan Tujuan IPS Sebagai Pendidikan Kewarisan Nilai Kemasyarakatan

 IPS Sebagai Pendidikan Kewarisan Nilai Kemasyarakatan
Pengertian, Hakekat dan Tujuan IPS Sebagai Pendidikan Kewarisan Nilai Kemasyarakatan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
     Ilmu Pengetahuan Sosial adalah satu istilah yang bermula dari kata social studies, karena terjemahan secara harfiah dari social studies adalah ilmu sosial. Kata social studies telah lama digunakan dalam kurikulum dasar sekolah-sekolah di Amerika yang ditujukan untuk bidang kelimuan yang memiliki misi untuk membantu peserta didik mengetahui dan memahami bagaimana seluk beluk kehidupan sosial dimana mereka tinggal dan membantu untuk membentuk sisi kemanusiaan mereka, termasuk di dalamnya kebudayaan dan kewarganegaraan.
     Pengajaran IPS pada hakekatnya pengajaran interelasi dari berbagai aspek kehidupan manusia di masyarakat. Hal inl sesuai dengan pemyataan: “the social studies curriculum is designed to help students resolve personal and social problems through out rational social action (Banks, 1977). Maka dapat kita uraikan bahwa pendidikan IPS di negara kita adalah disiplin ilmu yang mengkaji gejala-gejala sosial dan lingkungan masyarakat sekitar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sebut dan jelaskan pengertian IPS
2. Bagaimanakah Hakekat dan Tujuan Pendidikan IPS
3. Jelaskan Pengertian IPS Sebagai Pendidikan Kewarisan Nilai Kemasyarakatan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendidikan IPS

     Ilmu Pengetahuan Sosial adalah satu istilah yang bermula dari kata social studies, karena terjemahan secara harfiah dari social studies adalah ilmu sosial. Kata social studies telah lama digunakan dalam kurikulum dasar sekolah-sekolah di Amerika yang ditujukan untuk bidang kelimuan yang memiliki misi untuk membantu peserta didik mengetahui dan memahami bagaimana seluk beluk kehidupan sosial dimana mereka tinggal dan membantu untuk membentuk sisi kemanusiaan mereka, termasuk di dalamnya kebudayaan dan kewarganegaraan (Jarolimek, 1986).
     Pendidikan IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah mengalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan (Ischak, 1997). Istilah IPS, yang secara resmi dipergunakan di Indonesia sejak tahun 1975, adalah istilah dalam Bahasa Indonesia untuk pengertian social studies. Pada tahun 1967 perhatian masyarakat terhadap kurikulum social studies, atau studi sosial dalam bahasa Indonesia, semakin besar. Namun pada perkembangannya, banyak para ahli yang memberikan balasan atau pengertian studi sosial yang berbeda-beda.
     Mengenai pengertian pendidikan IPS Edgar G. Wesley menyatakan: “Pendidikan IPS adalah penyederhanaan dari disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisir, disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan” (Sapriya, 2006). Sejalan dengan pengertian ini, Somantri (2001) juga menyatakan bahwa pendidikan IPS merupakan seleksi dan rekonstruksi dari disiplin ilmu pendidikan dan disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora yang diorganisir dan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk tujuan pendidikan.

2.2 Hakekat dan Tujuan Pendidikan IPS

     Pendidikan IPS merupakan proses pengajaran yang memadukan berbagai pengetahuan sosial. Pengajaran IPS bukan merupakan pengajaran pengetahuan sosial yang terlepas-lepas antara satu dengan yang lainnya. Pengajaran IPS merupakan sistem pengajaran yang membahas, menyoroti, menelaah, dan mengkaji tentang gejala atau masalah sosial dad berbagai aspek kehidupan, atau melakukan interelasi dengan berbagai aspek kehidupan sosial dalam membahas gejala dan masalah sosial. Pendidikan IPS merupakan pengajaran tim (team teaching) tentang pengetahuan sosial. (Sumaatmadja, 2001).
     Pendidikan IPS yang ditinjau dari aspek isi, akan menyangkut penyelesaian fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-genaralisasi dari berbagai disiplin ilmu sosial dan ditinjau dari aspek proses belajar, akan lebih menekankan pada aktivitas kognitif dan afektif untuk membandingkan, membedakan, membentuk hipotesis, dan membuat keputusan. Pendidikan IPS yang ditinjau dari aspek materi, akan cenderung mengarah pada tiga target pembelajaran yaitu: citizenship transmitter, social science position dan reflective inquirers (Barr, 1978). Adapun yang dimaksud dengan istilah di atas adalah sebagai berikut:
  1. Citizenship transmitter, adalah pendidikan IPS yang disajikan sebagai pengetahuan untuk membangun prilaku siswa sebagai warganegara yang baik;
  2. Social science position, adalah disiplin sosial yang digunakan untuk membangun kreativitas berfikir dan bertindak sebagai warganegara di masa mendatang; dan;
  3. Reflective inquirers, adalah proses pengembangan kemampuan berfikir siswa secara rasional, berlogika dengan baik, sehingga siswa memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan dengan benar yang didasarkan kecerdasan dan kemampuan siswa dalam mengklarifikasikan struktur nilai.

2.3 IPS Sebagai Pendidikan Kewarisan Nilai Kemasyarakatan

     IPS sebagai pewarisan nilai-nilai kewarganegaraan tujuan utamanya adalah mempersiapkan anak didik menjadi warga negara yang baik. Nilai dan budaya bangsa akan dijadikan landasan untuk pengembangan bangsanya. Setiap bangsa atau negara mendidik warganya berdasarkan nilai dan budaya yang dimilikinya.
     Menurut R.Barr dalam citizenship transmission tradition, nilai-nilai tertentu yang dipandang sebagai ”nilai-nilai yang baik” ditanamkan dalam upaya untuk mengajari siswa menjadi warga negara yang baik. Komponen yang teramat penting dari nilai tersebut ialah bagaimana supaya anak didik dapat menerapkan nilai-nilai tersebut secara rasional dan kritis yang didukung pertimbangan keimanan (beliefs), dan sikap (attitudes).
     Jadi, Citizenship transmitter (transfer nilai kewarganegaraan) adalah pendidikan IPS yang disajikan sebagai pengetahuan untuk membangun perilaku siswa sebagai warga negara yang baik yang juga berhubungan dengan penamaan tingkah laku, pengetahuan, pandangan, dan nilai yang harus dimiliki oleh peserta didik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
     Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
3.2 Saran
     Dalam hubungannya dengan nilai dalam pendidikan IPS, seorang guru harus mendorong anak untuk aktif bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku. Guru perlu memotivasi anak untuk memiliki sikap yang baik. Sangatah penting bagi seorang guru mendorong anak untuk memiliki sikap yang baik, karena dengan menciptakan pengalaman-pengalaman di dalam kelas siswa diharapkan akan melakukan perbuatan yang baik dalam kegidupan sehari-harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Cheppy, (tanpa tahun). Strategi Ilmu Pengetahuan Sosial. Surabaya: Penerbit Karya Anda.
N. Daldjoeni. (1981). Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial (Buku Pengantar Bagi Mahasiswa dan Guru). Bandung: Penerbit Alumni.
Sumaatmadja, Nursid dkk. 2003. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional.
Read More: KEKUASAAN, PENGARUH DAN POLITIK, KONFLIK, NEGOSIASI, KOMUNIKASI DAN KEPEMIMPINAN

IPS SEBAGAI PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DAN TINDAKAN YANG RASIONAL

Karakteristik, Perspektif & Tujuan Pendidikan IPS

IPS SEBAGAI TINDAKAN YANG RASIONAL
Karakteristik, Perspektif & Tujuan Pendidikan IPS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
     Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat IPS seringkali saling bertukar makna dengan istilah Pendidikan IPS. Memang, dua istilah ini belum dipahami oleh semua civitas akademika karena masih terbatasnya literatur yang menjelaskan kedua istilah tersebut. Selain itu perkembangan IPS di negara lain dikenal dengan istilah Social Studies dipaparkan agar kita memahami apa latar belakang, tujuan, lahirnya bidang kajian ini bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
     Secara historis, perkembangan Pendidikan IPS di Indonesia di bahas termasuk tujuan dan kedudukan IPS dalam system pendidikan nasional. Demikian pula keterkaitan IPS dengan disiplin ilmu – ilmu sosial dan IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu serta landasan – landasan yang memperkuat eksistensi IPS dalam system pendidikan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
     Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas, maka timbulah beberapa masalah yang akan penulis sajikan dalam pembahasan, yaitu :
1. Bagaimana karakteristik Pendidikan IPS
2. Bagaimana perspektif dan tujuan Pendidikan IPS
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Pendidikan IPS

     Prinsip pembelajaran di sekolah dasar sebagaimana dirumuskan dalam Development Appropirate Practice memiliki ciri antara lain: 
  1. belajar dari yang dekat dan dapat dijangkau anak,
  2. menampakan diri jenjang yang serba faktual (operasional kongkrit), 
  3. memikirkan segala sesuatu yang dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpadu (holistik dan integratif) 
  4. melakukan aktivitas belajar penuh makna (meaningfull) melalui proses manipulasi sambil bermain.
     Berdasarkan prinsip-prinsip belajar tersebut serta dikaitkan dengan perkembangan siswa sekolah dasar baik bersifat fisik, mental, sosial dan moral akan mempengaruhi perkembangan kognitif siswa. Belajar konsep akan berhasil dengan baik bilamana siswa mengalami sendiri, mengerjakan/melakukan sendiri apa yang dipelajarinya. Sifat-sifat keingintahuannya tentang apa-apa yang diamatinya/dilihat, dirasakan dilingkungan sekitarnya dan sebagainya, semuanya tidak terlepas dari hubungannya perhatian guru untuk mengakomodasi siswa ke arah active learning. 
     Siswa didorong untuk mengembangkan potensi dirinya melalui penemuan sebab-sebab suatu kejadian disekitarnya, menginteraksikan antara fakta dan kehidupan/lingkungannya, sehingga kesenjangan antara konsep-konsep yang dipelajarinya di kelas dengan gejala yang ditemukan dalam kehidupan nyata, untuk itu siswa tidak akan asing dengan segala fenomena yang ada dilingkungannya. 

2.2 Perspektif dan Tujuan Pendidikan IPS

     Kedudukan pengajaran IPS begitu unik karena harus mempersiapkan dan mendidik anak didik untuk hidup dan memahami dunianya, dimana kualitas personal dan kualitas sosial seseorang akan menjadi hal yang sangat vital. Menurut A. K. Ellis (1991 dalam Sapriya, dkk), bahwa alasan dibalik diajarkannya IPS sebagai mata pelajaran di sekolah karena hal-hal sebagai berikut:
  1. IPS memberikan tempat bagi siswa untuk belajar dan mempraktekan demokrasi.
  2. IPS dirancang untuk membantu siswa menjelaskan “dunianya”.
  3. IPS adalah sarana untuk pengembangan diri siswa secara positif.
  4. IPS membantu siswa memperoleh pemahaman mendasar (fundamental understanding) tentang sejarah, geographi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
  5. IPS meningkatkan kepekaan siswa terhadap masalah-masalah sosial.
     Barr dan teman-temannya (Nelson, 1987; Chapin dan Messick,1996 dalam Sapriya, dkk) merumuskan tiga perspektif tradisi utama dalam IPS. Ketiga tradisi utama tersebut ialah:
  1. IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan (citizenship transmission). 
  2. IPS diajarkan sebagai ilmu-ilmu sosial.
  3. IPS diajarkan sebagai reflektif inquiry (reflective inquiry). 
     Roberta Woolover dan Kathryn P. Scoot (1987 Sapriya, dkk) merumuskan ada lima perspektif dalam mengajarkan IPS. Kelima perspektif tersebut tidak berdiri masing-masing, bisa saja ada yang merupakan gabungan dari perspektif yang lain. Kelima perspektif tersebut ialah:
  1. IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan (citizenship transmission). 
  2. IPS diajarkan sebagai Pendidikan ilmu-ilmu sosial.
  3. IPS diajarkan sebagai cara berpikir reflektif (reflective inquiry).
  4. IPS diajarkan sebagai pengembangan pribadi siswa.
  5. IPS diajarkan sebagai proses pengambilan keputusan dan tindakan yang rasional.
     Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan keidupan bangsa , bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.
     Tujuan pendidikan IPS di tingkat Sekolah Dasar (SD) ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan dasar siswa yang berguna untuk kehidupan sehari harinya. IPS sangat erat kaitannya dengan persiapan anak didik untuk berperan aktif atau berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia dan terlibat dalam pergaulan masyarakat dunia (global society). IPS harus dilihat sebagai suatu komponen penting dari keseluruhan pendidikan kepada anak. IPS memerankan peranan yang signifikan dalam mengarahkan dan membimbing anak didik pada nilai-nilai dan perilaku yang demokratis, memahami dirinya dalam konteks kehidupan masa kini, memahami tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat global yang interdependen.
     Siswa membutuhkan pengetahuan tentang hal-hal dunia luar yang luas dan juga tentang dunia lingkungannya yang sempit. Siswa perlu memahami hal-hal berkaitan dengan individunya, lingkungannya, masa lalu, masa kini, dan masa datang. Kesadaran akan pentingnya hubungan antara bahan IPS (social studies content), ketrampilan, dan konteks pembelajaran (learning contexs) dapat membatu kita untuk mengembangkan suatu IPS yang kuat kadar inquiri sosialnya.
     Ketrampilan yang perlu dikembangkan dalam pendidikan IPS mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Ketrampilan mendapatkan dan mengolah data.
  2. Ketrampilan menyampaikan gagasan, argumen, dan cerita.
  3. Ketrampilan menyusun pengetahuan baru.
  4. Ketrampilan berpartisipasi di dalam kelompok.
     Dalam hubungannya dengan nilai dalam pendidikan IPS, seorang guru harus mendorong anak untuk aktif bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku. Guru perlu memotivasi anak untuk memiliki sikap yang baik. Sangatah penting bagi seorang guru mendorong anak untuk memiliki sikap yang baik, karena dengan menciptakan pengalaman-pengalaman di dalam kelas siswa diharapkan akan melakukan perbuatan yang baik dalam kegidupan sehari-harinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
     Pengertian pendidikan IPS menurut Edgar G. Wesley menyatakan: “Pendidikan IPS adalah penyederhanaan dari disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisir, disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan” (Sapriya, 2006). Sejalan dengan pengertian ini, Somantri (2001) mendefinisikan pendidikan IPS dalam dua jenis yakni pedidikan IPS untuk persekolahan dan pendidikan IPS untuk perguruan tinggi sebagai berikut :
     Pendidikan IPS yang ditinjau dari aspek isi, akan menyangkut penyelesaian fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-genaralisasi dari berbagai disiplin ilmu sosial dan ditinjau dari aspek proses belajar, akan lebih menekankan pada aktivitas kognitif dan afektif untuk membandingkan, membedakan, membentuk hipotesis, dan membuat keputusan. Pendidikan IPS yang ditinjau dari aspek materi, akan cenderung mengarah pada tiga target pembelajaran yaitu: citizenship transmitter, social science position dan reflective inquirers (Barr, 1978). 
3.2 Saran
     Pendidikan IPS adalah salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk di pelajari, oleh karena itu penyusun berharap Pendidikan IPS bisa tetap eksis buka hanya dalam pembelajaran nya saja tetapi juga dalam pengaplikasian nya di kehidupan nyata sehingga terciptalah masyarakat yang baik dan bertanggung jawab demi kemajuan bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Sapriya. 2008. Pendidikan IPS. Bandung : Laboratorium Pkn Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
Sapriya. Konsep Dasar IPS. Bandung : Laboratorium Pkn Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
Read More: MANAJEMEN KONFLIK, KEKUASAAN, PENGARUH & POLITIK, NEGOSIASI, KOMUNIKASI DAN KEPEMIMPINAN

GAMBARAN SIKAP IBU HAMIL TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL SELAMA MASA KEHAMILAN DI GAMPONG PEUNAYONG KECAMATAN PEUKAN BARO KABUPATEN PIDIE TAHUN 2013

GAMBARAN SIKAP IBU HAMIL TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL SELAMA MASA KEHAMILAN

MASA KEHAMILAN
IBU HAMIL TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL SELAMA MASA KEHAMILAN

A. Latar Belakang

     Tahun 2000 WHO meluncurkan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang merupakan bagian dari Safe Motherhood, dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang bertujuan agar setiap ibu hamil dapat melalui kehamilan dan persalinannya dengan aman dan bayi yang dilahirkan hidup dan sehat. Gerakan Sayang Ibu telah memungkinkan ditambahnya sarana dan prasarana untuk mengajak para ibu yang sedang hamil dan melahirkan makin dekat pada pelayanan medis yang bermutu. Berkat kegiatan beberapa gerakan itu, jumlah dan sebaran ibu hamil yang memeriksakan dirinya selama masa kehamilan meningkat dengan tajam. Dengan demikian, kesehatan reproduksi merupakan unsur yang penting dalam kesehatan umum, baik perempuan maupun laki-laki (BKKBN, 2004). 
     Kehamilan adalah suatu proses alami yang terjadi dalam rahim wanita yang diawali dengan pertemuan sel telur dan sperma di suatu tempat di dalam organ reproduksi sehingga akan menghasilkan seorang calon janin yang akan berkembang dalam rahim ibu selama jangka waktu tertentu (Solihah, 2005). Kehamilan mempunyai dampak yang luar biasa terhadap kondisi fisik dan psikis pada seorang wanita. Perubahan yang mencolok yang dapat kita lihat adalah kenaikan berat badan yang rata-rata berkisar 12 kg selama kehamilan, cepat lelah, mudah pingsan, sementara perubahan psikis bervariasi mulai dari hiperemesis (mual-muntah) hingga dapat menimbulkan depresi (Webforum, 2009). 
     Sebagian perempuan merasa takut melakukan hubungan seksual saat hamil. Beberapa merasa gairah seksualnya menurun, karena tubuhnya melakukan banyak penyesuaian terhadap bentuk kehidupan baru yang berkembang di rahim (Mariana, 2007). Seks selama kehamilan merupakan pertanyaan yang sering diajukan oleh pasangan suami istri yang menanti kehadiran sang buah hati. Umumnya pasangan suami istri khawatir berhubungan intim pada saat istri sedang mengandung atau hubungan seks di kehamilan muda misalnya bisa mengakibatkan keguguran atau bayi lahir cacat (Anonim, 2009). 
     Banyak pasangan yang merasa khawatir bahwa seks selama kehamilan dapat menyebabkan keguguran. Tapi sesungguhnya masalah sebenarnya bukan pada aktivitas seksual itu sendiri. Keguguran (early miscarriage) biasanya berhubungan dengan ketidaknormalan kromosom atau masalah lain yang dialami janin yang sedang berkembang. Selain hal fisik, turunnya libido juga berkaitan dengan kecemasan dan kekhawatiran yang meningkat menjelang persalinan. Pertanyaan yang paling umum adalah “apakah berhubungan seksual dapat membahayakan janin?”. Secara medis tidak ada sesuatu yang perlu dirisaukan jika kehamilan tidak disertai faktor penyulit, artinya kondisinya sehat-sehat saja. Yang termasuk faktor penyulit adalah ancaman keguguran, hipertensi, muntah-muntah yang berlebihan, atau kondisi kesehatan tertentu lainnya (Anonim, 2009). 
     Banyak mitos tentang seks dan kehamilan yang beredar luas di masyarakat dan dianggap sebagai suatu kebenaran, sehingga perilaku seksual juga dipengaruhi dan mengikuti informasi yang salah sesuai dengan mitos tersebut. Ketidaktahuan mengenai seksualitas selama kehamilan dapat menimbulkan kesalahan persepsi sehingga dapat mempengaruhi perilaku seksual yang menyebabkan gangguan psikis. Gangguan psikis yang bisa timbul adalah ketidakpuasan, kecewa, cemas, perasaan bersalah, dan gejala psikomatik seperti pusing, cepat marah, dan sukar tidur (Prawiroharjo, 2005). 
     Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti ”Gambaran Sikap Ibu Hamil Tentang Hubungan Seksual Selama Masa Kehamilan di”

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran sikap ibu hamil tentang hubungan seksual selama kehamilan di? .

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

     Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap ibu hamil tentang aktivitas seksual selama kehamilan.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:
a. Diketahuinya karakteristik responden.
b. Diketahuinya sikap ibu hamil tentang aktivitas seksual selama kehamilan.
c. Diketahuinya persepsi ibu hamil tentang aktivitas seksual selama kehamilan.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi 

     Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah yang diteliti (Nursalam, 2001 : 64). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil di Di Gampong Peunayong Kecamatan Peukan Baro Kabupaten yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. 

2. Sampel 

     Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (H.A. Aziz, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang ada di Gampong Peunayong kecamatan Peukan Baro. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sample dengan kriteria sebagai berikut : 
1) Ibu hamil baik primi atau multigravida 
2) Pendidikan SD sampai perguruan tinggi. 
3) Ibu hamil yang bersedia sebagai responden 
4) Mampu baca dan tulis 
DAFTAR PUSTAKA
Andik. 2007. Berhubungan Seks Saat Hamil. Available from. http//www.nusaku.com. (Di akses tanggal 8 Maret 2013)
Balai Pustaka.. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Bibilung. 2007. Seks Yang Aman Selama Kehamilan. Available from. http//www.kompas.com. (Di akses tanggal 8 Maret 2013)
Close, Sylvia. 1998. Sex During Pregnancy and After Childbirth. Gianto. Widianto (1998) (Alih Bahasa). Jakarta: Arcan
Curtis, Glade B. (2000). Your Pregnancy Question and Answers, Surya, Satyanegara (2000) (Alih Bahasa). Jakarta: Arcan.
Eisenberg, Arlene. (1998). What To Expect the Fisrt Year (8th ed), Surya Satyanegara. (1997), Jakarta: Arcan.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Soekidjo, Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Read More: GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEUKAN BARO KECAMATAN PEUKAN BARO KABUPATEN PIDIE TAHUN 2013

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA

PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA
FAKTOR PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA

A. Latar Belakang

     Tujuan utama pembangunan Nasional adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya meningkatkan kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif (Depkes RI 2007).
     Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan gejala kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. (Depkes RI 2007).
     Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan dengan cita-cita bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Salah satu strategi pembangunan, kesehatan nasional untuk mewujudkan “Indonesia Sehat 2015” adalah menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, yang berarti setiap upaya program pembangunan harus mempunyai konstribusi positif terhadap terbentuknya lingkungan yang sehat dan perilaku yang sehat (Depkes RI. 2008). 
     Masa depan Indonesia tergantung pada mutu dan kesehatan bayi serta anak yang kini sedang tumbuh dan berkembang, tumbuh kembang anak banyak kaitannya dengan jumlah dan mutu makanan yang dikonsumsi oleh mereka. Status gizi penduduk biasanya digambarkan oleh masalah gizi yang dialami golongan penduduk yang rawan gizi, terutama anak-anak yang berumur dibawah lima tahun (BALITA). Masalah gizi, khususnya pada anak balita, memerlukan perhatian khusus karena kecerdasan bangsa tergantung pada kecukupan gizi anak (Depkes RI 2007).
     Berdasarkan data diatas penulis tertarik untuk meneliti gambaran faktor-faktor penyebab gizi buruk pada anak balita di Puskesmas Peukan Baro Kabupaten Pidie tahun 2013.

B. Rumusan Masalah

     Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat disusun suatu rumusan masalah yaitu : Bagaimanakah Penyebab Gizi Buruk Pada Anak Balita Di Puskesmas Peukan Baro Kabupaten Pidie”

C. Tujuan Penelitian 

1. Tujuan Umum

     Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor-faktor penyebab gizi buruk pada balita di Puskesmas Peukan Baro Kabupaten Pidie.

2. Tujuan Khusus 

  1. Untuk mengetahui tingkat pendidikan ibu tentang faktor-faktor terjadinya gizi buruk pada balita.
  2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang faktor-faktor terjadinya gizi buruk pada balita. 
  3. Untuk mengetahui tradisi/budaya dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk pada balita. 
  4. Untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi ibu tentang faktor-faktor terjadinya gizi buruk pada balita.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi 

     Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah yang diteliti (Nursalam, 2001 : 64). Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi yang berkunjung ke Puskesmas Peukan Baro Kecamatan Peukan Baro Kabupaten pidie. 

2. Sampel 

     Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (H.A. Aziz, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah bayi yang mengalami gizi buruk di Puskesmas Peukan Baro Kecamatan Peukan Baro.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier Sunita, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Boediman, Dradjat. 2009. Sehat Bersama Gizi, Sagung Seto : Jakarta.
Budiarto, 2005. Biostatistik Untuk Kedoktoran dan Kesehatan Masyarakat. Rieneka Cipta Jakarta.
Data Puskesmas Mutiara Barat, 2013. 
Dinkes, Profil kesehatan Pidie, Tahun 2009.
Ibnu Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC : Jakarta.
Hasan Iqbal, 2009. Analisa Data Penelitian dengan Statistik. PT. Bumi Aksara Jakarta.
Read More: GAMBARAN PRILAKU BIDAN TERHADAP PENGGUNAAN PARTOGRAF

GAMBARAN PRILAKU BIDAN TERHADAP PENGGUNAAN PARTOGRAF DALAM PERTOLONGAN PERSALINAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELIMA KECAMATAN DELIMA KABUPATEN PIDIE TAHUN 2012

GAMBARAN PRILAKU BIDAN TERHADAP PENGGUNAAN PARTOGRAF

Gambaran Partograf
Penggunaan Partograf

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 

     Menurut permenkes 572 tahun 1996 tentang registrasi praktik bidan dan memperhatikan kompetensi bidan yang di susun oleh ICM (Iternational Confederation of The Midwife) di bagi atas 9 kompetensi yaitu kompetensi keempat merupakan asuhan persalinan dan kelahiran yang termasuk dalam ketrampilan dasar yaitu dapat melakukan pemantauan persalinan dengan menggunakan partograf (Sofyan,2006).
     Berdasarkan data yang terkumpul oleh WHO, Angka kematian Ibu adalah sebesar 450 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi sebesar 25 per 1000 kelahiran hidup. Jumlah tersebut sebenarnya masih diragukan karena besar kemungkinan kematian Ibu dan Bayi yang tidak dilaporkan (Prawirohardjo, 2002).
     Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia 228 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka kematian Bayi (AKB) 34 per 1.000 kelahiran hidup. Sesuai dengan target MDGS (Millenium Development Goals) hasil tersebut masih jauh diatas target yaitu Angka Kematian Ibu AKI (2015) 102 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23 per 1.000 kelahiran hidup (Anonymos, 2003).
     Kematian maternal dapat terjadi pada saat pertama pertolongan persalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah trias klasik yaitu perdarahan, infeksi, dan gestosis. Angka kematian maternal dan perinatal yang tinggi juga disebabkan oleh dua hal penting yang memerlukan perhatian khusus yaitu terjadinya partus terlantar atau partus lama dan terlambatnya melakukan rujukan. Sedangkan lamanya persalinan pada primigravida dari kala I sampai dengan kala III adalah 14,5 jam. Sedangkan pada multi lamanya persalinan adalah 7 ¾ jam (Manuba, 1998).
     Sebagian besar penyebab kematian dapat dicegah dengan penanganan yang adekuat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan dalam menolong persalinan, seperti penggunaan partograf dalam persalinan yaitu alat bantu untuk membuat keputusan klinik, memantau, mengevaluasi dan menatalaksana persalinan. Partograf dapat digunakan untuk mendeteksi dini masalah dan penyulit misalnya partus lama dalam persalinan sehingga dapat segera mungkin menatalaksana masalah tersebut atau merujuk ibu dalam kondisi optimal. Instrumen ini merupakan salah satu komponen dari pemantauan dan penatalaksanaan proses persalinan secara lengkap.
     Dengan penerapan partograf diharapkan bahwa angka kematian maternal dan perinatal dapat diturunkan dengan bermakna sehingga mampu menunjang sistem kesehatan menuju tingkat kesejahteraan masyarakat (Depkes RI, 2007).
     Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan di bidang partograf, kebidanan yang lainnya dan keterampilan petugas kesehatan dalam menolong persalinan. Adanya perubahan pradigma menunggu terjadinya dan menangani komplikasi menjadi pencegahan terjadinya komplikasi diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir.
     Paradigma baru (aktif) yang disebutkan sebelumnya, terbukti dapat mencegah atau mengurangi komplikasi yang sering terjadi. Hal ini memberi manfaat yang nyata dan mampu membantu upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir, karena sebagian besar persalinan di Indonesia terjadi di desa atau di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dimana tingkat keterampilan petugas dan sarana kesehatan sangat terbatas maka paradigma aktif menjadi sangat strategis bila dapat diterapkan pada tingkat tersebut. Jika semua penolong persalinan dilatih agar kompeten untuk melakukan upaya pencegahan atau deteksi dini secara aktif terhadap berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, memberikan pertolongan secara adekuat dan tepat waktu dan melakukan upaya rujukan segera dimana ibu masih dalam kondisi yang optimal maka upaya dapat secara bermakna menurunkan jumlah kesakitan atau kematian ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2007).
     Perbaikan jaringan pelayanan kesehatan di Indonesia sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, khususnya yang berlangsung di desa-desa. Para pendukung ini harus dimanfaatkan dan diajak kerja sama antara lain dengan melatih mereka dalam teknik asepsis dan pengenalan dini tanda-tanda bahaya, serta kemampuan pertolongan pertama dan mengetahui kemana rujukan harus dilakukan pada waktunya. Padahal pada saat ini pemerintah sedang mengupayakan pengadaan tenaga bidan untuk setiap desa, sehingga diperkirakan perlu dididik sekitar 80.000 orang bidan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
     Peningkatan kemampuan Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang merupakan fasilitas rujukan pertama dari petugas lini terdepan perlu dilengkapi dengan dokter terlatih serta kelengkapan yang diperlukan untuk mencegah kematian maternal (Prawirohardjo, 2005).
     Dengan penerapan partograf diharapkan bahwa angka kematian maternal dan perinatal dapat diturunkan dengan bermakna sehingga mampu menunjang sistem kesehatan menuju tingkat kesejahteraan masyarakat.
     Dari hasil survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 08 Oktober 2012 di wilayah kerja Puskesmas Delima periode Januari sampai Oktober 2012, bahwa jumlah Ibu bersalin 212 orang pasien diantaranya jumlah Ibu bersalin tersebut yang dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi yaitu RSU Sigli berjumlah 39 orang pasien, 1 diantaranya meninggal dunia disaat melakukan rujukan di RSU Sigli dan jumlah kematian bayi adalah 10 orang bayi, 2 diantaranya KJDK (Kematian Janin Dalam Kandungan). Hal ini terjadi karena sebagian bidan di Puskesmas Delima tidak tepat waktu dalam menggunakan alat Partograf pada saat pertolongan persalinan, tetapi mereka menggunakan atau mengisi partograf setelah persalinan selesai.
     Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah Ibu bersalin yang ditolong oleh bidan diwilayah kerja Puskesmas Delima periode Januari-Oktober cukup tinggi yaitu 174 orang (82%). Dengan jumlah bidan yang ada di wilayah kerja puskesmas delima sebanyak 30 orang bidan (diantaranya 10 orang bidan PNS, 16 Bidan PTT, 4 orang Bidan bakti).
     Dengan adanya hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Prilaku Bidan Terhadap Penggunaan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Delima Kecamatan Delima Kabupaten Pidie Tahun 2012”.

1.2 Rumusan Masalah

     Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu “Bagaimanakah Gambaran Prilaku Bidan Terhadap Penggunaan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Delima Kecamatan Delima Kabupaten Pidie Tahun 2012”?.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

     Untuk menghindari kekaburan dan luasnya permasalahan, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian tentang Gambaran Prilaku Bidan Terhadap Penggunaan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Delima Kecamatan Delima Kabupaten Pidie Tahun 2012 ditinjau dari segi Pengetahuan, Pendidikan dan Masa Kerja Bidan terhadap penggunaan Partograf dalam pertolongan persalinan.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

     Mengetahui Gambaran Prilaku Bidan Terhadap Penggunaan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Delima Kecamatan Delima Kabupaten Pidie Tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

  1. Untuk Mengetahui Prilaku Bidan Terhadap Penggunaan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Delima Kecamatan Delima Kabupaten Pidie ditinjau dari segi Pengetahun.
  2. Untuk Mengetahui Prilaku Bidan Terhadap Penggunaan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Delima Kecamatan Delima Kabupaten Pidie ditinjau dari segi pendidikan.
  3. Untuk Mengetahui Prilaku Bidan Terhadap Penggunaan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Delima Kecamatan Delima Kabupaten Pidie ditinjau dari segi masa kerja.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah :

1.5.1 Untuk Peneliti

  1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan yang pada akhirnya dapat menambah bekal ilmu dibidang kebidanan.
  2. Dapat menambah wawasan dari pengetahuan serta dapat mengaplikasikan semua ilmu yang peneliti dapatkan selama ini.

1.5.2 Untuk Institusi

  1. Untuk institusi Pendidikan dapat menjadi bahan masukan dan referensi bagi peneliti lainnya.
  2. Untuk Dinas Kesehatan dapat memberikan informasi kepada kepala Dinas Kesehatan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan Program Kesehatan Ibu dan Anak untuk menekan faktor penyebab lajunya kemaian Ibu dan Bayi.

1.5.3 Untuk Lokasi Penelitian

  1. Untuk Puskesmas dapat dijadikan bahan masukan untuk perencanaan program KIA pada masa yang akan datang.
  2. Dapat menjadi pedoman untuk meningkatkan pengetahuannya tentang penggunaan partograf dalam pertolongan persalinan.
Read More: GAMBARAN RINITIS ALERGI TERHADAP PENURUNAN KUALITAS HIDUP

GAMBARAN RINITIS ALERGI TERHADAP PENURUNAN KUALITAS HIDUP PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN DI SEKOLAH DASAR 2 LALA KECAMATAN MILA KABUPATEN PIDIE

GAMBARAN RINITIS ALERGI TERHADAP PENURUNAN KUALITAS HIDUP

A. Latar Belakang

     Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan. Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir (Rusmono,1993). 
radang selaput lendir hidung
Rinitis atau radang selaput lendir hidung 

     Definisi Rinitis menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.
     Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Dalam suatu penelitian di Medan, dari 31 penderita rinitis alergi, ditemukan perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 1.58 : 1 (Hanum, 1989). Zainuddin (1999) di Palembang mendapatkan dari 259 penderita rinitis alergi 122 laki-laki dan 137 perempuan. Budiwan (2007) di Semarang pada penelitiannya dengan 80 penderita rinitis alergi mendapatkan laki-laki 37,5% dan perempuan 62,5%. Keluarga atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada nonatopi (Karjadi, 2001). Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Peran lingkungan rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi (Rusmono, 1993).
     Pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mendiagnosis rinitis alergi meliputi anamnesis, pemeriksaan THT dengan/tanpa naso-endososkopi, dan tes alergi. Pada anamnesis perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, kondisi lingkungan dan pekerjaan (Harmadji, 1993).
     Rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial dan malah dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi. Total biaya langsung dan tidak langsung rinitis alergi baru-baru ini diperkirakan menjadi $5,3 milyar per tahun (Thompson et al, 2007).
     Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 12.946 orang pasien berumur 5-62 tahun yang datang ke poliklinik sub bagian Alergi Imunologi bagian THT FKUI/RSCM selama tahun 1992, ditemui penderita rinitis alergi sejumlah 147 orang, atau berkisar 1,14%. Gejala yang paling banyak adalah bersin- bersin/gatal hidung (89,80%), rinore (87,07%) dan obstruksi hidung (76,19%). Kelompok umur 1-10 tahun berjumlah paling sedikit (3,40%) kemudian meningkat dengan bertambahnya umur, dan selanjutnya menurun setelah berumur 40 tahun, dengan frekuensi terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun (37,41%) (Rusmono, 1993).
     Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara sekitar 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20%, di Jepang sekitar 10% dan 25% di New Zealand (Zainuddin, 1999) Insidensi dan prevalensi rinitis alergi di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Baratawidjaja et al (1990) pada penelitian di suatu daerah di Jakarta mendapatkan prevalensi sebesar 23,47%, sedangkan Madiadipoera et al (1991) di Bandung memperoleh insidensi sebesar 1,5%, seperti yang dikutip Rusmono (1993). Berdasarkan survei dari ISSAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001-2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18% (Suprihati, 2005).
     Oleh karena, penelitian tentang rinitis alergi terhadap penurunan kualitas hidup di Kabupaten Pidie belum diketahui secara pasti, saya tertarik untuk melakukan penelitian tentang rinitis alergi. Namun karena keterbatasan kemampuan saya, dalam penelitian hanya dilakukan penelitian tentang Gambaran rinitis alergi terhadap Penurunan Kualitas hidup pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar 2 Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Tahun 2013.
B. Rumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan untuk penelitian ini adalah Bagaimana Gambaran Rinitis Alergi Terhadap Penurunan Kualitas Hidup Pada Anak Usia 9-11 Tahun Di Sekolah Dasar 2 Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie?
C. Tujuan Penelitian
     Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi Tujuan untuk penelitian ini adalah Untuk mengetahui Bagaimana Gambaran Rinitis Alergi Terhadap Penurunan Kualitas Hidup Pada Anak Usia 9-11 Tahun Di Sekolah Dasar 2 Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi 
     Populasi adalah kumpulan dari seluruh elemen sejenis tetapi dapat dibedakan satu sama lain. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2005). Bedasarkan uraian diatas, populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa-siswi yang ada di SD Negeri 2 Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
2. Sampel 
     Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah semua Penderita Rinitis Alergi yang ada di SD N 2 Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
DAFTAR PUSTAKA
Supardi E.F. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Fk UI. Jakarta.2008. Hal.101-106.
Mabry RL. Allergic Rhinosinusitis In: Bailey BJ, ed. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 3rd ed Philadelphia: Lippincott-Raven; 2001; p. 281-91.
Ballenger, JJ. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses In : Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition ;2003;547
Higler A.B. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. EGC. Jakarta. 1997.
Andrianto P.Dr.Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC. Jakarta. 2002. 
Read More: GAMBARAN GEJALA INSOMNIA PADA REMAJA 

GAMBARAN GEJALA INSOMNIA PADA REMAJA DI DESA KRUENG LALA KECAMATAN MILA KABUPATEN PIDIE TAHUN 2013

GAMBARAN GEJALA INSOMNIA PADA REMAJA 

Remaja
Gejala Insomnia

A. Latar Belakang

     Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisiologis, atau kebutuhan paling dasar atau paling bawah dari piramida kebutuhan dasar. Kesempatan untuk istirahat dan tidur sama pentingnya dengan kebutuhan makan, aktivitas maupun kebutuhan dasar lainnya. Setiap individu membutuhkan istirahat dan tidur untuk memulihkan kembali kesehatannya (Kozier, 2004).
     Keteraturan dan lamanya tidur dari masing-masing orang seperti juga halnya dengan masa sakit, maka tidur merupakan persoalan yang bersifat pribadi. Ada orang yang memerlukan lebih banyak tidur dibandingkan yang lain. Ada orang yang mudah tidur dan yang sulit tidur, ada tidur yang tidak tenang dengan tidur yang dengan tenang. Kebiasaan-kebiasaan agaknya memegang peranan dalam pola-pola tidur dan tidur akan lebih mudah jika kebiasaan-kebiasaan itu tetap diikuti (Dian, 2006). Permasalahan- permasalahan di atas disebut dengan gangguan tidur. Terdapat beberapa macam jenis gangguan tidur antara lain insomnia, hipersomnia dan gangguan siklus tidur bangun (Lumbantobing, 2004).
     Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005). Gangguan tidur insomnia ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperi gangguan psikiatrik, gangguan medis, gangguan neurologis, gangguan lingkungan, gangguan ritme sirkadian, gangguan perilaku dan gangguan tudur primer. Gangguan psikiatrik ini adalah gangguan tidur karena konsumsi alkohol, obat-obatan, kopi, rokok, ansietas dan sebagainya (Lumbantobing, 2004). Khomsan (2009) juga menyebutkan bahwa menghisap rokok menjelang tidur, dapat memicu insomnia. Hal ini disebabkan nikotin bersifat neurostimulan yang justru membangkitkan semangat. Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya gangguan tidur adalah merokok, dimana kandungan nikotin didalam rokok dapat menjadi stimulan bagi seseorang untuk sulit memulai tidur dan ada kecenderungan terbangun disaat tidur.
     Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1999). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Hasil wawancara dengan 4 remaja yang sedang begadang dan kedapatan merokok menyebutkan bahwa mereka tidak dapat tidur dengan nyenyak sebelum tengah malam, maka mereka menghabiskan waktu dengan begadang sambil merokok bersama teman-temannya. Hal ini menambah motivasi penulis untuk melakukan penelitian yang berjudul “Gamabaran Gejala Insomnia Pada Remaja Di Desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

     Berdasarkan latar belakang yang dikemukan diatas maka penulis ingin mengetahui “Gamabaran Gejala Insomnia Pada Remaja Di Desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Tahun 2013”.

C. Tujuan Penelitian

     Diketahuinya Gamabaran Gejala Insomnia Pada Remaja Di Desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Tahun 2013”.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

     Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti (Notoatmodjo 2005). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua remaja di desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Tahun 2013.

2. Sampel

     Sampel dalam penelitian adalah subjek yang akan di teliti yang diambil dengan menggunakan tehnik pengambilan sampel Purposive sampling pada remaja yang mengalami insomnia di desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie tahun 2013
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1987. Tehnik Penyusunan Skala. Yogyaka r t a : Pusat Penelitian Kependudukan Univer sitas Gajah Mada.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. J aka r t a : Rineka Cipta.
Co rsini, R.S. 1994. Encyclopedia of Psychology (Second Edition). Can ada: A Wiley Inte r science Publication.
Damian, M. C. 2004. Motivasi Belaja r Mahasiswa Psikologi Yang Tidak Dapat Menyelesaikan Studi Tepat Waktu. Skripsi (tidak dite r bitkan ). Sema r a ng: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijap r a nata.
Read More: GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU IBU RUMAH TANGGA TERHADAP PENGELOHAN AIR TERHADAP PENYAKIT DIARE DI DESA KRUENG LALA KECAMATAN MILA KABUPATEN PIDIE

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU IBU RUMAH TANGGA TERHADAP PENGELOHAN AIR TERHADAP PENYAKIT DIARE DI DESA KRUENG LALA KECAMATAN MILA KABUPATEN PIDIE

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU IBU RUMAH TANGGA TERHADAP PENGELOHAN AIR TERHADAP PENYAKIT DIARE DI DESA KRUENG LALA KECAMATAN MILA KABUPATEN PIDIE

PENGELOHAN AIR TERHADAP PENYAKIT DIARE
GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU IBU RUMAH TANGGA
A. Latar Belakang
Memasuki tahun 2008, kondisi anak Indonesia tidak juga membaik. Semakin memprihatinkan. Berbagai kasus dan kejadian yang berujung pada kematian sejumlah anak, dari tahun ke tahun, tidak juga membuka mata berbagai pihak untuk mengadakan perbaikan dan perubahan serius. Satu per satu  anak di belahan bumi Nusantara ini meninggal dengan kondisi kesehatan yang memprihatinkan. (YPHA 2004).
Diare merupakan salah satu penyakit paling sering menyerang anak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan, anak berumur di bawah lima tahun mengalami 203 episode diare per tahunnya dan empat juta anak meninggal di seluruh dunia akibat diare dan malnutrisi. Kematian akibat diare umumnya disebabkan karena dehidrasi (kehilangan cairan). Lebih kurang 10% episode diare disertai dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit tubuh secara berlebihan. Bayi dan anak kecil lebih mudah mengalami dehidrasi dibanding anak yang lebih besar. (IDAI 2008)
Kelompok umur yang paling rawan terkena diare adalah 2-3 tahun, walaupun banyak juga ditemukan penderita yang usianya relatif muda yaitu antara 6 bulan–12 bulan. Pada usia ini anak mulai mendapat makanan tambahan seperti makanan pendamping air susu ibu, sehingga kemungkinan termakan makanan yang sudah terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit diare menjadi lebih besar. Selain itu anak juga sudah mampu bergerak kesana kemari sehingga pada usia ini anak senang sekali memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. (Hiswani 2003)
Pada anak–anak yang gizinya tidak begitu baik, sering menderita diare walaupun tergolong ringan. Akan tetapi karena diare itu dibarengi oleh menurunnya nafsu makan dan keadaan tubuh yang lemah, sehingga keadaan yang demikian sangat membahayakan kesehatan anak. Ibu biasanya tidak menanggapinya secara sungguh–sungguh karena sifat diarenya ringan. Padahal penyakit diare walaupun dianggap ringan tetapi sangat berbahaya bagi kesehatan anak. (Hiswani 2003)
Pandangan masyarakat untuk menanggulangi penyakit diare, anak harus dipuasakan. Jadi usus dikosongkan agar tidak terjadi rangsangan yang menyebabkan anak merasa ingin buang air besar. Jika anak sudah dalam keadaan gizi kurang, keadaan gizinya akan menjadi lebih buruk akibat puasa. Maka anak saat diare ditambah dengan dehidrasi yang mudah terjadi pada anak saat diare akan memperburuk keadaan bahkan dapat menyebabkan kematian. (Hiswani 2003).
Karena itu, peran ibu dalam melakukan penatalaksanaan terhadap diare diperlukan suatu pengetahuan, karena pengetahuan merupakan salah satu komponen faktor predisposisi yang penting. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku tetapi mempunyai hubungan yang positif, yakni dengan peningkatan pengetahuan maka terjadinya perubahan perilaku akan cepat. (Notoatmodjo S 2007)
Salah satu pengetahuan ibu yang sangat penting adalah bagaimana penanganan awal diare pada anak yaitu dengan mencegah dan mengatasi keadaan dehidrasi. Pemberian cairan pengganti (cairan rehidrasi) baik yang diberikan secara oral (diminumkan) maupun parenteral (melalui infus) telah berhasil menurunkan angka kematian akibat dehidrasi pada ribuan anak yang menderita diare. (IDAI 2008).
Dari latar belakang di atas penulis tertarik melakukan penelitian tentang Gambaran Pengetahuan, Sikap, Perilaku Ibu rumah Tangga Terhadap Pengelohan Air Terhadap Penyakit Diare Di Desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
B. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan, Sikap, Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Pengelohan Air Terhadap Penyakit Diare Di Desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi 
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh Ibu Rumah Tangga desa Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
2. Sampel 
Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2008:91). Sampel dari penelitian ini diambil dari populasi ibu Rumah Tangga yang berada di Gampong Krueng Lala Kecamatan Mila Kabupaten Pidie tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta : Rineka Cipta.
Widayatun, TS. (2004). Ilmu Perilaku.Jakarta: CV Sagung Seto.
Widiono, S. (2001). Studi Potensi Desa untuk Intervensi Perubahan Perilaku Kesehatan dalam Penanganan Diare (Penelitian di Desa Talung Pauh, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Utara).pdf Jurnal Penelitian UNIB, Vol. VII, No. 2, Juli, h. 89 – 95.
Read More: ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU HAMIL DENGAN POST DATE

PERBANDINGAN KENAIKAN BERAT BADAN BAYI USIA 0-7 BULAN YANG DIBERIKAN ASI EKSLUSIF DAN NON EKSLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MILA KABUPATEN PIDIE

PERBANDINGAN KENAIKAN BERAT BADAN BAYI USIA 0-7 BULAN YANG DIBERIKAN ASI EKSLUSIF DAN  NON EKSLUSIF  DI WILAYAH KERJA  PUSKESMAS MILA KABUPATEN PIDIE 

berat badan bayi usia 0-7 bulan pdf
PERBANDINGAN KENAIKAN BERAT BADAN BAYI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut laporan organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2000, lebih kurang 1,5 juta anak meninggal karena pemberian makanan yang tidak benar, kurang dari 15% bayi diseluruh dunia diberi ASI Eksklusif selama 6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak sesuai dan tidak aman bagi bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan pada masa kehidupan anak dibawah 5 tahun antara lain akibat pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini dan tidak berhasilnya pemberian ASI Eksklusif (Anonymous, 2009).
Di Indonesia program kesehatan bayi baru tercakup didalam progam kesehatan Ibu dan Bayi. Dalam rencanan strategi nasional making pregnancyfer, target untuk kesehatan bayi baru lahir adalah menurunkan angka kematian neonatal. Tiga penyebab utama bayi meninggal adalah akibat berat badan rendah sebesar 29%, mengalami gangguan pernafasan sebeasar 27% dan masalah nutrisi sebesar10% (DEPKES RI, 2012).
Semua angka kematian bayi dan anak hasil SDKI 2012 lebih rendah dari hasil SDKI 2007. Untuk periode lima tahun sebelum survei, angka kematian bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan kematian balita adalah 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Sama dengan pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus (SDKI, 2012).
ASI eksklusif juga merupakan makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/ SK/IV/2004, yang ditetapkan tanggal 7 April 2004. Menkes menetapkan, pemberian ASI sejak umur 0-6 bulan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan yang sesuai (Depkes, 2008).
Pemberian ASI selama 6 bulan tanpa dicampur dengan tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi tim disebut sebagai ASI Eksklusif (Maryunani, 2009). Depkes RI (2007) mendefenisikan ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja, segera setelah bayi lahir sampai umur 6 bulan tanpa makanan atau cairan lain termasuk air putih, kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI Eksklusif berlandaskan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.450/MenKes/SK/IV/2004 tanggal 7 April 2004 yang mendukung pencapaian pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan optimal bayi.
Namun kebanyakan ibu sudah memberikan MP-ASI kepada bayinya sebelum berusia 6 bulan. Hal ini dapat kita lihat dari rendahnya pencapaian ASI Eksklusif di Indonesia yaitu bayi yang mendapat ASI eksklusif sampai usia 5 bulan hanya 14% dan 8% sampai usia 6 bulan (Depkes, 2004).
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Aceh (2012) pemberian ASI Eksklusif masih jauh dari target yang diharapkan. Faktor dominan yang menghambat pemberian ASI Eksklusif ini umumnya adalah kebiasaan masyarakat memberikan makanan/minuman beberapa saat setelah lahir berupa madu, larutan gula, susu bubuk, pisang, hal ini merupakan Tradisi turun temurun. Pemberian ASI Eksklusif di masih sangat rendah, sementara pemberian ASI dan minuman lainnya/pemberian makanan dan minuman selain ASI di Aceh masih sangat tinggi.
Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Aceh jumlah bayi yang diberi ASI Eksklusif di Aceh berjumlah 18.508 bayi dari 110.301 jumlah bayi yang ada di Aceh (Depkes, 2007). Dan data dari Dinas Kesehatan Aceh Pidie (2007) jumlah bayi yang diberikan ASI Eksklusif berjumlah 629 bayi dari 6.801 bayi yang ada di Kabupaten Aceh Pidie. Data yang didapatkan dari Puskesmas Mila jumlah bayi usia 0-7 bulan berjumlah 39 bayi dari 20 Desa yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Mila Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
Bayi adalah anak dengan rentang usia 0-12 bulan. Masa bayi merupakan bulan pertama kehidupan kritis karena bayi akan mengalami adaptasi terhadap lingkungan, perubahan sirkulasi darah, serta organ-organ tubuh mulai berfungsi, dan pada usia 29 hari sampai 12 bulan, bayi akan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat (Perry & Potter, 2005).
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif yang diukur dalam satuan berat (gram, kilogram), satuan panjang (centimeter, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh) (Perry & Potter, 2005; Supariasa, 2001; Tanuwijaya, 2003).
Parameter yang biasa digunakan untuk mengukur kemajuan pertumbuhan adalah berat badan dan tinggi badan/panjang badan (Hidayat, 2008). Normalnya pada usia beberapa hari, berat badan bayi akan mengalami penurunan lebih kurang 10% dari berat badan saat lahir dan akan kembali mencapai berat badan saat lahir pada hari kesepuluh. Panjang badan adalah pengukuran yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal (Nursalam dkk, 2005).
Bayi usia 0-7 bulan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal hanya dengan mengandalkan asupan gizi dari Air Susu Ibu (ASI). ASI adalah nutrisi alamiah terbaik bagi bayi dengan kandungan gizi paling sesuai untuk pertumbuhan optimal, sebab ASI mengandung semua nutrisi yang diperlukan untuk bertahan hidup pada 6 bulan pertama, yang meliputi hormon, antibodi, faktor kekebalan, dan antioksidan (Prasetyono, 2009). Keunggulan kandungan ASI yang berperan dalam pertumbuhan bayi yaitu protein, lemak, elektrolit, enzim dan hormon (Evawany, 2005).
Setelah usia 6 bulan, disamping ASI dapat pula diberikan makanan tambahan (MP-ASI, Makanan Pendamping ASI), namun pemberiannya harus diberikan secara tepat meliputi kapan memulai pemberian, apa yang harus diberikan, berapa jumlah yang diberikan dan frekuensi pemberian untuk menjaga kesehatan bayi (Rosidah, 2008). Pemberian makanan tambahan harus disesuaikan dengan maturitas saluran pencernaan bayi dan kebutuhannya (Narendra dkk, 2008).
Rendahnya pencapaian ASI-Eksklusif ini disebabkan karena adanya anggapan ibu-ibu bahwa bayi yang diberi MP-ASI (ASI Non Eksklusif) akan lebih sehat karena berat badan yang lebih gemuk (Renata, 2009). Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu diketahui bagaimana berat badan bayi usia 0-7 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi MP-ASI (ASI Non Eksklusif) sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan Kenaikan Berat Badan Bayi Usia 0-7 Bulan yang diberikan ASI Ekslusif dan Non Ekslusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mila Kabupaten Pidie ”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang diteliti adalah Bagaimanakah Perbandingan Kenaikan Berat Badan Bayi Usia 0-7 Bulan yang diberikan ASI Ekslusif dan Non Ekslusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mila Kabupaten Pidie?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbandingan Kenaikan Berat Badan Bayi Usia 0-7 Bulan yang Diberikan ASI Ekslusif dan Non Ekslusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mila Kabupaten Pidie .
2.Tujuan Khusus
  1. Mengidentifikasi berat badan bayi 0-7 bulan yang diberi ASI Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Mila Kabupaten Pidie .
  2. Mengidentifikasi berat badan bayi 0-7 bulan yang diberi ASI Non Ekslusif di wilayah kerja Puskesmas Mila Kabupaten Pidie .
  3. Menganalisa Perbandingan berat badan bayi 0-7 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan diberi ASI Non Ekslusif di wilayah kerja Puskesmas Mila Kabupaten Pidie .
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas kesehatan khususnya bidan sehingga dapat menjalankan perannya secara maksimal dan berkesinambungan dalam upaya meningkatkan promosi kesehatan bayi melalui penggalakkan pemberian ASI Eksklusif. 
2. Bagi Pendidikan Kesehatan
Mengembangkan ilmu kebidanan dan menambah informasi tentang perbandingan pertumbuhan bayi 0-7 bulan yang diberikan ASI Eksklusif dan ASI Non ekslusif.
3. Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya dan sebagai dasar penelitian lebih lanjut tentang pemberian makanan pada bayi sesuai tingkat usia.