Menguji Kemampuan Membaca Peserta Didik

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Keterampilan berbahasa terdiri atas empat jenis keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan tersebut merupakan catur tunggal, tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Meskipun empat keterampilan tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, tetapi dalam pengajaran dan pengevaluasiannya dapat dipisahkan, hal itu untuk mencapai hasil pengajaran masing-masing keterampilan tersebut dapat dicapai secara maksimal.
Untuk dapat mencapai keterampilan berbahasa , kurikulum pengajaran bahasa dewasa ini menggunakan pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif adalah sebuah pendekatan yang menitikberatkan pada pemberian perhatian sistematis terhadap aspek-aspek fungsional dan struktural bahasa. Keterampilan membaca yang merupakan salah satu keterampilan berbahasa sangat penting kedudukannya untuk menunjang terlaksananya pendekatan komunikatif dalan pengajaran berbahasa. Untuk mencapai agar siswa terampil membaca diperlukan berbagai alat ukur untuk menguji kemampuan membaca. Alat ukur atau instrumen itu dapat berupa tes yang dapat mencerminkan kompetensi siswa dalam membaca sehingga pendekatan komunikatif yang digunakan dalam kurikulum dapat terlaksana, yang salah satunya siswa terampil membaca secara komunikatif.




B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini akan difokuskan pada permasalahan berikut:

1) Tes apa saja yang dapat digunakan guru dalam menguji kemampuan membaca?

2) Faktor-faktor apa saja yang harus dipertimbangkan dalam memilih wacana sebagai bahan tes?

3) Bagaimanakah implikasi teori tentang menguji kemampuan membaca terhadap evaluasi pengajaran bahasa Indonesia?



BAB II

PEMBAHASAN


A. Menguji Kemampuan Membaca
Kathleen Kitao dan Kenji Kitao dalam artikelnya yang berjudul Testing Reading Comprehension yang penulis ambil dari internet mengemukakan tentang kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan kegiatan membaca sebagai berikut:
1.      Menghubungkan simbol-simbol grafis dengan bunyi dan kata.
2.      Memahami hubungan antara penggalan informasi dalam sebuah kalimat, termasuk elemen dari struktur kalimat, negasi atau yang tersirat.
3.      Menarik kesimpulan dari makna kata-kata dari akar kata dan imbuhannya.
4.      Menarik kesimpulan dari makna kata-kata dari konteksnya.
5.      Memahami presuposisi, (contoh, “Pengemudi taksi tidak berhenti pada tanda berhenti” didalamnya terdapat presuposisi bahwa Ada tanda berhenti)
6.      Memahami hubungan antar bagian teks, yang ditandai dengan sejumlah istilah, seperti istilah leksikal (sinonim, pengulangan, d1l) referensi anaphora (kata ganti orang) dan kata sambung (contoh, karena, sehingga).
7.      Memahami hubungan temporal danan spatial.
8.      Memahami hubungan-hubungan seperti sebab-akibat; generalisasi dan contoh; persamaan; perbandingan; dan opini dan dukungan.
9.      Mengantisipasi apa yang akan terjadi.
10.  Mengidentifikasi pikiran utama dan pikiran-pikiran pendukung.
11.  Memahami gaya bahasa dan alegori
12.  Memahami kesimpulan
13.  Skimming (memahami keseluruhan ide dari sebuah wacana).
14.  Scanning (mencari informasi tertentu)
15.  Membaca kritis.
16.  Menerapkan berbagai macam strategi membaca sesuai dengan jenis wacana dan tujuan membaca.
Menyusun daftar berbagai macam kemampuan seperti itu sangat berguna, karena hal tersebut dapat mendorong si pembuat tes untuk lebih memperluas pendekatannya dari hanya bertanya kepada si peserta ujian untuk mencari fakta-fakta dari sebuah wacana.
Lain halnya dengan Kitao, Nurhadi mengemukakan kemampuan yang berhubungan dengan membaca sebagai berikut:
1.      kemampuan menafsirkan ide pokok paragraf;
2.      kemampuan menafsirkan gagasan utama gagasan;
3.      kemampuan menafsirkan ide penunjang;
4.      kemampuan membedakan fakta-fakta atau detail bacaan;
5.      kemampuan memahamai secar kritis hubungan sebab akibat;
6.      kemampuan memahami secara kritis unsur-unsur perbandingan.
Apabila kita telaah kemampuan-kemampuan di atas dapat kita golongkan menjadi kemampuan untuk mencari makna literal yang mencakup proses pengenalan dan pemahaman struktur dan makna kata, kalimat, termasuk asosiasi dan ungkapan; proses menganalisis dan penggambaran elemen, pola, dan hubungan antarelemen tersebut. Elemen dan pola tersebut meliputi isi, bahasa, dan struktur; dan yang ketiga adalah menginterpretasi makna keseluruhan. Interpretasi itu dilakukan bedasarkan elemen-elemen teks dan bagaimana elemen-elemen itu dijalin menjadi satu kesatuan.
Berdasarkan paparan kemampuan yang dapat dikuasai dalam kegiatan membaca yang dikemukakan dua ahli di atas, di akhir pembelajaran tentunya tugas guru adalah  mengevaluasi semua kemampuan tersebut sehingga kemampuan-kemampuan tersebut dapat dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Untuk membuktikan itu diperlukan sejumlah instrumen atau alat tes yang dapat mengukurnya.
Tes atau evaluasi yang baik tentu saja harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
1.      Reliable (terpercaya). Sebuah evaluasi dapat dikatakan terpercaya atau reliabel jika hasil yang diperoleh pada ujian itu tetap atau stabil, kapan saja, di mana saja, dan siapa pun yang mengujkan dan yang menilainya.
2.      Validity (kesahihan). Sebuah ujian dapat dikatakan valid apabila penyusunan ujian didasarkan pada analisis yang diteliti tentang kemampuan berbahasa yang hendak diukur dan jika ada bukti-bukti hasil penilaian berkolerasi yang tinggi dengan kemampuan pengikut ujian berbahasa.
3.      Practicallity (kepraktisan). Kepraktisan adalah soal dapat digunakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada, meliputi hemat/ekonomis, mudah melaksanakan dan memeriksanya, dan mudah cara menafsirkan hasil.
Untuk menyusun sebuah tes guru harus mempertimbangkan syarat-syarat evaluasi seperti itu. Berikut ini penulis paparkan jenis tes untuk menguji kemampuan membaca menurut ahli.

B. Soal-soal untuk Menguji Kemampuan Membaca
Kitao dalam artikelnya yang berjudul Testing Reading Comprehension membagi tes atau soal-soal yang diperuntukkan untuk menguji kemampuan membaca kelas rendah dan kelas tinggi sebagai berikut.
1. Menguji Kemampuan-kemampuan Tingkat Rendah
Terdapat beberapa jenis soal yang dapat digunakan dalam menguji kemampuan-kemampuan paling rendah seperti, pengenalan kata, pengenalan kalimat, dan pemahaman kata dan kalimat. Tipe-tipe soal seperti itu sangat tepat untuk menguji mereka yang baru belajar membaca bahasa Inggris, akan tetapi jangan digunakan terhadap mereka yang di luar tingkat itu. Memberikan batas waktu dalam mengerjakan soal. merupakan hal. yang sangat berguna bagi peserta ujian, karena jenis soal seperti itu digunakan untuk menguji kemampuan-kemmpuan yang akan dipergunakan secara otomatis dalam tingkat kemampuan membaca yang lebih tinggi.
1)      Pengenalan kata. Peserta akan diberikan satu kata dan sekumpulan empat  atau lima kata. Mereka diinstruksikan untuk menandai kata yang sama dengan satu kata pertamanya.
2)      Pengenalan kalimat. Jenis soal seperti ini hampir sama dengan sebelumnya. Peserta diberi kalimat-kalimat bukan kata dan  mengidentifikasi kalimat mana yang sama.
3)      Menjodohkan kata dan gambar. Terdapat dua variasi dalam jenis soal ini. Pertama, memberi empat gambar yang serupa dan satu kalimat   kepada peserta. Mereka diinstruksikan untuk mengidentifikasi gambar mana yang sesuai dengan kalimat. jenis soal yang lain yaitu dengan menggunakan satu gambar dan empat kalimat yang serupa lalu peserta menentukan kalimat yang tepat yang mendeskripsikan gambar. Variasi dalam jenis ini adalah memberikan peserta, seperti contoh, sepuluh kalimat dan peserta memilih lima kalimat yang menggambarkan gambar dengan tepat.

2. Soal-soal untuk Peserta Tingkat Menengah dan Tinggi

1) Pertanyaan Benar/Salah.
Mungkin bentuk pertanyaan Benar/Salah  merupakan bentuk yang paling umum. Jenis soal seperti ini sangat berguna untuk progres tes, karena soal seperti ini mudah dan cepat dibuat, dan juga mudah menilainya. Umpan balik dari ujian benar/salah yaitu peserta ujian mempunyai 50/50 % kesempatan untuk menjawab pertanyaan dengan benar, berarti bahwa nilai fasilitasnya sekitar 75 pesen. Ini berarti bahwa ujian tersebut tidak dapat membedakan. dengan baik antara siswa tingkat tinggi dan rendah, kecuali pertanyaannya banyak.
Setidaknya ada dua cara untuk mengatasi masalah ini. Satu, mengetengahkan sebuah hukuman untuk menduga-duga jawaban. soal. Misalnya, dua poin dapat diberikan bagi setiap jawaban yang benar dan satu poin dikurangi bagi setiap jawaban yang salah. Cara lain yaitu dengan membuat alternatif ketiga yang informasinya bukan dari wacana. Jenis soal seperti ini kadang-kadang sulit untuk dibuat, karena. yang sulit adalah membuat pernyataan yang terlihat mendekati isi wacana dan terlihat seperti benar. Dengan kata lain, terkadang sulit untuk menarik sebuah garis antara informasi apa yang benar-benar disimpulkan dari wacana dan informasi yang bukan berasal dari wacana sama sekali.
Terdapat dua jenis pertanyaan benar/salah; pertanyaan yang berdiri sendiri tidak terkait dengan wacana dan pertanyaan yang bergantung pada wacana. Pada pertanyaan yang independen, kemampuan yang diujikan yaitu pemahaman peserta tentang bahasa dan pertanyaan itu sendiri. Pada permasalahan ini, isi pertanyaannya adalah tentang pengetahuan umum dari peserta yang dianggap akan bisa dijawab, seperti “Jepang lebih kecil dari Amerika Serikat.” Maka jelas perlu diperhatikan bahwa semua pemyataan harus termasuk dalam latar belakang pengetahuan dari peserta.
Untuk pertanyaan benar/salah yang bergantung pada wacana peserta membaca wacana kemudian menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan wacana tersebut. Soal seperti ini sering digunakan untuk siswa tingkat dasar, tetapi soal tersebut dapat dirancang untuk siswa tingkat monengah dan atas. Secara umum, dalam hal ini, pertanyaan benar/salah harus mengukur pemahaman terhadap wacana bukan terhadap pertanyaannya. Karenanya, sangat penting untuk membuat pertanyaan yang jelas, tepat, dan mudah dimengerti.
Sebagai tambahan, pertanyaan benar/salah harus berdasar pada penulisan ulang suatu wacana atau kekeliruan yang mungkin muncul dari suatu wacana. Pertanyaan seharusnya tidak, kecuali dalam sebuah tes yang dibuat sangat mudah, meggunakan kata-kata yang sama dengan yang ada pada wacana. Karena pernyataan yang menggunakan kata ‘selalu’ atau ‘tidak pernah’ biasanya salah, kata-kata ini harus dihindari dalam pertanyaan benar/salah.
2) Pertanyaan pilihan ganda.
Tugas pilihan ganda, seperti pertanyaan benar/salah, mudah untuk dinilai. Tugas ini memiliki keuntungan  yang lebih dari pertanyaan benar/salah yaitu terdapat lebih dari dua (atau tiga) kemungkinan. Pertanyaan pilihan ganda bisa dibuat  dengan empat atau mungkin lima kemungkinan. Masalahnya adalah sulit untuk membuat kemungkinan yang salah. Kemungkinan yang ada harus masuk akal tapi jelas salah. Menulis tiga atau empat pernyataan seperti itu seringkali sulit. Satu tipe dari pertanyaan pilihan ganda memiliki sebuah kalimat atau beberapa kalimat, dan peserta ujian memilih dari empat kata, salah satu yang paling cocok dengan konteks. Sebagai contoh: Kami pindah ke sebuah kota yang memiliki sekolah-sekolah yang  bagus, taman-taman yang indah dan jalan-jalan yang aman. Kota itu adalah (lingkungan, aura, latar belakang, media) yang baik untuk membesarkan anak.
Pertanyaan tipe ini bisa digunakan untuk peserta dari tingkat berbeda. Bila menguji perbendaharaan kata adalah tujuannya, maka konteks kalimat haruslah mudah, dan tingkat kesulitan atau kemungkinan kata harus bervariasi, tergantung pada tingkat pernahaman yang dianggap dimiliki peserta ujian.
Jenis lain dari pertanyaan pilihan ganda adalah yang di dalamnya peserta diberi sebuah kalimat,  mereka diminta untuk memutuskan yang mana dari empat pilihan yang ada memiliki arti yang sama. Jenis pertanyaan dalam tes ini mengukur kemampuan gramatikal.
Akhirnya, pertanyaan pilihan ganda bisa digunakan’ untuk mengetes   pemahaman terhadap sebuah wacana. Peserta bisa diberi sebuah wacana pendek dengan hanya satu pertanyaan atau sebuah wacana yang lebih panjang dengan beberapa pertanyaan.
Menulis item pilihan ganda, seperti yang telah disebutkan, seringkali sulit. Seperti juga penyataan-pernyataan untuk item benar/salah, pertanyaannya jangan meniru kata dari wacana dan harus merefleksikan beberapa kesalahpengertian yang mungkin terjadi dari sebuah wacana. Tidak satupun dari kemungkinan harus lain, sebagai contoh, lebih panjang dari yang lain. Tidak satupun dari kemungkinan harus berlawanan arti dengan pilihan yang benar (karena biasanya berlawanan arti berarti pilihan yang benar). Kemungkinan yang salah tidak boleh mempunyai arti yang serupa. (karena bila keduanya tidak mungkin benar, maka keduanya pasti salah.). Menjawab sebuah item harus bergantung pada informasi yang ada dalam wacana, bukan pengetahuan umum si peserta. Semua.pilihan harus benar gramatikanya, karena ini merupakan tes bacaan bukan tes gramatika. “Semua yang diatas” atau “Tak satupun yang diatas” adalah pilihan yang sangat berguna, tapi seharusnya tidak ada pola bahwa tipe pertanyaan seperti itu selalu benar atau selalu salah.
Sebuah godaan yang sering muncul adalah keinginan untuk fokus pada fakta-fakta dan bentuk-bentuk. Bagaimanapun pertanyaannya harus menguji informasi yang dapat diperoleh dari wacana atau meminta peserta untuk mengumpulkan informasi  lebih dari satu bagian dari wacana.
Pengadaan pre-tes merupakan hal yang selalu penting, tetapi khusus bagi pertanyaan pilihan ganda. Sangatlah mudah, contohnya, untuk membuat lebih dari satu altematif yang benar, tetapi tanpa disadari bahwa alternatif kedua juga benar ketika ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Melihat dari sebuah perspektif baru terhadap item-item merupakan hal penting.
3)      Jawaban pendek/ melengkapi.
Beberapa jenis pertanyaan jawaban pendek dapat digunakan untuk menguji pemahaman membaca. Jenis pertanyaan ini memiliki manfaat bahwa jawabannya berupa produksi bukan pengenalan, tetapi pertanyaan jenis ini lebih sulit untuk dinilai dibanding pertanyaan benar/salah atau pilihan ganda. Guru akan  dihadapkan dengan sekumpulan jawaban-jawaban, ada yang benar, salah, dan sebagian benar, dan dia harus memutuskan bagaimana menghadapi jawaba-jawaban seperti itu.
Sebuah jenis pertanyaan jawaban pendek yang paling urnum mempunyai sebuah pertanyaan yang harus direspon dengan menggunakan informasi dari wacana. Jenis lain membuat peserta harus memberikan satu bagian kalimat, dan peserta menulis dalam sebuah kata atau dalarn kata-kata untuk melengkapi sebuah kalimat. berdasarkan informasi didalarn wacana. Peserta dapat diberi soal melengkapi yang harus diisi dengan informasi dari dalam wacana.
4) Tugas menyusun.
Peserta membaca sebuah wacana dan diberi   sejumlah penyataan yang mencakup informasi di dalarn wacana.  untuk disusun dengan benar. Pertanyaan jenis ini sangat bermanfaat untuk pengujian dengan urutan tertentu, seperti perintah-perintah atau sebuah narasi, tetapi dapat juga digunakan untuk menekankan perkembangan pikiran-pikiran suatu wacana. Sebuah hal tambahan dapat mengikutsertakan beberapa pernyataan dengan informasi yang bukan dari wacana dan menginstruksikan peserta untuk mengidentifikasi pernyataan-pernyataan tersebut.

C. Faktor-faktor yang Harus Diperhatikan dalam Memilih Wacana sebagai Bahan Tes

1) Variasi
Menggunakan bermacam-macam wacana dalam sebuah ujian kernampuan membaca akan sangat bermanfaat. Menggunakan wacana. berbentuk prosa merupakan cara tradisisonal, akan tetapi banyak berbagai macam jenis wacana lain yang dapat digunakan dalam ujian. Beberapa diantaranya yaitu, jadwal-jadwal, artikel-artikel surat kabar, iklan-iklan, dan berbagai macam perintah.
2) Jenis-jenis Wacana
Jenis wacana yang dipilih harus merefleksikan tujuan-tujuan dari situasi pembelajaran bahasa. Jika siswa belajar bahasa Iggris secara akademis, maka wacana harus berasal dari sumber yang berhubungan dengan itu. Jika siswa belajar bahasa Inggris untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan sangat berguna untuk menggunakan wacana-wacana seperti daftar menu, selebaran, atau surat.
3) Membaca dan Latar Belakang Pengetahuan
Latar belakang pengetahuan merupakan salah satu hal yang berperan penting dan perlu mendapat perhatian dalam pemahaman membaca. Singkatnya, ketika kita membaca suatu wacana yang berhubungan dengan latar belakang pengetahuan yang kita miliki, maka kita akan dapat memahami dengan mudah dan menyeluruh dan juga menarik kesimpulan yang sangat akurat dari wacana tersebut, dibadingkan ketika kita membaca suatu wacana yang sedikit behubungan dengan latar belakang pengetahuan kita. Bayangkan, contohnya membaca wacana tentang sebuah permainan dalam olahraga yang kita sedikit tahu atau malah tidak tahu sama sekali tentang permainan itu, lalu bandingkan dengan membaca wacana tentang suatu permainan yang kita tahu banyak tentangnya. Pada kasus pertama, Anda mungkin akan memahami sedikit tentang gambaram permainan, dan dalam kasus kedua, Anda mungkin akan memahami hampir seluruh informasi – bahkan yang tidak ditulis secara langsung oleh penulisnya sendiri. Jika Anda mengenal olah raga basebal, anda pasti tahu bahwa sebuah permainan dengan skor 15-13 adalah skor permainan yang tinggi dari biasanya, walaupun si penulis tidak berkata seperti itu. Pemilihan jenis wacana harus berbasis pada anggapan bahwa si peserta ujian mempunyai tingkat latar belakang pengetahuan yang sama. Jika tidak, peserta ujian yang mempunyai latar belakang pengetahuan akan mempunyai banyak keuntungan daripada mereka yang tidak, walaupun dengan tingkat pernahaman yang sama.
Juga, wacana yang digunakan jangan tentang subjek yang terlalu familiar bagi peserta ataupun sebaliknya jangan yang terlalu sulit. Perlu dipertimbangkan bahwa bagi mereka yang mempunyai latar belakang pengetahuan tentang wacana yang akan diujikan, mereka akan mudah menjawab pertanyaan, bahkan tanpa memahami soal ujian sekalipun. Juga sebaliknya, jika peserta hampir tidak mempunyai latar belakang pengetahuan tentang subjek wacana, maka mereka akan sulit memahami, dan mengambil kesimpulan, walaupun mereka merupakan pembaca yang baik.
4) Kesulitan
Dalam memilih suatu wacana, pembuat ujian harus memperhatikan tingkat kesulitan dari wacana yang akan diujikan. Jika wacana terlalu sulit, maka akan sedikit peserta yang dapat mengerjakannya; dan jika terlalu mudah, maka akan terlalu banyak peserta yang dapat mengerjakannya. Bagaimanapun, masalah tingkat kesulitan bukan merupakan sesutau yang sederhana. Peserta ujian akan dapat lebih mudah mengerjakan wacana yang lebih sulit jika mereka mempunyai latar belakang pengetahuan tentang wacana tersebut, daripada terhadap wacana yang mana mereka hanya mempunyai sedikit pengetahuan tentangnya.
Burhan Nurgiyantoro mengemukakan bahwa dalam meilih bahan bacaan  yang akan diujikan kepada siswa harus memperhatikan tingkat kesulitan wacana, panjang pendek wacana, isi, dan jenis atau bentuk wacana. Faktor-faktor  menurut kedua ahli di atas pada dasarnya sama dan dapat saling melengkapi untuk kesempurnaan dalam memilih wacana yang akan dijadikan sebagai instrumen tes menguji kemampuan membaca. Selain hal di atas, hendaknya ketika kita memilih bahan bacaan yang akan dijadikan sebagai alat tes harus juga memperhatikan ranah kognitif yang dikemukakan oleh Bloom.

D. Implikasi dan Signifikansi Teoretis terhadap Pelaksanaan Evaluasi Pengajaran Bahasa Indonesia

Pembuatan alat tes untuk mengukur kemampuan membaca seperti yang dikemukakan di atas dimulai dari memilih wacana yang akan diujikan dan memvariasikan isi wacana sesuai dengan latar belakang siswa serta memperhatikan tingkat kesukaran wacana itu. Apabila semua prosedur itu kita terapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia maka kemungkinan hasil pengajaran bahasa Indonesia khususnya membaca akan sesuai dengan tuntutan kurikulum dan tujuan yang sudah ditetapkan., walaupun mungkin dalam pelaksanaannya akan ditemukakan berbagai hambatan.
Salah satu hambatan yang mungkin akan ditemukan adalah kesempatan atau waktu yang diperlukan oleh seorang guru bahasa Indonesia dalam mengikuti prosedur yang dikemukakan di atas. Waktu yang diperlukan untuk memilih dan memvariasikan jenis wacana yang akan diujikan, menentukan tingkat kesukaran wacana, dan memilih wacana. yang sesuai dengan latar belakang siswa, serta menyusun soal-soal yang berkaitan dengan wacana tersebut tidak sedikit, padahal tugas guru bahasa Indonesia bukan hanya mengajarkan atau menguji kemampuan membaca saja. Selain itu juga tentang kemampuan dan kemahiran dari guru tersebut dalam mempraktikkannya.
Berkaitan dengan signifikansi tentang menguji kemampuan membaca penulis menyimpulkan bahwa tes untuk mengukur kemampuan membaca tidak semata-mata utnuk mengukur kemampuan membaca saja, tetapi dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berbahasa yang lain.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Bedasarkan hasil kajian teoretik yang dikemukakan di muka, berikut ini penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Instrumen tes untuk menguji kemampuan membaca dapat dibuat berupa soal objektif dan nonobjektif. Hal itu dapat dipilih berdasarkan kebutuhan dan disesuikan dengan tingkat pendidikan peserta tes.
2.      Soal-soal untuk tingkat rendah dapat berupa pengenalan kata, pengenalan kalimat, dan menjodohkan kata dan gambar, sedangkan untuk kelas tinggi dapat berbentuk soal benar/salah, pilhan ganda, jawaban pendek atau melengkapi, dan ugas menyusun.
3.      Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memilih wacana untuk bahan tes diantaranya menggunakan wacana yang bervariasi,  memperhatikan jenis wacana, latar pengetahuan peserta tes berkaitan dengan wacana, dan tingkat kesulitan wacana.
4.      Implikasi terhadap pelaksanaan evaluasi pengajaran bahasa Indonesia  bahwa dalam menyusun instrumen tes harus dilandasi oleh pengetahuan guru tentang jenjang kemampuan kognitif sebagimana teori yang diungkapkan oleh Bloom sehingga instrumen tes memenuhi aturan yang berkaitan dengan tingkat kesulitan dan menghasilkan soal yang layak.


DAFTAR PUSTAKA

Djiwandono, Soenardi. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB.
Hidayat, Kosadi. 1994. Evaluasi Pendidikan dan Penerapannya dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Kitao, Kathleen dan Kenji. Tanpa tahun. Testing reading Comprehension. Internet.
Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE
Tariga, H.G. 1989. Membaca sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »