BAB I
PENDAHULUAN
sejarah otonomi daerah di indonesia yang disakralkan pasca Reformasi 1998,
banyaknya perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari
desentralisasi kekuasaan pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan konsep otonomi daerah secara
jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep otonomi daerah memiliki
sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut aspek
yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai
dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi
dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para
penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu
sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum seringkas dan selugas otonomi daerah,
masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka penulis tertarik untuk menguraikan masalah dalam penulisan ini
yaitu “Bagaimanakah sejarah otonomi daerah di Indonesia?”
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah
yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan utama dalam penulisan
ini adalah untuk mengetahui sejarah otonomi daerah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang
berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan
demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan kemandirian. Otonomi
daerah berarti kebebasan dan kemandirian daerah dalam menentukan
langkah-langkah sendiri (Widarta, 2001:2).
B. Sejarah Otonomi Daerah Di IndonesiaSejarah otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat dalam uraian berikut:
1. Warisan Kolonial
2. Masa Pendudukan Jepang
Pada tahun 1903, pemerintah
kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya
satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini
deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922,
pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan
locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat.
Pemerintah kerajaan satu per satu
diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak
panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan
kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
2. Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar Perang dingin II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur
mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini
berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di
Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang
singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan
yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di
wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan
undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki
kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa
tersebut bersifat misleading.
3. Masa Kemerdekaan
1) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan
yakni:
a. Provinsib. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur
hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya
terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2) Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur
tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a. Propinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil
d. Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957,
daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi
menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam
tiga tingkat, yaitu:
a. Daerah swatantra tingkat I, termasuk kota praja Jakarta Raya
b. Daerah swatantra tingkat II
c. Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya
sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4) Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara
dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
a. Provinsi (tingkat I)
b. Kabupaten (tingkat II)
c. Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat,
kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di
daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah,
melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan
kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah
mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah,
menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
5) Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah
berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi.
Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah
tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
a. Provinsi/ibu kota negara
b. Kabupaten/kotamadya
c. Kecamatan
Titik berat otonomi daerah
terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung
dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat.
Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
6) Periode Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi.
Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai
berikut:
a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
c. Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d. Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999
banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga
dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
7) Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan
berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan
tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki
antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan
asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak
melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya,
demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan
kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di
perjelas.
BAB III
PENUTUP
Otonomi daerah adalah
suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi
terbaik yang dimilikinya secara optimal. Pemberian otonomi daerah adalah mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga pada hakikatnya tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan
daerah dan mensejahterakan rakyat.
B. Saran
Pemerintah
Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal.
Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap
Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah
Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan
daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu
terwujudnya sejarah otonomi daerah di indonesia yang indah, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, B.
(2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan
Realita Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Salam, D.
(2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya.
Bandung: Djambatan.
Sarundajang.
(1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Syahrir. dkk.
(2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi
Daerah(refleksi pemikiran partai golkar. Jakarta: LASPI.
Widarta.
(2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka
Utama.
Widjaja, H.
(2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah
Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.