Bio Teknologi Pertanian

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

Bioteknologi Pertanian adalah
Bioteknologi Pertanian

KATA PENGANTAR MAKALAH BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan berkat dan hidayah – Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah "Bioteknologi Pertanian" yang sederhana ini, dan selawat serangkai salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW serta seluruh keluarga dan sahabatnya yang telah membawa umat manusia kejalan kebenaran, sehingga menjadi manusia beriman dan berkeperibadian. Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak mengalami kekurangan, baik keterbatasan literatur, sarana dan prasarana yang dibutuhkan maupun karena keterbatasan pengetahuan saya.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saya sangat mengharapkan kritikan dan saran untuk perbaikan makalah ini. Akhir kata saya memanjatkan doa semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat kepada kita semua. Amin Ya Rabbal A’lamin.

Latar Belakang Bioteknologi Pertanian

Indonesia merupakan negara agraris yang menitik-beratkan pembangunannya pada sektor pertanian. Namun, berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) hingga kini kebutuhan beras masih lebih tinggi daripada produksi nasional sehingga saat ini Indonesia masih perlu mengimpor beras, bahkan pernah mencapai volume 5,8 juta ton. Kondisi ini menyebabkan Indonesia pernah menjadi negara agraris pengimpor beras terbesar di dunia. Volume impor produk-produk pertanian lainnya juga mengalami peningkatan. Impor jagung misalnya dari 298.236 ton (1998), 591.056 ton (20% dari kebutuhan, 1999) menjadi 1.199.322 ton (60% dari kebutuhan, 2000). Impor gandum sebesar 3,58 juta ton, kedelai sebesar 1,27 juta ton, gula pasir sebesar 1,7 juta ton. Data BPS juga menunjukkan bahwa pada tahun 2001 Indonesia mengimpor 0,8 juta ton kacang tanah, 0,3 juta ton kacang hijau, bahkan 0,9 juta ton gaplek.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas pertanian di Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (2002) salah satu penyebabnya adalah berkurangnya luas lahan pertanian di Indonesia. Penyebab lain menurut Adi (2003) adalah menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida, dan pencemaran logam berat. Serangan hama dan penyakit yang masih sulit dikendalikan, seperti busuk pangkal batang sawit ( Gonoderma sp) dan Penggerek Buah Kakao (PBK), juga merupakan salah satu kendala yang mengancam dunia agribisnis di Indonesia.
Kondisi ini bertolak belakang dengan negara-negara industri maju yang bukan negara agraris. Sebagai contoh, Amerika memproduksi sekitar 42,8 % dari total produksi kedelai dunia pada tahun 2001/2002 dengan volume 78,67 juta ton. Indonesia pada tahun 2001 hanya menghasilkan 0,82 juta ton kedelai. Produktivitas kedelai Indonesia juga jauh lebih rendah daripada produktivitas kedelai di negara industri. Produkvititas kedelai di AS adalah 2,66 ton/ha, sedangkan di Indonesai 1,2 ton/ha atau hanya 45%-nya (Pakpahan, 2004). Itu semua dapat terjadi karena negara industri maju menerapkan pertanian berbasis bioteknologi ( Biotechnological Agriculture ).
Perkembangan pertanian berbasis bioteknologi bukan pada komoditasnya, misalnya kelapa sawit, melainkan teknologi yang dapat menciptakan sifat-sifat kelapa sawit yang unggul seperti yang diinginkan oleh komsumen. Pertanian berbasis bioteknologi ini sebagian besar merupakan output dari perusahaan-perusahaan besar. Data dari USDA menyebutkan bahwa sejak 1976 – 2000 jumlah paten produk bioteknologi telah mencapai 11.073 buah. Sepuluh perusahaan besar yang menerima paten terbanyak dalam bidang bioteknologi di AS adalah Monsanto Co., Inc (674 paten), Du Pont, E.I. De Nemours and Co. (565 paten), Pioner Hi-Bred International, Inc. (449 paten), USDA (315 paten), Sygenta (284 paten), Novartis AG (230 paten), University of California (221 paten), BASF AG (217 paten), Dow Chemical Co. (214 paten), dan Hoechast Japan Ltd. (207 paten. Sebagian dari produk-produk bioteknologi tersebut juga sudah beredar di Indonesia.
Bioteknologi menawarkan suatu solusi untuk mengembangkan pertanian di Indonesia. Banyak penelitian-penelitian bioteknologi yang telah dilakukan. Namun, sangat jarang yang berhasil menjadi sebuah produk yang siap dikomersialkan dan dipergunakan oleh petani. Banyak penelitian-penelitian bioteknologi yang hanya menjadi makalah dalam seminar atau artikel di dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sebagian menjadi produk yang setengah jadi atau belum siap dikomersialkan dan sebagian lagi gagal dalam komersialisasi. Sosialisasi produk bioteknologi juga telah banyak dilakukan. Namun, dari sosialisasi itu produk bioteknologi hanya sampai pada petani, tetapi tidak sampai di lahan petani. Makalah ini menyajikan secara ringkas komersialisasi produk bioteknologi yang didasarkan pada pengalaman penulis senior.

Rumusan Masalah Makalah Bioteknologi Pertanian

  1. Pengertian Bioteknologi
  1. Pengertian Bioteknologi Pertanian
  1. Tantangan Aplikasi Bioteknologi Pertanian di Pedesaan Indonesia
  1. Tanaman Trangesik, Peluang Sekaligus Ancaman Bioteknologi Pertanian di Indonesia


Tujuan Penulisan Makalah Bioteknologi Pertanian

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah, serta untuk wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang Bioteknologi Pertanian.

Pengertian Bioteknologi

Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup dan 'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989) mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan jasa (Goenadi & Isroi, 2003).
Dengan definisi tersebut bioteknologi bukan merupakan sesuatu yang baru. Dimulai dari nenek moyang kita, pemanfaatkan mikroba telah dilakukan untuk membuat produk-produk berguna seperti tempe, oncom, tape, arak, terasi, kecap, yogurt, dan nata de coco . Hampir semua antibiotik berasal dari mikroba, demikian pula enzim-enzim yang dipakai untuk membuat sirop fruktosa hingga pencuci pakaian. Dalam bidang pertanian, mikroba penambat nitrogen telah dimanfaatkan sejak abad ke 19. Mikroba pelarut fosfat telah dimanfaatkan untuk pertanian di negara-negara Eropa Timur sejak tahun 1950-an. Mikroba juga telah dimanfaatkan secara intensif untuk mendekomposisi limbah dan kotoran.

Pengertian Bioteknologi Pertanian

a.       Peningkatan Kualitas Bahan Tanam

Padi yang berjejer rapi di sawah-sawah pedesaan bukan merupakan sesuatu yang kebetulan terjadi, tetapi merupakan hasil dari kerja keras nenek moyang kita selama beberapa abad. Selama beradab-abad manusia telah membudidayakannya dengan menyilangkan dan menyeleksinya dari tanaman galur liar hingga diperoleh galur padi seperti yang ada saat ini. Dalam pekerjaan penyilangan dan penyeleksian tersebut sesungguhnya manusia telah melakukan transaksi gen (pertukaran bahan genetik) dari berbagai macam kerabat liar menjadi tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, seperti produksinya tinggi, masa panen singkat, berasnya pulen, tahan wereng, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi pada produk-produk pertanian, peternakan, dan perikanan yang merupakan hasil transaksi gen selama berabad-abad.
Transaksi gen dengan cara konvensional membutuhkan waktu yang relatif lama dengan hasil yang sulit diprediksikan. Bioteknologi menawarkan cara alternatif baru dalam transaksi gen dalam waktu yang relatif singkat dengan hasil yang lebih dapat diprediksikan. Metode konvensional transaksi gen dilakukan pada taraf organisme, sedangkan bioteknologi melakukan transaksi gen pada taraf sel atau molekuler. Bahkan bioteknologi mampu menembus batasan taksonomi yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan dengan cara konvensional.
Peningkatan kualitas bahan tanam melalui bioteknologi berdasarkan pada empat kategori peningkatan: peningkatan kualitas pangan, resistensi terhadap hama atau penyakit, toleransi terhadap stress lingkungan, dan manajemen budidaya (Huttner, 2003). Kelompok peneliti yang diketuai oleh Dr. Ingo Potrykus telah berhasil memasukkan dan mengekspresikan dua gen penting dalam pembentukan provitamin A di dalam endosperma padi (Ye et. al., 2000). Padi yang dihasilkan berwarna kuning karena mengandung ß-Karoten dan dikenal dengan ” Golden Rice ”. Rekayasa genetika ini dapat membantu mengurangi gangguan kebutaan dan gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A yang banyak terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Penggunaan pestisida oleh petani di pedesaan sudah sangat berlebihan. Residu pestisida yang tertinggal tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi juga berbahaya bagi manusia yang memakannya. Perakitan tanaman yang resisten terhadap hama tertentu dapat mengurangi secara signifikan penggunaan pestisida dan biaya perawatan (Carpenter dan Gianessi, 2001). Contoh tanaman transgenik yang resisten terhadap hama adalah jagung Bt dan kapas Bt, yaitu tanaman yang telah memiliki gen Cry IA yang mematikan jenis hama tertentu.
Perakitan tanaman untuk mengatasi stres lingkungan saat ini telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, untuk mengatasi cekaman Al di tanah-tanah masam saat ini tengah dirakit kedelai yang tahan cekaman Al oleh sekelompok peneliti yang diketuai Dr. M.Yusuf dari IPB. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) melakukan penelitian untuk merakit tanaman tebu yang tahan terhadap cekaman kekeringan.

b.      Biofertilizer dan Biodecomposer

Daya dukung sebagian lahan pertanian, terutama di lahan-lahan marginal tergolong rendah sebagai akibat dari rendahnya bahan organik tanah. Bahan organik tanah sebagai sumber energi sangat penting artinya bagi aktivitas mikroba tanah. Sebagian dari mikroba tanah tersebut sangat berperan dalam mekanisme efisiensi pelarutan unsur hara di dalam tanah, baik hara yang berasal dari tanah maupun yang dari pupuk. Oleh karena kadar bahan organik yang rendah, maka aktivitas mikroba tersebut juga rendah. Akibatnya, pupuk kimia yang diberikan ke tanah untuk tanaman, sebagian besar terbuang oleh proses pencucian, penguapan, dan fiksasai. Oleh karena itu, apabila aktivitas mikroba tanah dan/atau bahan organik tanah ditingkatkan, maka efisiensi penyediaan unsur hara dapat ditingkatkan.
Pemanfaatan mikroba tanah untuk pertanian telah dimulai sejak abad ke 19, yaitu pemanfaatan mikroba penambat nitrogen untuk meningkatkan kandungan hara N di dalam tanah. Mikroba tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai biofertilizer adalah mikroba pelarut hara, penambat hara, pengikat hara, dan/atau pemantap agregat. Pada dasarnya biofertilizer bukan pupuk dalam pengertian konvensional, seperti urea, SP36, atau MOP, sehingga aplikasinya tidak dapat menggantikan seluruh hara yang dibutuhkan tanaman (Goenadi et. al., 1998). Aplikasi biofertilizer ke dalam tanah, dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam tanah, sehingga ketersediaan hara berlangsung optimum dan dosis pupuk konvensional dapat dikurangi tanmpa menimbulkan penurunan produksi tanaman dan tanah. Salah satu produk biofertilizer bernama Emas ( Enhancing Microbial Activity in the Soils ) telah dirakit oleh BPBPI (Paten ID 0 000 206 S), dilisensi oleh PT Bio Industri Nusantara dan digunakan di berbagai perusahaan perkebunan (BUMN dan BUMS) (Goenadi, 1999).
Kandungan bahan organik tanah dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan organik limbah pertanian yang telah terdekomposisi (kompos) ke dalam tanah. Proses dekomposisi memerlukan secara alami waktu yang lama (3-6 bulan). Proses dekomposisi dapat dipercepat melalui pengecilan bahan baku dan pemberian aktvator dekomposisi ( Biodecomposer ) (Goenadi, 1997). Pemanfaatan biodecomposer dapat mempercepat proses pengomposan menjadi 2-3 minggu. Selain itu, sebagian mikroba bahan aktif biodecomposer yang masih tertinggal di dalam kompos juga berperan sebagai musuh alami penyakit jamur akar atau busuk pangkal batang.

c.       Biokontrol dan Bioremediasi

Mikroba juga telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Aplikasi mikroba untuk biokontrol hama dan penyakit tanaman meliputi mikroba liar yang telah diseleksi maupun mikroba yang telah mengalami rekayasa genetika. Contoh mikroba yang telah banyak dimanfaatkan untuk biokontrol adalah Bauveria bassiana untuk mengendalikan serangga, Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan hama boktor tebu ( Dorysthenes sp) dan boktor sengon ( Xyxtrocera festiva ), dan Trichoderma harzianum untuk mengendalikan penyakit tular tanah ( Gonoderma sp, Jamur Akar Putih, dan Phytopthora sp). Biokontrol tidak selalu menggunakan mikroba sebagai bahan aktinya, Puslit Kopi dan Kakao di Jember saat ini tengah mengembangkan semut hitam untuk mengendalikan hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Keuntungan pemanfaatan biokontrol untuk pertanian antara lain adalah ramah lingkungan, dan mengurangi konsumsi pestisida yang tidak ramah lingkungan.
Salah satu penyebab menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia adalah bayaknya residu bahan kimia sintetik, seperti herbisida. Menurut data dari FAO (1998) penggunaan herbidisa di Indonesia pada tahun 1996 sebesar 26.570 ton. Jumlah ini meningkat sebesar 395% jika dibandingkan pengunaa herbisida pada tahun 1991 (6.739 ton). Upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang terkena polusi herbisida tersebut telah dilakukan. Salah satu teknologi alternatif untuk tujuan tersebut adalah melalui bioremediasi . Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutann secara biologi dalam kondisi terkendali. Penguraian senyawa kontaminan ini umumny melibatkan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (i) menggunakan mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik), (ii) memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (iii) penambahan mikroorganisme (bioaugmentasi) (Sulia, 2003).

d.      Peternakan dan Perikanan

Bioteknologi juga telah melakukan beberapa terobosan penting dalam dunia peternakanan dan perikanan. Salah satu keberhasilan yang beberapa waktu lalu cukup mengemparkan dunia adalah keberhasilan Dr. Ian Helmut mengkloning domba yang dikenal dengan ”Dolly”. Keberhasilan ini membuka peluang bagi dunia peternakan untuk mengembangbiakan tenak dengan sifat-sifat yang relatif seragam. Keberhasilan lain adalah rekayasa genetik untuk meningkatkan efisiensi metabolisme ternak/ikan, seperti peningkatan penyerapan pakan, peningkatan kualitas daging, dan produksi susu (Huttner, 2003).

TANTANGAN APLIKASI BIOTEKNOLOGI DI PEDESAAN INDONESIA

Petani di pedesaan pada umumnya adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah dengan pola pikir yang sederhana. Petani pada umumnya agak sulit untuk menerima dan mempraktekkan teknologi baru seperti bioteknologi pertanian tanpa menyaksikan dan mempraktekan sendiri. Aplikasi bioteknologi pada petani di pedesaan memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan dilakukan secara terus menerus. Ada semacam keraguan bahwa bioteknologi dapat diterapkan dengan sukses di pedesaan oleh petani. Pendapat ini tentunya dilandasi oleh asumsi bahwa bioteknologi merupakan cara atau teknik yang rumit.
Bioteknologi dapat berupa teknik yang sederhana seperti fermentasi tempe atau memerlukan teknik-teknik yang rumit dengan biaya besar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merakit produk bioteknologi untuk diaplikasikan di pedesaan adalah bahwa serumit apapun proses perakitannya hasil akhir dari proses tersebut harus sesederhana mungkin ( user friendly ). Petani sebagai pengguna bioteknologi dapat dengan mudah mempraktekkannya. Bagi petani hal terpenting adalah bahwa aplikasi bioteknologi dapat menciptakan efisiensi dan peningkatan keuntungan usaha taninya.
Progresifitas usaha tani di pedesaan hanya mungkin berlangsung optimal jika teknologi maju yang diciptakan di perkotaan segera ditransfer ke lahan petani. Tanpa upaya-upaya yang intensif dan konsisten jurang antara kemajuan teknologi dan produktivitas pertanian di pedesaan tidak akan pernah dapat terjembatani. Kemampuan kewirausahaan berbasis teknologi ( Technopreneurship ) menjadi sangat penting untuk secara terus-menerus dibina dikalangan para petani sebagai pelaku usaha di bidang agribisnis.

Tanaman Transgenik, Peluang Sekaligus Ancaman Bioteknologi Pertanian Indonesia

Tanaman transgenik menjanjikan potensi keuntungan bagi pelaku agribisnis, namun di sisi lain memberikan gambaran suram bagi pemerhati lingkungan karena ternyata ada bahaya ekologis yang patut menjadi perhatian semua pihak.
Yang dimaksud dengan tanaman transgenik adalah tanaman hasil rekayasa genetika dengan upaya pemanfaatan bioteknologi. Dengan demikian, tanaman transgenik mengandung gen (pembawa sifat tanaman) yang berasal dari luar tanaman yang secara sengaja dan terencana dipindahkan dengan teknologi canggih tersebut. Gen yang dipindah- kan bisa berasal dari binatang, tanaman atau tumbuhan, bakteri, virus dan lain-lain.
Hingga saat ini gen yang dianggap dapat memperbaiki sifat tanaman yang diinginkan sudah berhasil dipindahkan (genetic modified and transferred) dan menghasilkan tanaman baru yang lebih baik.
Pemanfaatan tanaman transgenik merupakan sebuah peluang karena dapat meningkatkan produksi tanaman pangan.  Dengan demikian pemanfaatan tanaman transgenik berupa faktor pengungkit (leverage) pada peningkatan produksi tanaman yang cenderung melandai atau leveling off. Namun di sisi lain ada pro kontra terhadap pemakaian tanaman transgenik ini. Pro kontra terjadi pada aspek keamanan dan mutu pangan transgenik dan pada aspek kelestarian lingkungan mengingat adanya bahaya ekologis dan ancaman keamanan pangan yang membahayakan kesehatan manusia atau binatang yang mengonsumsi makanan yang berasal dari tanaman transgenik.
Kecepatan memproduksi tanaman transgenik di dunia sangat signifikan. Perkembangan dapat digambarkan oleh negara Amerika Serikat yang pada tahun 2000 baru menghasilkan 24 jenis, dan tahun 2003 sudah lebih dari 30 jenis tanaman transgenik yang dipasarkan. Di seluruh dunia pada tahun 2002 ada empat tanaman transgenik utama yang berkembang pesat, yaitu kedelai mencakup 36% dari 72 juta ha pertanaman; tanaman kapas meliputi 36% dari 34 juta ha, tanaman kanola meliputi 11% dari 25 juta ha dan jagung meliputi 7% dari 140 juta ha.
Berdasarkan total areal tanam transgenik di dunia, tanaman kedelai menduduki tempat pertama dengan mencapai areal 25,8 juta hektare, diikuti dengan jagung Bt yang tahan ulat penggeret, kemudian kanola yang tahan herbisida, dan jagung yang tahan herbisida, kapas yang tahan herbisida dan kemudian kapas Bt yang tahan hama penggerek serta tahan herbisida.
Mulai tahun 1996 tanaman transgenik mewarnai perdagangan pangan internasional. Pangsa pasar tanaman transgenik yang praktis nol pada tahun 1996, karena baru direkayasa, dua tahun kemudian telah berhasil menguasai pasar 30% untuk tanaman utama (jagung, kedelai dan kapas) di Amerika Serikat. Nilai perdagangan benih transgenik meningkat 3.000% di seluruh dunia dalam lima tahun terakhir. Sebanyak dua belas negara di dunia telah mengadopsi tanaman transgenik untuk ditanam dalam skala komersil yaitu Amerika Serikat, Argentina, Kanada, Cina, Australia, Afrika Selatan, Meksiko, Spanyol, Prancis, Portugal, Rumania dan Ukraina. Sementara itu Brasil dan India telah melakukan perdagangan tanaman transgenik mulai tahun 2002 yang diikuti oleh Malaysia dan Filipina. Di Indonesia tanaman transgenik sudah mulai diperkenalkan kepada petani, yaitu tanaman kapas transgenik, walaupun masih dalam skala pengkajian.
Jika kecenderungan peningkatan luas budidaya tanaman transgenik tidak berubah, diperkirakan sekitar lima tahun ke depan 60% perdagangan pangan utama di dunia adalah hasil dari tanaman transgenik. Bioteknologi sudah berhasil pula diterapkan untuk tanaman utama di dunia, yaitu padi dan gandum. Saat ini telah memasuki tahapan pengembangan dan dua tahun ke depan kemungkinan akan memasuki tahap komersialisasi.
Tanaman transgenik menjanjikan potensi keuntungan bagi pelaku agribisnis, namun di sisi lain memberikan gambaran suram bagi pemerhati lingkungan karena ternyata ada bahaya ekologis yang patut menjadi perhatian semua pihak.
Beberapa risiko ekologis tanaman transgenik antara lain: Pertama, saat penyebaran benih transgenik akan terjadi transfer gen horizontal melalui penyerbukan (polinasi) yang tidak dapat terkontrol, misalnya benih dimakan burung, serbuksari terbawa angin atau tanpa sengaja benih terbawa alat transportasi yang lintas negara. Hal ini akan menimbulkan kontaminasi genetik yang tidak dapat terkendali.
Kedua, penggunaan tanaman dapat menimbulkan risiko guncangan ekologis akibat ketidakseimbangan antara musuh alami (predator) dengan hama tanaman. Hal ini sangat besar kemungkinannya untuk terjadi karena penggunaan tanaman transgenik sangat mempengaruhi tritrophic system yaitu tanaman transgenik sebagai tanaman yang resisten hama (contoh jagung Bt, kapas Bt), insekta pengganggu (hama tanaman) sebagai second trophic level, dan parasit atau predator sebagai third trophic level. Sistem alamiah ini akan pasti terganggu akibat pemakaian tanaman transgenik secara besar-besaran. Interaksi dari ketiga subsistem itu akan beragam, dapat menguntungkan, merugikan, atau netral.
Penelitian mengenai hal ini diperlukan agar perdebatan mengenai dampak tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa pengaruh Bt-transgenik menyebabkan penurunan populasi hama dan juga penurunan populasi musuh hama (predator). Namun demikian diberitakan bahwa penanaman kapas Bt dalam skala penelitian terbukti menurunkan sedikit populasi insekta yang berguna karena musuh alami tersebut masih memperoleh makanan dari tanaman yang tidak ditanami kapas Bt-transgenik. Pengaruhnya akan nyata apabila sudah dikembangkan dalam skala komersial.
Negara yang melakukan penanaman komersial dari tanaman transgenik biasanya melakukan analisa keamanan pangan termasuk konsekuensi langsung (kajian nutrisi, efek alergi dan keracunan) atau tidak langsung (efek baru yang tidak dinginkan dari transfer gen itu serta pengaruhnya terhadap metabolisme tanaman). Sekarang telah dikembangkan suatu solusi yang baik dengan cara pendekatan substantial equivalence yaitu membandingkan pangan transgenik dengan tanaman pangan konvensionalnya.
Apabila keduanya sama-sama memiliki status nutrisi yang sama (walaupun tidak identik sama) serta sama-sama tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan maka pangan transgenik tersebut aman dikonsumsi. Ini yang perlu dilakukan secara lebih intensif, bukan hanya melakukan uji laboratorium terhadap produk olahan yang ada di pasar untuk diteliti apakah produk olahan itu mengandung tanaman transgenik atau tidak.
Kekhawatiran terhadap risiko tanaman transgenik ini perlu mendapat perhatian serius, karena sebagai produk teknologi baru, risiko jangka panjangnya belum diketahui. Para ilmuwan tidak dapat mengatakan secara pasti bahwa suatu produk 100% aman karena sekecil apa pun risiko akan tetap ada.
Analisis risiko lingkungan untuk memantapkan adopsi terhadap tanaman transgenik perlu dilakukan. Sebagai contoh, analisa ini dilakukan untuk mengkaji dampak penanaman kapas transgenik (kapas transgenik Bollgard produksi Monsanto) yang diuji-coba pengembangannya di Sulawesi Selatan. Hasil kajian perguruan tinggi di Indonesia (antara lain Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin) menghasilkan analisa risiko lingkungan sebagai berikut: Pertama, analisis mikrobiologi, fisiologi dan genetika molekular untuk mengetahui pengaruh kapas Bollgard terhadap mikroorganisme dan sejumlah biota tanah menunjukkan bahwa pengaruh kapas Bollgard tidak berbeda dengan kapas biasa (non Bt).
Kedua, analisis ketahanan terhadap antibiotik dan genetika molekular menunjukkan bahwa frekuensi transfer gen dari daun kapas Bollgard pada bakteri tanah Aconetobacter calcoaceticus ADP1 tidak dapat dideteksi dalam percobaan tersebut. Ketiga, penelitian terhadap jumlah kelimpahan jenis dan populasi arthropoda bukan sasaran pada kapas Bollgard relatif sama dengan kapas nontransgenik.
Keempat, resistensi hama Helicoverpa armigera terhadap kapas Bollgard belum terlihat secara nyata pada tahun 2001 dan ini sebagai dasar acuan pendeteksian dini resistensi seterusnya.
Pemerintah telah mengambil sikap pro dengan penuh kehati-hatian dalam pengembangan tanaman transgenik di Indonesia. Tanaman transgenik yang akan dilepas di Indonesia hendaknya telah secara teruji melalui penelitian dan pengembangan yang baik, terencana, dan berkelanjutan.
Kehati-hatian perlu diterapkan dengan sangat baik karena di balik peluang ada risiko. Pengambilan keputusan untuk mengembangkan tanaman transgenik di berbagai daerah perlu dilakukan melalui proses penelitian dan pengembangan yang terpadu antara pemerintah, perguruan tinggi, pelaku bisnis, LSM, swasta, dan masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup dan 'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989) mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan jasa (Goenadi & Isroi, 2003).
Salah satu penyebab menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia adalah bayaknya residu bahan kimia sintetik, seperti herbisida. Menurut data dari FAO (1998) penggunaan herbidisa di Indonesia pada tahun 1996 sebesar 26.570 ton. Jumlah ini meningkat sebesar 395% jika dibandingkan pengunaa herbisida pada tahun 1991 (6.739 ton). Upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang terkena polusi herbisida tersebut telah dilakukan. Salah satu teknologi alternatif untuk tujuan tersebut adalah melalui bioremediasi .
Bioteknologi dapat berupa teknik yang sederhana seperti fermentasi tempe atau memerlukan teknik-teknik yang rumit dengan biaya besar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merakit produk bioteknologi untuk diaplikasikan di pedesaan adalah bahwa serumit apapun proses perakitannya hasil akhir dari proses tersebut harus sesederhana mungkin ( user friendly ).
Kecepatan memproduksi tanaman transgenik di dunia sangat signifikan. Perkembangan dapat digambarkan oleh negara Amerika Serikat yang pada tahun 2000 baru menghasilkan 24 jenis, dan tahun 2003 sudah lebih dari 30 jenis tanaman transgenik yang dipasarkan. Di seluruh dunia pada tahun 2002 ada empat tanaman transgenik utama yang berkembang pesat, yaitu kedelai mencakup 36% dari 72 juta ha pertanaman; tanaman kapas meliputi 36% dari 34 juta ha, tanaman kanola meliputi 11% dari 25 juta ha dan jagung meliputi 7% dari 140 juta ha.

Saran

Kekhawatiran terhadap risiko tanaman transgenik perlu mendapat perhatian serius, karena sebagai produk teknologi baru, risiko jangka panjangnya belum diketahui. Para ilmuwan tidak dapat mengatakan secara pasti bahwa suatu produk 100% aman karena sekecil apa pun risiko akan tetap ada.

PENUTUP

Produksi pertanian di Indonesia mengalami penurunan dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain semakin sempitnya luas lahan pertanian dan menurunnya kualitas lahan pertanian. Bioteknologi pertanian menawarkan salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pertanian di Indonesia. Aplikasi bioteknologi pertanian di pedesaan antara lain adalah peningkatan kualitas bahan tanam meliputi kualitas pangan, resisten terhadap hama dan penyakit, dan toleran terhadap cekaman lingkungan. Apliksi biofertilizer dan biodecomposer yang berbahan aktif mikroba dapat mengurangi konsumsi pupuk konvensional tanpa menurunkan produktivitas pertanian. Selain itu aplikasi biokontrol dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai hama dan penyakit pertanian. Sejalan dengan program Go Organic 2010 yang diluncurkan pemerintah, aplikasi bioteknologi dapat digunakan untuk mengembangkan pertanian organik di pedesaan.
Salah satu hambatan aplikasi bioteknologi di pedesaan adalah tingkat pendidikan petani yang rendah dan sulit untuk mengadopsi teknologi baru. Permasalahan ini dapat diatasi dengan melakukan sosialisasi yang intensif oleh pemerintah dan perakitan produk bioteknologi yang sederhana dan mudah dipraktekkan oleh petani di pedesaan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah promosi terhadap nilai tambah produk organik bagi kesehatan, sehingga konsumen bersedia membayar lebih mahal daripada produk konvensional.

DAFTAR PUSTAKA MAKALAH BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

http://www.ipard.com/art_perkebun/apr03-05_dhg+isr.asp
http://www.situshijau.co.id/tulisan.php?act=detail&id=271&id_kolom=1

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

komentar
28 Februari 2011 pukul 15.28 delete Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
avatar