BAB I
PENDAHULUAN
Keterampilan
berbahasa terdiri atas empat jenis keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis. Keempat keterampilan tersebut merupakan catur tunggal, tidak dapat
dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Meskipun empat keterampilan tersebut
tidak dapat dipisah-pisahkan, tetapi dalam pengajaran dan pengevaluasiannya
dapat dipisahkan, hal itu untuk mencapai hasil pengajaran masing-masing keterampilan tersebut dapat dicapai
secara maksimal.
Untuk
dapat mencapai keterampilan berbahasa , kurikulum pengajaran bahasa dewasa ini
menggunakan pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif adalah sebuah
pendekatan yang menitikberatkan pada pemberian perhatian sistematis terhadap
aspek-aspek fungsional dan struktural bahasa. Keterampilan membaca yang
merupakan salah satu keterampilan berbahasa sangat penting kedudukannya untuk
menunjang terlaksananya pendekatan komunikatif dalan pengajaran berbahasa.
Untuk mencapai agar siswa terampil membaca diperlukan berbagai alat ukur untuk
menguji kemampuan membaca. Alat ukur atau instrumen itu dapat berupa tes yang dapat mencerminkan
kompetensi siswa dalam membaca sehingga pendekatan komunikatif yang digunakan
dalam kurikulum dapat terlaksana, yang salah satunya siswa terampil membaca
secara komunikatif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, tulisan ini akan difokuskan pada permasalahan berikut:
1) Tes apa saja yang dapat digunakan guru dalam menguji kemampuan membaca?
2) Faktor-faktor apa saja yang harus dipertimbangkan dalam memilih wacana sebagai bahan tes?
3) Bagaimanakah implikasi teori tentang menguji kemampuan membaca terhadap evaluasi pengajaran bahasa Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Kathleen
Kitao dan Kenji Kitao dalam artikelnya yang berjudul Testing Reading
Comprehension yang penulis ambil dari internet mengemukakan
tentang kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan kegiatan membaca sebagai
berikut:
1. Menghubungkan simbol-simbol
grafis dengan bunyi dan kata.
2. Memahami hubungan antara
penggalan informasi dalam sebuah kalimat, termasuk elemen dari struktur
kalimat, negasi atau yang tersirat.
3. Menarik kesimpulan dari makna
kata-kata dari akar kata dan imbuhannya.
4. Menarik kesimpulan dari makna
kata-kata dari konteksnya.
5. Memahami presuposisi, (contoh,
“Pengemudi taksi tidak berhenti pada tanda berhenti” didalamnya terdapat
presuposisi bahwa Ada tanda berhenti)
6. Memahami hubungan antar bagian
teks, yang ditandai dengan sejumlah istilah, seperti istilah leksikal (sinonim,
pengulangan, d1l) referensi anaphora (kata ganti orang) dan kata sambung
(contoh, karena, sehingga).
7. Memahami hubungan temporal
danan spatial.
8. Memahami hubungan-hubungan
seperti sebab-akibat; generalisasi dan contoh; persamaan; perbandingan; dan
opini dan dukungan.
9. Mengantisipasi apa yang akan
terjadi.
10. Mengidentifikasi pikiran utama
dan pikiran-pikiran pendukung.
11. Memahami gaya bahasa dan alegori
12. Memahami kesimpulan
13. Skimming (memahami keseluruhan
ide dari sebuah wacana).
14. Scanning (mencari informasi
tertentu)
15. Membaca kritis.
16. Menerapkan berbagai macam
strategi membaca sesuai dengan jenis wacana dan tujuan membaca.
Menyusun
daftar berbagai macam kemampuan seperti itu sangat berguna, karena hal tersebut
dapat mendorong si pembuat tes untuk lebih memperluas pendekatannya dari hanya
bertanya kepada si peserta ujian untuk mencari fakta-fakta dari sebuah wacana.
Lain
halnya dengan Kitao, Nurhadi mengemukakan kemampuan yang berhubungan dengan
membaca sebagai berikut:
1. kemampuan menafsirkan ide pokok
paragraf;
2. kemampuan menafsirkan gagasan
utama gagasan;
3. kemampuan menafsirkan ide
penunjang;
4. kemampuan membedakan
fakta-fakta atau detail bacaan;
5. kemampuan memahamai secar
kritis hubungan sebab akibat;
6. kemampuan memahami secara
kritis unsur-unsur perbandingan.
Apabila
kita telaah kemampuan-kemampuan di atas dapat kita golongkan menjadi kemampuan
untuk mencari makna literal yang mencakup proses pengenalan dan pemahaman
struktur dan makna kata, kalimat, termasuk asosiasi dan ungkapan; proses
menganalisis dan penggambaran elemen, pola, dan hubungan antarelemen tersebut.
Elemen dan pola tersebut meliputi isi, bahasa, dan struktur; dan yang ketiga
adalah menginterpretasi makna keseluruhan. Interpretasi itu dilakukan
bedasarkan elemen-elemen teks dan bagaimana elemen-elemen itu dijalin menjadi
satu kesatuan.
Berdasarkan
paparan kemampuan yang dapat dikuasai dalam kegiatan membaca yang dikemukakan
dua ahli di atas, di akhir pembelajaran tentunya tugas guru adalah
mengevaluasi semua kemampuan tersebut sehingga kemampuan-kemampuan tersebut
dapat dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Untuk membuktikan
itu diperlukan sejumlah instrumen atau alat tes yang dapat mengukurnya.
Tes
atau evaluasi yang baik tentu saja harus memenuhi syarat-syarat tertentu,
yaitu:
1. Reliable (terpercaya). Sebuah
evaluasi dapat dikatakan terpercaya atau reliabel jika hasil yang diperoleh
pada ujian itu tetap atau stabil, kapan saja, di mana saja, dan siapa pun yang
mengujkan dan yang menilainya.
2. Validity (kesahihan). Sebuah
ujian dapat dikatakan valid apabila penyusunan ujian didasarkan pada analisis
yang diteliti tentang kemampuan berbahasa yang hendak diukur dan jika ada
bukti-bukti hasil penilaian berkolerasi yang tinggi dengan kemampuan pengikut
ujian berbahasa.
3. Practicallity (kepraktisan).
Kepraktisan adalah soal dapat digunakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang
ada, meliputi hemat/ekonomis, mudah melaksanakan dan memeriksanya, dan mudah
cara menafsirkan hasil.
Untuk
menyusun sebuah tes guru harus mempertimbangkan syarat-syarat evaluasi seperti
itu. Berikut ini penulis paparkan jenis tes untuk menguji kemampuan membaca
menurut ahli.
B. Soal-soal untuk Menguji Kemampuan Membaca
Kitao
dalam artikelnya yang berjudul Testing
Reading Comprehension membagi tes atau soal-soal yang diperuntukkan
untuk menguji kemampuan membaca kelas rendah dan kelas tinggi sebagai berikut.
1. Menguji Kemampuan-kemampuan Tingkat Rendah
Terdapat
beberapa jenis soal yang dapat digunakan dalam menguji kemampuan-kemampuan
paling rendah seperti, pengenalan kata, pengenalan kalimat, dan pemahaman kata
dan kalimat. Tipe-tipe soal seperti itu sangat tepat untuk menguji mereka yang
baru belajar membaca bahasa Inggris, akan tetapi jangan digunakan terhadap
mereka yang di luar tingkat itu. Memberikan batas waktu dalam mengerjakan soal.
merupakan hal. yang sangat berguna bagi peserta ujian, karena jenis soal
seperti itu digunakan untuk menguji kemampuan-kemmpuan yang akan dipergunakan
secara otomatis dalam tingkat kemampuan membaca yang lebih tinggi.
1) Pengenalan kata. Peserta akan
diberikan satu kata dan sekumpulan empat atau lima kata. Mereka
diinstruksikan untuk menandai kata yang sama dengan satu kata pertamanya.
2) Pengenalan kalimat. Jenis soal
seperti ini hampir sama dengan sebelumnya. Peserta diberi kalimat-kalimat bukan
kata dan mengidentifikasi kalimat mana yang sama.
3) Menjodohkan kata dan gambar.
Terdapat dua variasi dalam jenis soal ini. Pertama, memberi empat gambar yang
serupa dan satu kalimat kepada peserta. Mereka diinstruksikan untuk
mengidentifikasi gambar mana yang sesuai dengan kalimat. jenis soal yang lain yaitu
dengan menggunakan satu gambar dan empat kalimat yang serupa lalu peserta
menentukan kalimat yang tepat yang mendeskripsikan gambar. Variasi dalam jenis
ini adalah memberikan peserta, seperti contoh, sepuluh kalimat dan peserta
memilih lima kalimat yang menggambarkan gambar dengan tepat.
2. Soal-soal untuk Peserta Tingkat Menengah dan Tinggi
1) Pertanyaan Benar/Salah.
C. Faktor-faktor yang Harus Diperhatikan dalam Memilih Wacana sebagai Bahan Tes
1) Variasi
D. Implikasi dan Signifikansi Teoretis terhadap Pelaksanaan Evaluasi Pengajaran Bahasa Indonesia
A. Kesimpulan
Mungkin
bentuk pertanyaan Benar/Salah merupakan bentuk yang paling umum. Jenis
soal seperti ini sangat berguna untuk progres tes, karena soal seperti ini
mudah dan cepat dibuat, dan juga mudah menilainya. Umpan balik dari ujian
benar/salah yaitu peserta ujian mempunyai 50/50 % kesempatan untuk menjawab
pertanyaan dengan benar, berarti bahwa nilai fasilitasnya sekitar 75 pesen. Ini
berarti bahwa ujian tersebut tidak dapat membedakan. dengan baik antara siswa
tingkat tinggi dan rendah, kecuali pertanyaannya banyak.
Setidaknya
ada dua cara untuk mengatasi masalah ini. Satu, mengetengahkan sebuah hukuman
untuk menduga-duga jawaban. soal. Misalnya, dua poin dapat diberikan bagi
setiap jawaban yang benar dan satu poin dikurangi bagi setiap jawaban yang
salah. Cara lain yaitu dengan membuat alternatif ketiga yang informasinya bukan
dari wacana. Jenis soal seperti ini kadang-kadang sulit untuk dibuat, karena.
yang sulit adalah membuat pernyataan yang terlihat mendekati isi wacana dan
terlihat seperti benar. Dengan kata lain, terkadang sulit untuk menarik sebuah
garis antara informasi apa yang benar-benar disimpulkan dari wacana dan
informasi yang bukan berasal dari wacana sama sekali.
Terdapat
dua jenis pertanyaan benar/salah; pertanyaan yang berdiri sendiri tidak terkait
dengan wacana dan pertanyaan yang bergantung pada wacana. Pada pertanyaan yang
independen, kemampuan yang diujikan yaitu pemahaman peserta tentang bahasa dan
pertanyaan itu sendiri. Pada permasalahan ini, isi pertanyaannya adalah tentang
pengetahuan umum dari peserta yang dianggap akan bisa dijawab, seperti “Jepang
lebih kecil dari Amerika Serikat.” Maka jelas perlu diperhatikan bahwa semua
pemyataan harus termasuk dalam latar belakang pengetahuan dari peserta.
Untuk
pertanyaan benar/salah yang bergantung pada wacana peserta membaca wacana
kemudian menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan wacana tersebut. Soal
seperti ini sering digunakan untuk siswa tingkat dasar, tetapi soal tersebut
dapat dirancang untuk siswa tingkat monengah dan atas. Secara umum, dalam hal
ini, pertanyaan benar/salah harus mengukur pemahaman terhadap wacana bukan
terhadap pertanyaannya. Karenanya, sangat penting untuk membuat pertanyaan yang
jelas, tepat, dan mudah dimengerti.
Sebagai
tambahan, pertanyaan benar/salah harus berdasar pada penulisan ulang suatu
wacana atau kekeliruan yang mungkin muncul dari suatu wacana. Pertanyaan
seharusnya tidak, kecuali dalam sebuah tes yang dibuat sangat mudah, meggunakan
kata-kata yang sama dengan yang ada pada wacana. Karena pernyataan yang
menggunakan kata ‘selalu’ atau ‘tidak pernah’ biasanya salah, kata-kata ini
harus dihindari dalam pertanyaan benar/salah.
2) Pertanyaan pilihan ganda.
Tugas
pilihan ganda, seperti pertanyaan benar/salah, mudah untuk dinilai. Tugas ini
memiliki keuntungan yang lebih dari pertanyaan benar/salah yaitu terdapat
lebih dari dua (atau tiga) kemungkinan. Pertanyaan pilihan ganda bisa dibuat
dengan empat atau mungkin lima kemungkinan. Masalahnya adalah sulit untuk
membuat kemungkinan yang salah. Kemungkinan yang ada harus masuk akal tapi
jelas salah. Menulis tiga atau empat pernyataan seperti itu seringkali sulit. Satu
tipe dari pertanyaan pilihan ganda memiliki sebuah kalimat atau beberapa
kalimat, dan peserta ujian memilih dari empat kata, salah satu yang paling
cocok dengan konteks. Sebagai contoh: Kami pindah ke sebuah kota yang memiliki
sekolah-sekolah yang bagus, taman-taman yang indah dan jalan-jalan yang
aman. Kota itu adalah (lingkungan, aura, latar belakang, media) yang baik untuk
membesarkan anak.
Pertanyaan
tipe ini bisa digunakan untuk peserta dari tingkat berbeda. Bila menguji
perbendaharaan kata adalah tujuannya, maka konteks kalimat haruslah mudah, dan
tingkat kesulitan atau kemungkinan kata harus bervariasi, tergantung pada
tingkat pernahaman yang dianggap dimiliki peserta ujian.
Jenis
lain dari pertanyaan pilihan ganda adalah yang di dalamnya peserta diberi
sebuah kalimat, mereka diminta untuk memutuskan yang mana dari empat
pilihan yang ada memiliki arti yang sama. Jenis pertanyaan dalam tes ini
mengukur kemampuan gramatikal.
Akhirnya,
pertanyaan pilihan ganda bisa digunakan’ untuk mengetes pemahaman
terhadap sebuah wacana. Peserta bisa diberi sebuah wacana pendek dengan hanya
satu pertanyaan atau sebuah wacana yang lebih panjang dengan beberapa
pertanyaan.
Menulis
item pilihan ganda, seperti yang telah disebutkan, seringkali sulit. Seperti
juga penyataan-pernyataan untuk item benar/salah, pertanyaannya jangan meniru
kata dari wacana dan harus merefleksikan beberapa kesalahpengertian yang
mungkin terjadi dari sebuah wacana. Tidak satupun dari kemungkinan harus lain,
sebagai contoh, lebih panjang dari yang lain. Tidak satupun dari kemungkinan
harus berlawanan arti dengan pilihan yang benar (karena biasanya berlawanan
arti berarti pilihan yang benar). Kemungkinan yang salah tidak boleh mempunyai
arti yang serupa. (karena bila keduanya tidak mungkin benar, maka keduanya pasti
salah.). Menjawab sebuah item harus bergantung pada informasi yang ada dalam
wacana, bukan pengetahuan umum si peserta. Semua.pilihan harus benar
gramatikanya, karena ini merupakan tes bacaan bukan tes gramatika. “Semua yang
diatas” atau “Tak satupun yang diatas” adalah pilihan yang sangat berguna, tapi
seharusnya tidak ada pola bahwa tipe pertanyaan seperti itu selalu benar atau
selalu salah.
Sebuah
godaan yang sering muncul adalah keinginan untuk fokus pada fakta-fakta dan
bentuk-bentuk. Bagaimanapun pertanyaannya harus menguji informasi yang dapat
diperoleh dari wacana atau meminta peserta untuk mengumpulkan informasi
lebih dari satu bagian dari wacana.
Pengadaan
pre-tes merupakan hal yang selalu penting, tetapi khusus bagi pertanyaan
pilihan ganda. Sangatlah mudah, contohnya, untuk membuat lebih dari satu
altematif yang benar, tetapi tanpa disadari bahwa alternatif kedua juga benar
ketika ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Melihat dari sebuah perspektif
baru terhadap item-item merupakan hal penting.
3)
Jawaban
pendek/ melengkapi.
Beberapa
jenis pertanyaan jawaban pendek dapat digunakan untuk menguji pemahaman
membaca. Jenis pertanyaan ini memiliki manfaat bahwa jawabannya berupa produksi
bukan pengenalan, tetapi pertanyaan jenis ini lebih sulit untuk dinilai
dibanding pertanyaan benar/salah atau pilihan ganda. Guru akan dihadapkan
dengan sekumpulan jawaban-jawaban, ada yang benar, salah, dan sebagian benar,
dan dia harus memutuskan bagaimana menghadapi jawaba-jawaban seperti itu.
Sebuah
jenis pertanyaan jawaban pendek yang paling urnum mempunyai sebuah pertanyaan
yang harus direspon dengan menggunakan informasi dari wacana. Jenis lain
membuat peserta harus memberikan satu bagian kalimat, dan peserta menulis dalam
sebuah kata atau dalarn kata-kata untuk melengkapi sebuah kalimat. berdasarkan
informasi didalarn wacana. Peserta dapat diberi soal melengkapi yang harus
diisi dengan informasi dari dalam wacana.
4) Tugas menyusun.
Peserta
membaca sebuah wacana dan diberi sejumlah penyataan yang mencakup
informasi di dalarn wacana. untuk disusun dengan benar. Pertanyaan jenis
ini sangat bermanfaat untuk pengujian dengan urutan tertentu, seperti
perintah-perintah atau sebuah narasi, tetapi dapat juga digunakan untuk
menekankan perkembangan pikiran-pikiran suatu wacana. Sebuah hal tambahan dapat
mengikutsertakan beberapa pernyataan dengan informasi yang bukan dari wacana
dan menginstruksikan peserta untuk mengidentifikasi pernyataan-pernyataan
tersebut.
Menggunakan
bermacam-macam wacana dalam sebuah ujian kernampuan membaca akan sangat
bermanfaat. Menggunakan wacana. berbentuk prosa merupakan cara tradisisonal,
akan tetapi banyak berbagai macam jenis wacana lain yang dapat digunakan dalam
ujian. Beberapa diantaranya yaitu, jadwal-jadwal, artikel-artikel surat kabar,
iklan-iklan, dan berbagai macam perintah.
2) Jenis-jenis Wacana
Jenis
wacana yang dipilih harus merefleksikan tujuan-tujuan dari situasi pembelajaran
bahasa. Jika siswa belajar bahasa Iggris secara akademis, maka wacana harus
berasal dari sumber yang berhubungan dengan itu. Jika siswa belajar bahasa
Inggris untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan sangat berguna
untuk menggunakan wacana-wacana seperti daftar menu, selebaran, atau surat.
3) Membaca dan Latar Belakang Pengetahuan
Latar
belakang pengetahuan merupakan salah satu hal yang berperan penting dan perlu
mendapat perhatian dalam pemahaman membaca. Singkatnya, ketika kita membaca
suatu wacana yang berhubungan dengan latar belakang pengetahuan yang kita
miliki, maka kita akan dapat memahami dengan mudah dan menyeluruh dan juga
menarik kesimpulan yang sangat akurat dari wacana tersebut, dibadingkan ketika
kita membaca suatu wacana yang sedikit behubungan dengan latar belakang
pengetahuan kita. Bayangkan, contohnya membaca wacana tentang sebuah permainan
dalam olahraga yang kita sedikit tahu atau malah tidak tahu sama sekali tentang
permainan itu, lalu bandingkan dengan membaca wacana tentang suatu permainan
yang kita tahu banyak tentangnya. Pada kasus pertama, Anda mungkin akan
memahami sedikit tentang gambaram permainan, dan dalam kasus kedua, Anda
mungkin akan memahami hampir seluruh informasi – bahkan yang tidak ditulis
secara langsung oleh penulisnya sendiri. Jika Anda mengenal olah raga basebal,
anda pasti tahu bahwa sebuah permainan dengan skor 15-13 adalah skor permainan
yang tinggi dari biasanya, walaupun si penulis tidak berkata seperti itu.
Pemilihan jenis wacana harus berbasis pada anggapan bahwa si peserta ujian
mempunyai tingkat latar belakang pengetahuan yang sama. Jika tidak, peserta
ujian yang mempunyai latar belakang pengetahuan akan mempunyai banyak keuntungan
daripada mereka yang tidak, walaupun dengan tingkat pernahaman yang sama.
Juga,
wacana yang digunakan jangan tentang subjek yang terlalu familiar bagi peserta
ataupun sebaliknya jangan yang terlalu sulit. Perlu dipertimbangkan bahwa bagi
mereka yang mempunyai latar belakang pengetahuan tentang wacana yang akan
diujikan, mereka akan mudah menjawab pertanyaan, bahkan tanpa memahami soal
ujian sekalipun. Juga sebaliknya, jika peserta hampir tidak mempunyai latar
belakang pengetahuan tentang subjek wacana, maka mereka akan sulit memahami,
dan mengambil kesimpulan, walaupun mereka merupakan pembaca yang baik.
4) Kesulitan
Dalam memilih suatu wacana,
pembuat ujian harus memperhatikan tingkat kesulitan dari wacana yang akan
diujikan. Jika wacana terlalu sulit, maka akan sedikit peserta yang dapat
mengerjakannya; dan jika terlalu mudah, maka akan terlalu banyak peserta yang
dapat mengerjakannya. Bagaimanapun, masalah tingkat kesulitan bukan merupakan
sesutau yang sederhana. Peserta ujian akan dapat lebih mudah mengerjakan wacana
yang lebih sulit jika mereka mempunyai latar belakang pengetahuan tentang
wacana tersebut, daripada terhadap wacana yang mana mereka hanya mempunyai
sedikit pengetahuan tentangnya.
Burhan Nurgiyantoro
mengemukakan bahwa dalam meilih bahan bacaan yang akan diujikan kepada
siswa harus memperhatikan tingkat kesulitan wacana, panjang pendek wacana, isi,
dan jenis atau bentuk wacana. Faktor-faktor menurut kedua ahli di atas
pada dasarnya sama dan dapat saling melengkapi untuk kesempurnaan dalam memilih
wacana yang akan dijadikan sebagai instrumen tes menguji kemampuan membaca.
Selain hal di atas, hendaknya ketika kita memilih bahan bacaan yang akan
dijadikan sebagai alat tes harus juga memperhatikan ranah kognitif yang
dikemukakan oleh Bloom.
Pembuatan
alat tes untuk mengukur kemampuan membaca seperti yang dikemukakan di atas
dimulai dari memilih wacana yang akan diujikan dan memvariasikan isi wacana
sesuai dengan latar belakang siswa serta memperhatikan tingkat kesukaran wacana
itu. Apabila semua prosedur itu kita terapkan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia maka kemungkinan hasil pengajaran bahasa Indonesia khususnya membaca
akan sesuai dengan tuntutan kurikulum dan tujuan yang sudah ditetapkan.,
walaupun mungkin dalam pelaksanaannya akan ditemukakan berbagai hambatan.
Salah
satu hambatan yang mungkin akan ditemukan adalah kesempatan atau waktu yang
diperlukan oleh seorang guru bahasa Indonesia dalam mengikuti prosedur yang
dikemukakan di atas. Waktu yang diperlukan untuk memilih dan memvariasikan
jenis wacana yang akan diujikan, menentukan tingkat kesukaran wacana, dan
memilih wacana. yang sesuai dengan latar belakang siswa, serta menyusun
soal-soal yang berkaitan dengan wacana tersebut tidak sedikit, padahal tugas
guru bahasa Indonesia bukan hanya mengajarkan atau menguji kemampuan membaca
saja. Selain itu juga tentang kemampuan dan kemahiran dari guru tersebut dalam
mempraktikkannya.
Berkaitan
dengan signifikansi tentang menguji kemampuan membaca penulis menyimpulkan
bahwa tes untuk mengukur kemampuan membaca tidak semata-mata utnuk mengukur
kemampuan membaca saja, tetapi dapat digunakan untuk mengukur kemampuan
berbahasa yang lain.
BAB III
PENUTUP
Bedasarkan
hasil kajian teoretik yang dikemukakan di muka, berikut ini penulis menarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Instrumen tes untuk menguji
kemampuan membaca dapat dibuat berupa soal objektif dan nonobjektif. Hal itu
dapat dipilih berdasarkan kebutuhan dan disesuikan dengan tingkat pendidikan
peserta tes.
2. Soal-soal untuk tingkat rendah
dapat berupa pengenalan kata, pengenalan kalimat, dan menjodohkan kata dan
gambar, sedangkan untuk kelas tinggi dapat berbentuk soal benar/salah, pilhan
ganda, jawaban pendek atau melengkapi, dan ugas menyusun.
3. Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam memilih wacana untuk bahan tes diantaranya menggunakan wacana yang
bervariasi, memperhatikan jenis wacana, latar pengetahuan peserta tes
berkaitan dengan wacana, dan tingkat kesulitan wacana.
4. Implikasi terhadap pelaksanaan
evaluasi pengajaran bahasa Indonesia bahwa dalam menyusun instrumen tes
harus dilandasi oleh pengetahuan guru tentang jenjang kemampuan kognitif
sebagimana teori yang diungkapkan oleh Bloom sehingga instrumen tes memenuhi
aturan yang berkaitan dengan tingkat kesulitan dan menghasilkan soal yang
layak.
DAFTAR PUSTAKA
Djiwandono,
Soenardi. 1996. Tes
Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB.
Hidayat,
Kosadi. 1994. Evaluasi
Pendidikan dan Penerapannya dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Kitao,
Kathleen dan Kenji. Tanpa tahun. Testing reading Comprehension. Internet.
Nurhadi.
1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru
Nurgiyantoro,
Burhan. 1995. Penilaian
dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE
Tariga,
H.G. 1989. Membaca
sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.