Aliran Psikologi Psikoanalisa, Behaviouristik, Dan Humanistik

Aliran Psikoanalisa, Behaviouristik, Dan Humanistik dalam psikologi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
     Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
aliran psikoanalisis Behaviouristik, Dan Humanistik dalam psikologi
Aliran Psikoanalisa, Behaviouristik, Dan Humanistik dalam psikologi

     Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Di dalam masa perkembangan psikologi pendidikan ini muncullah secara beruntun beberapa aliran pasikologi pendidikan, masing-masing yaitu:
  • Psikologi behavioristik;
  • Psikologi kognitif; dan
  • Psikologi humanistik.
B. Perumusan Masalah
  1. Apakah itu teori belajar behavioristik?
  2. Apakah itu teori belajar kognitif?
  3. Apakah itu teori belajar humanistik?
C. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui apa itu teori belajar behavioristik.
  2. Untuk mengetahui apa itu teori belajar kognitif.
  3. Untuk mengetahui apa itu teori belajar humanistik.
BAB II
PEMBAHASAN

Teori Belajar Psikologi Behavioristik

     Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori behavioristik menjadi dominan mewarnai pemikiran selama tahun 1950-an. Berdasarkan hasil karya para ahli dan pemikir seperti John B. Watson, Ivan Pavlov, dan B.F. Skinner. Para psikolog behavioristik juga sering disebut “contemporary behaviorists” atau juga disebut “S-R psychologists”. Teori behavioristik berpendapat bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan internal. Behavioristik berfokus pada perilaku yang dapat diamati. Terdapat tiga macam teori behavioristik, yakni: connectionism (koneksionisme), classical conditioning (pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku respons).

1. Koneksionisme

     Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an yang menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Berdasarkan eksperimennya, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, koneksionisme juga disebut “S-R Nond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Leraning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Dari penelitiannya itu, Thorndike menemukan hukum-hukum sebagai berikut:
  1. Law of effect yaitu jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dengan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
  2. Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conductions unit (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat historis.
  3. Law of exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi in law of use and law of disuse. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunkan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).

2. Pembiasaan Klasik

     Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan Unconditioned-response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
     Berdasarkan eksperimen Pavlov menyimpulakan bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.

3. Pembiasaan Perilaku Respons

     Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904). Tema pokok yang mempengaruhi karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
     “Operant” adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Rober, 1988). Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kamungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu.
     Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov di atas, jika renungkan dan bandingkan dengan teori dan juga riset psikologi kognitif, mengandung banyak kelemahan, diantaranya:
  1. Proses itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya;
  2. Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenannya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati;
  3. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengan hewan.

Teori Belajar Psikologi Kognitif

     Psikologi kognitif adalah cabang psikologi yang mempelajari proses mental termasuk bagaimana orang berfikir, merasakan, mengingat, dan belajar. Bidang psikologi kognitif sangat luas, tetapi umumnya dimulai dengan melihat bagaimana masukan sensori berubah menjadi keyakinan dan tindakan melalui proses kognisi. Istilah psikologi kognitif diciptakan oleh Ulric Neisser tahun 1967 dalam sebuah bukunya yang berjudul Cognitive Psychology.

1. Teori Belajar Piaget

     Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
     Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
     Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
     Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
     Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah.

2. Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya

     Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu:
  • Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek, melakukan pengetahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
  • Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata.
  • Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.

3. Teori Belajar Bermakna Ausubel

     Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna. Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
     Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
  1. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
  2. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.

4. Teori Belajar “Cognitive-Field” dari Lewin

     Tokoh dari teori kognitif adalah Kurt Lewin (1892-1947). Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki.

Teori Belajar Humanistik

     Psikologi humanistik adalah perspektif psikologis yang menekankan studi tentang seseorang secara utuh. Psikolog humanistik melihat perilaku manusia tidak hanya melalui penglihatan pengamat, malainkan juga melalui pengamatan atas perilaku individu mengintegral dengan perasaan batin dan citra dirinya.
     Studi psikologi humanistik melihat manusia, pemahaman, dan pengalaman dalam diri manusia, termasuk dalam kerangka belajar dan belajar. Mereka menekankan karakteristik yang dimiliki oleh makluk manusia seutuhnya seperti cinta, kesedihan, peduli, dan harga diri. Psikolog humanistik mempelajari bagaimana orang-orang dipengaruhi oleh persepsi dan makna yang melekat pada pengalaman pribadi mereka. Aliran ini menekankan pada pilihan kesadaran, respon terhadap kebutuhan internal, dan keadaan saat ini yang menjadi sangat penting dalam membentuk perilaku manusia.
     Pendekatan pengajaran humanistik didasarkan pada premis bahwa siswa telah memiliki kebutuhan untuk menjadi orang dewasa yang mampu mengaktualisasi diri, sebuah istilah yang digunakan oleh Maslow (1954). Aktualisasi diri orang dewasa yang mandiri, percaya diri, realistis tentang tujuan dirinya, dan fleksibel. Mereka mampu menerima dirinya sendiri, perasaan mereka, dan lain-lain di sekitarnya. Untuk menjadi dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan mereka menjadi kreatif.
     Tujuan dasar pendidikan humanistik adalah mendorong siswa menjadi mandiri dan independen, mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan tertarik dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
     Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
     Pembahasan tentang teori belajar yang telah dipaparkan di atas, memberikan pandangan untuk dapat memberikan kesimpulan tentang poin – poin yang telah dibahas antara lain: belajar sebagai kegiatan siswa jika dipandang dari teori-teori tersebut adalah perubahan tingkah laku (behavioristik), untuk mempelajari proses mental, bagaimana cara berfikir, mengingat, merasakan dan belajar (kognitif), dan studi tentang melihat manusia secara utuh, tidak hanya melalui penglihatan pengamat tetapi juga pengamatan atas perilaku individu, mengintegralkan dengan perasaan batin dan citra rasa (humanistik).
B. Saran
     Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kesalahan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Juntika Nurihsan, 2009, Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Refika Aditama, Bandung.
Prayitno.M, 2004, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Rineka Cipta, Jakarta.
Sukardi, Dewa Ktut, 2003, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling Disekolah. Rineka Cipta. Jakarta.
Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Danim, Sudarwan dan Khairl. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »