1. Definisi Hasil belajar
Belajar dan mengajar sebagai
suatu proses mengandung tiga unsur, yaitu: tujuan pengajaran (instruksional),
pengalaman (proses) belajar-mengajar, dan hasil belajar. Hasil belajar siswa
pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif,
afektif, dan psikomotoris (Sudjana, 2005). Untuk mengetahu hasil belajar siswa,
dibutuhkan penilaian sebagai hasil akhir dari hasil belajar. Oleh sebab itu,
dalam penilaian hendaknya diperiksa sejauh mana perubahan tingkah laku siswa
telah terjadi melalui proses belajarnya. Penilaian diartikan sebagai proses
menentukan nilai suatu objek. Inti penilaian adalah proses memberikan atau
menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil
belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan
bahwa objek yang dinilai adalah hasil belajar siswa (Sudjana, 2005).
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Purwanto (2004) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar, antara lain:
a. Faktor individu
Kematangan/pertumbuhan
Mengajarkan sesuatu yang baru dapat berhasil jika taraf
pertumbuhan pribadi telah memungkinkannya serta potensi-potensi jasmani dan
rohaninya telah matang untuk itu.
Kecerdasan/intelegensi
Di samping kematangan, dapat tidaknya seseorang mempelajari
sesuatu dengan berhasil juga ditentukan oleh taraf kecerdasannya.
Latihan dan ulangan
Kerena terlatih, karena seringkali mengulang sesuatu, maka
kecakapan dan pengetahuan yang dimilikinya dapat menjadi semakin dikuasai dan
semakin mendalam. Sebaliknya, tanpa latihan, pengalaman-pengalaman yang telah
dimilikinya dapat menjadi hilang atau berkurang.
Motivasi
Motif merupakan pendorong bagi suatu organisasi untuk
melakukan sesuatu. Motif intrinsik dapat mendorong seseorang sehingga akhirnya
orang tersebut menjadi spesialis dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu.
Sifat-sifat pribadi seseorang
Tiap-tiap orang mempunyai sifat-sifat kepribadiannya
masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sifat-sifat
kepribadian yang ada pada seseorang itu sedikit banyaknya turut pula
mempengaruhi hasil belajar seorang siswa.
b. Faktor sosial
Keadaan keluarga
Termasuk di dalam faktor ini, ada tidaknya
fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam belajar yang dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa.
Guru dan cara mengajar
Terutama dalam belajar di sekolah, faktor guru dan cara
mengajarnya merupakan faktor yang sangat penting. Bagaimana sikap dan
kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan
bagaimana cara guru mengajarkan pengetahuan kepada anak didiknya juga turut
menentukan hasil belajar yang dicapai siswa.
Alat-alat pengajaran
Sekolah yang cukup memili alat-alat dan perlengkapan yang
diperlukan untk belajar ditambah dengan cara mengajar yang baik dari
guru-gurunya, kecakapan guru dalam menggunakan alat-alat tersebut akan
mempermudah dan mempercepat belajar anak-anak.
Motivasi sosial
Belajar adalah suatu proses yang timbul dari dalam, maka
faktor motivasi memegang peranan pula. Jika guru atau orang tua dapat
memberikan motivasi yang baik pada anak-anak maka timbullah dalam diri anak
tersebut dorongan dan hasrat untuk belajar lebih baik.
Lingkungan dan kesempatan
Banyak pula anak-anak yang tidak dapat belajar dengan hasil
baik dan tidak dapat mempertinggi belajarnya, akibatnya tidak adanya kesempatan
yang disebabkan oleh sibuknya pekerjaan setiap harinya, pengaruh
lingkungan yang buruk dan negatif serta faktor-faktor
lainnya yang terjadi di luar kemampuannya.
Selain itu, menurut Ahmadi dan
Supriyono (2008) ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu:
a. Faktor-faktor stimulus belajar
Yang dimaksudkan dengan stimulus
belajar di sini yaitu segala hal di luar individu itu untuk mengadakan reaksi
atau perbuatan belajar. Stimulus dalam hal ini mencakup material, penugasan,
serta suasana lingkungan eksternal yang harus diterima dan dipelajari oleh
pelajar.
b. Faktor-faktor metode belajar
Metode mengajar yang dipakai
oleh guru sangat mempengaruhi metode belajar yang dipakai oleh si pelajar.
Dengan kata lain, metode yang dipakai oleh guru menimbulkan perbedaan yang
berarti bagi proses belajar.
c. Faktor-faktor individual
Kecuali faktor-faktor stimuli
dan metode belajar, faktor-faktor individual sangat besar pengaruhnya terhadap
belajar seseorang. Adapun faktor-faktor individual itu, seperti: kematangan,
usia, jenis kelamin, pengalaman sebelumnya, kapasitas mental, kondisi kesehatan
jasmani dan rohani, serta motivasi.
3. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Secara umum, pembelajaran bahasa
Indonesia bertujuan agar peserta didik mempunyai kemampuan berkomunikasi secara
efektif dan efisien dengan etika yang berlaku secara lisan maupun tulisan,
sehingga bahasa Indonesia dapat digunakan dengan tepat dan kreatif. Sedangkan,
tujuan khusus pembelajaran bahasa Indonesia ialah materi yang diajarkan dapat
dipahami para peserta didik.
Untuk mewujudkan tujuan umum dan
tujuan khusus tersebut maka dibutuhkan beberapa cara, seperti: menggunakan
metode, media atau pembelajaran yang bervariasi agar lebih menarik (Suwarni,
2012). Oleh karena itu, para guru dituntut untuk lebih dapat kreatif
untuk menunjang keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia. Namun, kenyataannya
para guru masih menggunakan metode ceramah dalam menyampaikan materi, sehingga
pembelajaran bahasa Indonesia terlihat monoton dan bersifat pasif karena hanya
berpusat pada guru. Pada pembelajaran bahasa Indonesia, hal yang perlu diubah
adalah pandangan dan sikap para peserta didik yang sering menganggap bahwa
belajar bahasa Indonesia merupakan hal yang sangat membosankan. Mengingat
betapa pentingnya penggunaan bahasa, pembelajaran bahasa harus dilakukan secara
tepat (Suwarni, 2012).
Kumaradivelu (dalam Mularsih,
2010) menjelaskan bahwa perlu adanya prosedur yang harus diterapkan seorang
guru ketika mengajar di dalam kelas, yaitu: memodifikasi materi dan
memfasilitasi aktivitas para siswa. Modifikasi materi mengacu pada cara guru
menyajikan materi yang dapat menarik siswa menjadi termotivasi untuk belajar,
sehingga diperlukannya metode pembelajaran yang tepat. Guru juga harus
memfasilitasi interaksi para siswa, misalnya: memberikan kesempatan kepada
siswa untuk bekerja sama dalam penyelesaian tugas.
B. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah
salah satu model pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian
dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan. Slavin mengemukakan dua
alasan, yaitu: pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus
dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima
kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua,
pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar
berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan
ketarampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan
bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini
memiliki (Sanjaya, 2008).
1. Defenisi Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif
merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim
kecil, yaitu: antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang
kemampuan akademis, jenis kelamin, rasa atau etnis yang berbeda (heterogen).
Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh
penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang
dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan memiliki
ketergantungan positif (Sanjaya, 2008).
Pembelajaran kooperatif bernaung
dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan
lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling
berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk
saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial
dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran
kooperatif (Trianto, 2011).
Larsen (dalam Mularsih, 2010)
menjelaskan bahwa guru dapat menggunakan metode pembelajaran kooperatif sebagai
upaya untuk membuat siswa menjadi termotivasi dalam proses belajar dan dapat
berinteraksi dengan teman dalam bekerja sama. Pembelajaran kooperatif
menekankan pada aktivitas siswa di dalam kelompok dan bagaimana siswa dapat
berkolaborasi serta
bersosialisasi bersama-sama secara efektif.
2. Prinsip Pembelajaran Kooperatif
Menurut Sanjaya (2009) ada empat
prinsip dasar pembelajaran kooperatif, yaitu:
a. Prinsip Ketergantungan Positif (positive
interdependence)
Dalam pembelajaran kelompok,
keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang
dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh
setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan
ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota
kelompok akan merasa saling ketergantungan.
b. Tanggung Jawab Perseorangan (individual
accountability)
Prinsip ini merupakan
konsekuensi dari prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok
tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki
tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.
Setiap anggota harus memberikan
yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru
perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian
individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.
c. Interaksi Tatap Muka (face to face promotion
interaction)
Pembelajaran kooperatif memberi
ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap
muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka
akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk
bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing
anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing.
d. Partisipasi dan Komunikasi (participation
communication)
Pembelajaran kooperatif melatih
siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini
sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh
sebab itu, sebelum melakukan kooperatif guru perlu membekali siswa dengan kemampuan
berkomunikasi. Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, siswa perlu
dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi. Keterampilan berkomunikasi
memang memerlukan waktu. Siswa tidak mungkin dapat menguasainya dalam waktu
sekejap. Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan melatih, sampai pada
akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang
baik.
3. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Menurut Johnson & Johnson
dan Sutton (dalam Trianto, 2009), ada lima unsur penting dalam belajar
kooperatif, yaitu:
a. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara
siswa. Dalam belajar kooperatif siswa merasa mereka sedang bekerja sama untuk
mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Siswa akan merasa bahwa
dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap
suksesnya kelompok.
b. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat. Belajar
kooperatif akan meningkatkan interaksi antara siswa. Hal ini terjadi dalam hal
seorang siswa akan membantu siswa lainnya untuk sukses sebagai anggota
kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena
kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya kelompok.
c. Tanggung jawab individual. Tanggung jawab individual
dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal: (a)
membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) siswa tidak dapat hanya sekedar
“membonceng” pada hasil kerja teman sekelompoknya.
d. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil. Dalam
belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari mataeri yang diberikan,
seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan siswa lain
dalam kelompoknya.
e. Proses kelompok. Belajar kooperatif tidak akan
berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota
kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan
membuat hubungan kerja yang baik.
4. Konsep Utama Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (1995) dalam
Trianto (2009), konsep utama dari belajar kooperatif adalah sebagai
berikut:
a. Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok
mencapai kriteria tertentu.
b. Tanggung jawab individual, bahwa suksesnya kelompok
tergantung pada belajar individual semua angota kelompok. Tanggung jawab ini
terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain dan memastikan setiap anggota
kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.
c. Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa
telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal
ini memastikan bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah sama-sama
tertantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota
kelompok sangat bernilai.
5. Pembelajaran Kooperatif Model Teams Game Tournament
(TGT)
Model pembelajaran kooperatif
model teams game tournament (TGT) dikembangkan oleh Davis De Vries dan Keath
Edward (1995). Pada model ini siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota
tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka. Teams game
tournament (TGT) menggunakan turnamen akademik, kuis-kuis, dan sistem skor
kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan
anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka (Trianto,
2011).
TGT dapat digunakan dalam
berbagai macam mata pelajaran, dari ilmu-ilmu eksak, ilmu-ilmu sosial maupun
bahasa dari jenjang pendidikan dasar (SD, SMP) hingga perguruan tinggi
(Trianto, 2011). TGT sangat cocok untuk mengajar tujuan pembelajaran yang
dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar. Meski demikian, TGT juga
dapat diadaptasi untuk digunakan dengan tujuan yang dirumuskan dengan kurang
tajam dengan menggunakan penilaian yang bersifat terbuka, misalnya: esai atau
kinerja (Trianto, 2011).
6. Tahap-tahap Pembelajaran Teams Game Tournament
(TGT)
Menurut Slavin (2008),
pembelajaran kooperatif model teams game tournament (TGT) terdiri dari empat
tahap utama, yaitu:
a. Tahap presentasi guru
Materi dalam teams game tournament (TGT) diperkenalkan
dalam presentasi guru di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti
yang sering kali dilakukan yang dipimpin oleh guru. Tujuan utama dalam tahap
ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini,
guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang
selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam tahap kelompok belajar.
b. Tahap kelompok belajar
Kelompok belajar terdiri dari empat atau lima siswa yang
mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin,
dan etnis. Fungsi utama dari tahap ini adalah memastikan semua anggota kelompok
benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi adalah untuk mempersiapkan
anggotanya untuk bisa mengerjakan permainan pada tahap turnamen dengan baik.
Setelah guru menyampaikan materi, kelompok berkumpul untuk mempelajari lembar
kerja siswa (LKS).
c. Tahap turnamen
Turnamen adalah sebuah struktur dimana permainan
berlangsung. Permainan terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang isinya relevan
dengan materi yang sudah diberikan serta dirancang untuk menguji pengetahuan
siswa yang diperoleh dari presentasi guru di kelas dan pada tahap kelompok
belajar. Permainan tersebut dimainkan di atas meja dan ada perwakilan dari
masing-masing kelompok belajar. Permainan berupa pertanyaan yang ditulis di
kartubernomor. Setiap kelompok turnamen akan dibagi menjadi pembaca dan
penantang.
d. Tahap penghargaan kelompok.
Kelompok akan mendapatkan sertifiat atau bentuk penghargaan
lainnya apabila mereka mencapai kriteria tertentu.
C. Pembelajaran Konvensional
Metode konvesional adalah metode
pengajaran yang berbentuk ceramah. Dalam metode pembelajaran ini, guru hanya
bercerita saja sesuai dengan yang ada di dalam buku. Metode konvensional
merupakan penuturan atau penjelasan guru secara lisan, di mana dalam
pelaksanaannya, guru dapat menggunakan alat bantu mengajar untuk memperjelas
uraian yang disampaikan kepada murid-muridnya (Sriyono dalam Harsono, dkk,
2009).
Pembelajaran konvensional
merupakan pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru dan cenderung berpusat
pada guru (teacher centered). Kegiatan pembelajaran secara konvensional
berpijak pada teori behavioristik yang banyak didominasi oleh guru.
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran dengan menggunakan metode yang
biasa dilakukan oleh guru, yaitu: memberi materi melalui ceramah, latihan soal,
kemudian pemberian tugas (Suteni dkk, 2013).
Pendapat tersebut menekankan
bahwa pembelajaran konvensional menggunakan metode yang sudah biasa digunakan
oleh guru, yaitu: dengan memberikan ceramah maupun latihan soal. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sudjana (dalam Suteni dkk, 2013) bahwa pembelajaran
konvensional lebih didominasi oleh guru dan siswa bersifat pasif selama
pembelajaran berlangsung.
Sedangkan, menurut Santyasa
(dalam Suteni, 2013) menyebutkan bahwa belajar dalam model konvensional adalah
bersifat linier dan deterministik. Para siswa hanya belajar seperangkat
keterampilan dasar yang bersifat umum sebagai bekal untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks dan kemudian menerapkan informasi
yang telah diterima tersebut.
Adapun langkah-langkah model
pembelajaran konvensional didalam kelas sebagai berikut. Pada tahap kegiatan
awal, guru menentukan pokok materi yang akan dijelaskan dengan membuat catatan
penting yang akan disampaikan kepada siswa, sedangkan siswa menyiapkan buku pelajaran
dan buku catatan. Pada tahap kegiatan inti, guru menyampaikan materi pelajaran
dengan uraian-uraian dan mengontrol pemahaman murid dengan beberapa pertanyaan,
tugas-tugas, dan sebagainya. Dalam kegiatan ini siswa hanya menyimak apa yang
dijelaskan oleh guru serta menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Pada
tahap penutup guru menyimpulkan pelajaran dan mem-berikan evaluasi kepada
siswa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional
adalah pembelajaran yang berpusat pada guru di mana guru kurang melibatkan
siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga menjadikan siswa lebih banyak
menunggu sajian guru dari pada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang
mereka butuhkan. Selain itu, metode konvensional juga menjadikan siswa berperan
pasif ketika proses belajar-mengajar berlangsung dan siswa cenderung menerima
keputusan guru dalam pengajaran yang diberikan oleh guru.
D. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model Teams Game
Tournament (TGT) Terhadap Hasil Belajar Bahasa Indonesia
Penggunaan metode pembelajaran
yang berbeda dapat menunjukkan hasil belajar yang berbeda. Setiap metode
pembelajaran mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, baik dari kelebihan
maupun kekurangan. Metode pembelajaran konvensional atau sering dikenal juga
dengan metode ceramah masih banyak digunakan dalam proses pembelajaran. Metode
pembelajaran ini lebih menitikberatkan peran seorang guru sebagai sumber
belajar. Hal ini akan membentuk kepribadian siswa yang kurang baik, terutama
membentuk sikap siswa yang lebih pasif sehingga akan mempengaruhi hasil
belajar.
Pembelajaran konvensional
merupakan pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru dan cenderung berpusat
pada guru (teacher-centered). Sistem pembelajaran ini masih bersifat satu arah,
yaitu: pemberian materi oleh guru. Sistem pembelajaran ini membuat mahasiswa
menjadi pasif karena hanya mendengarkan saja dan kreativitas mereka kurang
terpupuk atau bahkan cenderung tidak kreatif. Metode ini hanya memberikan
informasi satu arah karena yang ingin dicapai adalah bagaimana guru bisa
mengajar dengan baik, sehingga yang ada hanyalah transfer pengetahuan (Hadi,
2007).
Kegiatan pembelajaran secara
konvensional berpijak pada teori behavioristik yang banyak didominasi oleh
guru. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran dengan menggunakan metode
yang biasa dilakukan oleh guru, yaitu: memberi materi melalui ceramah, latihan
soal, kemudian pemberian tugas (Suteni dkk, 2013). Pada sistem pembelajaran
konvensional, dosen lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan
bentuk ceramah. Pada saat mengikuti proses belajar-mengajar atau mendengarkan
ceramah, para siswa hanya sebatas memahami sambil membuat catatan. Guru menjadi
pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi
satu-satunya sumber ilmu (Hadi, 2007).
Metode konvensional juga kurang
melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga menjadikan siswa lebih
banyak menunggu sajian guru dari pada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan
yang mereka butuhkan. Dalam metode ini, gurulah yang menjadi pusat perhatian.
Guru lebih banyak berbicara, sedangkan murid hanya mendengarkan dan mencatat
hal-hal yang dianggap penting.
Salah satu tugas guru adalah
memiliki metode pembelajaran yang dapat membuat proses belajar-mengajar
berjalan secara efektif. Salah satunya adalah melalui pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu metode pembelajaran dalam teori
konstruktivis. Landasan teoritis pendidikan modern adalah teori pembelajaran
konstruktivis. Pembelajaran konstruktivisme menekankan pentingnya siswa
membangun sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan aktif proses belajar
mengajar dan lebih menekankan situasi student-centered dari pada situasi
teacher-centered. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih
mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi
dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling
membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks.
Jadi, hakikat sosial dan
penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif
(Trianto, 2011).
Johnson & Johnson (dalam
Trianto, 2011) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah
memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman
baik secara individu maupun secara kelompok. Dengan kata lain, metode
pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada kerja kelompok untuk meningkatkan
hasil belajar dengan bekerja sama antara siswa yang tahu ke siswa yang belum
tahu sehingga materi pelajaran dapat diserap oleh seluruh siswa.
Pembelajaran kooperatif
merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim
kecil, yaitu: antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang
kemampuan akademis, jenis kelamin, rasa atau etnis yang berbeda
(heterogen).Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan
temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu
memecahkan masalah-masalah yang kompleks.
Jadi, hakikat sosial dan
penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif
(Trianto, 2011).
Larsen (dalam Mularsih, 2010)
menjelaskan bahwa guru dapat menggunakan metode pembelajaran kooperatif sebagai
upaya untuk membuat siswa menjadi termotivasi dalam proses belajar dan dapat
berinteraksi dengan teman dalam bekerja sama. Pembelajaran kooperatif
menekankan pada aktivitas siswa di dalam kelompok dan bagaimana siswa dapat
berkolaborasi serta
bersosialisasi bersama-sama secara efektif.
Dalam pembelajaran kooperatif
terdapat beberapa variasi model yang dapat ditetapkan, salah satunya adalah
team games tournamen (TGT) merupakan salah satu model yang dipercaya dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling bertukar informasi, tidak hanya
informasi dari guru. Pembagian kelompok pada model pembelajaran kooperatif
model team games tournament (TGT) didasarkan pada keheterogenan siswa, baik
etnis, prestasi, maupun jenis kelamin.
Mengingat pentingnya variasi
pembelajaran di kelas yang akan berimplikasi dengan motivasi belajar dan hasil
belajar para siswa, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang
salah satu metode pembelajaran kooperatif, yaitu: model teams games tournamen
(TGT). Metode pembelajaran kooperatif model teams games tournamen (TGT)
merupakan metode pembelajaran kooperatif yang mengandung unsur kerjasama antar
siswa dalam kelompok, tanggung jawab kelompok dalam pembelajaran individu,
penambahan skor dilakukan setelah permainan, dan antar kelompok dipertandingkan
dalam permainan yang edukatif. Jadi, setiap anggota kelompok harus memahami
materi lebih dulu sebelum mengikuti permainan (Liulin, 2009).
Metode pembelajaran ini
diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar para siswa
dalam mempelajari Bahasa Indonesia, sehingga para siswa dapat mengoptimalkan
kemampuannya dalam menyerap informasi dan pengetahuan, dapat memotivasi para
siswa agar berperan aktif dalam pembelajaran di kelas, dan dapat meningkatkan
hasil belajar serta melatih kemampuan para siswa dalam bekerja sama sekaligus
menjelaskan kepada teman sekelompok yang tidak paham. Dengan demikian peserta didik
tidak akan merasa bosan dan memperoleh manfaat yang maksimal baik dari motivasi
belajar maupun dari hasil belajar (Liulin, 2009). Dengan kata lain, metode
pembelajaran kooperatif model teams game tournament (TGT) ini dapat memberikan
solusi terhadap permasalahan-permasalahan pembelajaran yang ada dan
meningkatkan minat belajar siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia
(Trianto, 2011).