Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah Di Indonesia

Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah Di Indonesia

epidemiologi penyakit kaki gajah di indonesia
Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan wilayah yang mempunyai iklim tropis. Di daerah iklim tropis, kemungkinan terjadinya penyakit filariasis atau kaki gajah lebih besar daripada didaerah yang beriklim sedang maupun dingin. Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasi yaitu penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin.
Filariasis merupakan kelompok penyakit pada manusia maupun hewan yang disebabkan oleh infeksi parasit Nematoda, ordo filaridae yang biasa disebut filariae. Penyakit ini baru menimbulkan gejala setelah terpapar selama beberapa tahun, oleh sebab itu pada anak-anak jarang mengalami filariasis klinis yang bermakna.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu:
  1. Apa pengertian dari penyakit filariasis?
  2. Apa penyebab penyakit filariasis?
  3. Bagaimana morfologi penyakit filariasis?
  4. Apa saja gejala yang ditimbulkan dari penyakit filariasis?
  5. Bagaimana cara diagnosa penyakit filariasis?
  6. Bagaimana cara mencegah dan pengobatan penyakit filariasis?
C.     Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
  1. Untuk mengetahui pengertian penyakit filariasis
  2. Untuk mengetahui penyebab penyakit filariasis
  3. Untuk mengetahui morfologi penyakit filariasis
  4. Untuk mengetahui gejala dari penyakit filariasis
  5. Untuk mengetahui diagnosa penyakit filariasis
  6. Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan penyakit filariasis


BAB II
PEMBAHASAN

1.        Pengertian Penyakit Filariasis

Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah edema, infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity). Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang menyerang (cacing guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea).

2.         Morfologi Penyakit Filariasis

Morfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan letak bagian luar tubuh suatu organisme hidup. Berikut ini adalah morfologi penyakit filariasis.
  • Larva stadium 1 panjangnya kurang lebih 147 mikron, bentuknya seperti sosis, ekornya panjang dan lancip.
  • Larva stadium 2 panjangnya kurang lebih 450 mikron, bentuknya lebih gemuk dan lebih panjang daripada bentuk stadium 1, ekornya pendek seperti kerucut.
  • Larva stadium 3 panjangnya kurang lebih 1200 mikron, bentuknya langsing, pada ekornya terdapat 3 buah papil.
  • Mikrofilaria panjangnya kurang lebih 250 mikron, besarung pucat (pewarnaan hematoxilin), lekuk badan halus, panjang ruang kepala sama dengan lebarnya, inti halus dan teratur, tidak ada inti tambahan.
  • Cacing dewasa (mikrofilaria) halus seperti benang, warna putih kekuningan.
  • Cacing jantan panjangnya kurang lebih 40 mm ekornya melingkar, mempunyai 2 spikula.
  • Cacing betina panjangnya 65 -  100 mm, ekor lurus berujung tumpul.

3.        Gejala Penyakit Filariasis

Gejala Filariais Akut dapat berupa:
  • Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat
  • Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
  • Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)
  • Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
  • Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)

4.        Diagnosa Penyakit Filariasis

Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis darah, Sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit dilakukan karena microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity).
Selain itu, berbagai methode pemeriksaan juga dilakukan untuk mendiagnosa penyakit kaki gajah. Diantaranya ialah dengan system yang dikenal sebagai Penjaringan membran, Metode konsentrasi Knott dan Teknik pengendapan.
Metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh pihak WHO adalah dengan jalan pemeriksaan sistem “Tes kartu”, Hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit (larva). Yaitu dengan cara mengambil sample darah sistem tusukan jari droplets diwaktu kapanpun, tidak harus malam hari.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis antara lain sebagai berikut:
  1. Diagnosis Immunologi dengan ELISA dan Immunochromatographic Test (ICT). Kedua teknik ini pada dasarnya menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik untuk mendeteksi anti gen filarial dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah dan juga digunakan untuk monitor keefektifan terapi. Pada stadium opstruktif mikrofilaria sering tidak dijumpai dalam darah, tetapi ada didalam cairan hidrokel atau cairan chyluria.
  2. Pemeriksaan urin dan mikroskopis: jika diduga filariasis limfatik, pemeriksaan urin secara makroskopis untuk chyluria kemudian dipusatkan untuk mikrofilaria.
  3. CBC (Complete Blood Count): eosinofilia terjadi pada semua bentuk infeksi filariasis yang jelas.
  4. Penilaian serum imunoglobulin: peningkatan serum Ige dan IgG4 dapat terlihat pada filariasis aktif.

5.         Pengobatan, Pencegahan Dan Rehabilitasi Penyakit Filariasis

1.      Pengobatan Penyakit Filariasis

Penggunaan obat-obat anti filaria harus disesuaikan per individu. Penderita-penderita yang lebih tua dengan obstruksi limfatik kronis dan mereka yang tinggal pada daerah endemis tidak menunjukkan adanya manfaat dari pengobatan spesifik. Pengobatan filariasis harus spesifik dan sesuai dengan mikrofilaria yang terisolasi atau anti gen dalam darah yang terdeteksi.
Diethylcarbamazine (DEC) merupakan obat pilihan baik untuk pengobatan perorangan atau masal. DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencagah kesakitan.
DEC merupakan derivat piperazine. Immobilisasi mikrofilaria terjadi dengan menurunkan aktivitas otot akibat efek hiperpolarisasi, namun mekanisme yang tepat belum diketahui. Perubahan permukaan membran dan peningkatan destruksi oleh didtem imun hospes juga terjadi. Bisa juga meningkatkan adhesi granulosit via mekanisme antibodi-dependent dan antibodi-independent. Diduga pula, DEC juga mengganggu proses intrasel mikrifilaria dan transpor makromolekul spesifik.
Dosis dewasa: 6 mg / kg / hari dalam dosis terbagi, setelah makan, selama > 12 hari, sering dalam 3 minggu. Dosis rendah ( kurang lebih 2-3 mg / kg / hari ) biasanya dianjurkan untuk 3 hari pertama pengobatan untuk menurunkan resiko efek samping. Pada anak usia < 2 tahun tidak diberikan, tapi untuk usia lebih dari 2 tahun, dosis sama dengan orang dewasa. Kontra indikasi bila terjadi reaksi hipersensitivitas. Individu yang lebih muda dengan limfangitis akut harus diberikan DEC 50 mg pada hari I, 2 x 50 mg pada hari II, 3 x 50 mg pada hari 3 dan 10 mg / kg BB pada hari ke 4-21.
Pada pengobatan masal, pemberian DEC dosis standar tidak dianjurkan mengingat efek samping yang dapat ditimbulkan. Untuk itu DEC diberikan dengan dosis rendah dengan jangka waktu pemberian lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama. Jika terjadi demam, nyeri kepala atau pembengkakan sendi maka pengobatan harus dihentikan dan diberikan kortikosteroid.
Ivermectin (Mectizan, 22, 23- dihidroavermectin) merupakan derivat macrocyclic lactone dari Avermectin yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Dosis dewasa adalah 150-200 µg / kg p.o.,dosis tunggal, diberikan kurang lebih 2-3 bulan sekali. Pada anak dengan usia < 5 tahun atau berat badan < 15 kg tidak dianjurkan sedangkan anak usia 5 tahun atau berat badan > 15 kg, dosis pemberian seperti dosis dewasa. Kontraindikasi untuk penderita dengan hipersensitivitas dan penyakit berat lain yang terjadi bersamaan, ibu hamil dan menyusui. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan daripada DEC.

2.      Pencegahan Penyakit Filariasis

Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk, menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
Filariasis hanya dapat tersebar melalui vektor yang terinfeksi larva infektif. Pencegahan untuk mengurangi kontak antara manusia dan vektor serta menurunkan jumlah infeksi dengan mengadakan pencegahan pada hospes (manusia).

3.      Rehabilitasi Penyakit Filariasis

Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan dengan jalan operasi.
 BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami buat dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya yaitu:
  1. Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah edema, infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea.
  2. Penyakit kaki gajah (filariasis) ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis darah.
  3. lariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor)
  4. Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang.
B.     Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan penanganan kasus filariasis ini pula, diharapkan Indonesia mampu mewujudkan program Indonesia Sehat Tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
BARR, A. R. 1969. 1970. In: Proceedings of the 37th Annual Conference of the California Mosquito Control Association Inc.,
Basundari Sri Utami, 1990, Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Cartel JL, et al. 1992.  Wuchereria bancrofti infection in human and mosquito populations of a Polynesian village ten years after interruption of mass chemoprophylaxix with diethylcarbamazine. Trans R Soc Trop Med Hyg.
Chandra G et al, 1996. Age composition of filarial vector Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae) in Calcutta. Bull Ent Res.
Depkes RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis & Schistosomiasis, 2002, Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.
Baca Juga: Pengertian Drug Abuse

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »