1. Guru
a. Profesi guru
Kata profesi
idientik dengan kata keahlian. Jarvis via Yamin (2007: 3) mengartikan seseorang
yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang ahli (expert). Pada
sisi lain, profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan
berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berdasarkan intelektualitas.
Sardiman (2009:
133) berpendapat secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang
memerlukan pendidikan lanjut dalam science dan teknologi yang digunakan
sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam kegiatan yang bermanfaat.
Pengertian profesi menurut Sardiman ini dikuatkan dengan pengertian profesi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menurut KBBI (2005:
897), kata profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Dari beberapa pengertian
mengenai istilah profesi menurut Javis, Sardiman, dan KBBI, dapat disimpulkan
bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan khusus untuk
melakukannya. Karena dua kata kunci dalam istilah profesi adalah pekerjaan dan
keterampilan khusus, maka guru merupakan suatu profesi. Hal ini dikuatkan
dengan pendapat Uno. Menurut Uno (2008: 15), guru merupakan suatu profesi, yang
berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan.
b. Pengertian guru
Menurut
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1,
mengenai ketentuan umum butir 6, pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dengan kata lain,
dapat dikatakan bahwa guru adalah pendidik. Lalu, siapakah guru? Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005: 377), yang dimaksud dengan guru adalah orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Pengertian guru
menurut KBBI di atas, masih sangat umum dan belum bisa menggambarkan sosok guru
yang sebenarnya, sehingga untuk memperjelas gambaran tentang seorang guru diperlukan
definisi-definisi lain.
Suparlan dalam
bukunya yang berjudul ―Menjadi Guru Efektif‖, mengungkapkan hal yang berbeda
tentang pengertian guru. Menurut Suparlan (2008: 12), guru dapat diartikan
sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
dalam semua aspeknya, baik spiritual dan emosional, intelektual, fisikal,
maupun aspek lainnya. Namun, Suparlan (2008: 13) juga menambahkan bahwa secara
legal formal, guru adalah seseorang yang memperoleh surat keputusan (SK), baik
dari pemerintah maupun pihak swasta untuk mengajar.
Selain pengertian
guru menurut Suparlan, Imran juga menambahkan rincian pengertian guru dalam
desertasinya. Menurut Imran (2010: 23), guru adalah jabatan atau profesi yang
memerlukan keahlian khusus dalam tugas utamanya seperti mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
menengah.
Pengertian-pengertian
mengenai guru di atas sangat mungkin untuk dapat dirangkum. Jadi, guru adalah
seseorang yang telah memperoleh surat keputusan (SK) baik dari pihak swasta
atau pemerintah untuk menggeluti profesi yang memerlukan keahlian khusus dalam
tugas utamanya untuk mengajar dan mendidik siswa pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah, yang tujuan utamanya
untuk mencerdaskan bangsa dalam semua aspek.
c. Peran guru
Guru memiliki peran
yang sangat penting dalam pembelajaran. Peserta didik memerlukan peran seorang
guru untuk membantunya dalam proses perkembangan diri dan pengoptimalan bakat
dan kemampuan yang dimiliki peserta didik. Tanpa adanya seorang guru, mustahil
seorang peserta didik dapat mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Hal ini
berdasar pada pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan
bantuan orang lain untuk mencukupi semua kebutuhannya.
Mulyasa (2007: 37)
mengidentifikasikan sedikitnya sembilan belas peran guru dalam pembelajaran.
Kesembilan belas peran guru dalam pembelajaran yaitu, guru sebagai pendidik,
pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat,
pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas,
pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor,
emansivator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator.
2. Kualifikasi guru
a. Pengertian
kualifikasi guru
Menurut Suparlan
(2008: 146), guru merupakan salah satu unsur masukan instrumental yang amat
menentukan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, guru harus memiliki
standar kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan yang memadai.
Lalu apa yang
dimaksud dengan kualifikasi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 603),
yang dimaksud dengan kualifikasi adalah (1) pedidikan khusus untuk memperoleh
suatu keahlian; (2) keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu (menduduki
jabatan, dsb); (3) tingkatan; (4) pembatasan atau penyisihan (di olah raga).
Berdasarkan
pengertian guru dan kualifikasi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan mengenai kualifikasi guru. Kualifikasi guru adalah keahlian yang
diperlukan seseorang untuk menjalankan profesi guru. Namun, kualifikasi guru
ini perlu diperjelas lagi untuk dapat dikaitkan dengan pengelolaan kelas dalam
pembelajaran bahasa Indonesia SMA. Untuk itu, perlu dijabarkan lebih dalam lagi
mengenai kualifikasi guru ini.
b. Kualifikasi guru
mata pelajaran bahasa Indonesia SMA
Menurut Suparlan
(2008: 27), berdasarkan tanggung jawab yang diembannya, guru dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, yaitu: (1) guru kelas; (2) guru mata pelajaran; (3)
guru bimbingan konseling; (4) guru pustakawan, dan; (5) guru ekstrakulikuler.
Dari kelima jenis guru tersebut, guru yang mengajar di SMA/MA merupakan guru
mata pelajaran. Yang dimaksud dengan
guru mata pelajaran adalah jika guru hanya memiliki tugas untuk mengajarkan
satu mata pelajaran saja.
Hal tersebut
dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Pendidikan Nasional, Bab IV, bagian kesatu, pasal 30, butir kelima. Peraturan
Pemerintah tersebut berbunyi bahwa pendidik pada SMP/MTS atau bentuk lain yang
sederajat dan SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran dan
instruktur bidang kejuruan yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing
satuan pendidikan yang sesuai dengan keperluan.
Kualifikasi guru
untuk jenjang pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain sederajat tercantum dalam
Peraturan Pemerintah yang sama dengan di atas, pasal 29, butir keempat.
Peraturan Pemerintah itu berbunyi pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain yang
sederajat memiliki: (1) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat
(D-IV) atau sarjana (S1); (2) latar belakang pendidikan tinggi dengan program
pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; (3) sertifikasi
profesi guru untuk SMA/MA.
Pemerintah memang
belum mengatur kualifikasi khusus untuk profesi guru mata pelajaran bahasa
Indonesia. Namun, menurut kualifikasi secara umum tersebut, jelas bahwa guru
mata pelajaran bahasa Indonesia harus mempunyai latar belakang pendidikan tinggi
sesuai mata pelajaran yang diajarkan. Latar belakang tersebut adalah D-IV atau
S1 program studi pendidikan bahasa Indonesia.
Selain latar
belakang pendidikan tinggi D-IV atau S1 program studi pendidikan bahasa
Indonesia, guru mata pelajaran bahasa Indonesia juga harus tersertifikasi.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk
memperoleh sertifikasi pendidik yang dilakukan dalam bentuk penilaian
portofolio.
Penilaian
portofolio ini selanjutnya juga dijelaskan dalam Peraturan Mendiknas. Menurut
Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam
Jabatan, pasal 2, penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman
profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang
mendeskripsikan:
(1) kualifikasi akademik;
(2) pendidikan dan pelatihan;
(3) pengalaman mengajar;
(4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
(5) penilaian dari atasan dan pengawas;
(6) prestasi akademik;
(7) karya pengembangan profesi;
(8) keikutsertaan dalam forum ilmiah;
(9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan
dan sosial;
(10) penghargaan yang relevan dengan bidang
pendidikan.
c. Kualifikasi guru
yang berpengaruh dalam pengelolaan kelas pada pembelajaran bahasa Indonesia
Secara umum,
kualifikasi guru SMA/MA ada tiga yaitu: (1) kualifikasi akademik; (2) latar
belakang pendidikan tinggi; dan (3) sertifikasi profesi. Namun, berdasarkan
deskripsi dalam penilaian portofolio, untuk dapat menentukan kualifikasi guru
yang dapat berhubungan dengan pengelolaan kelas, perlu diubah dan ditambahkan
lagi menjadi kualifikasi guru sebagai berikut.
1) Kualifikasi
akademik
Menurut Depdiknas
dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2007,
yang dimaksud dengan kualifikasi akademik, yaitu tingkat pendidikan formal yang
telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar
(S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau Post Graduate diploma), baik
dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang terkait dengan komponen ini dapat
berupa ijazah atau sertifikat diploma.
Depdiknas juga
sudah mengelompokkan dan memberikan nilai dalam penilaian fortofolio mengenai
kualifikasi akademik guru. Berikut merupakan pedoman penilaian kualifikasi
akademik guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Dalam
Jabatan Tahun 2007.
Tabel 1. Pedoman Penilaian Kualifikasi
Akademik Guru
Ijazah
|
Relevansi
|
Skor
|
S1
|
Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
|
150
|
Nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel) memiliki
akta mengajar
|
150
|
|
Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel)
|
140
|
|
Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
|
130
|
|
Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun
bidang studi (mapel)
|
120
|
|
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan
rumpun bidang studi (mapel) memiliki akta mengajar
|
120
|
|
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan
rumpun bidang studi (mapel)
|
110
|
|
Post
Graduate
Diploma
|
Sesuai bidang studi
|
80
|
Tidak sesuai
|
50
|
|
S2
|
Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
|
175
|
Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel)
|
160
|
|
Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
|
160
|
|
Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun
bidang studi (mapel)
|
145
|
|
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan
rumpun bidang studi (mapel)
|
130
|
|
S3
|
Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
|
200
|
Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel)
|
180
|
|
Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
|
180
|
|
Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun
bidang studi (mapel)
|
160
|
|
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan
rumpun bidang studi (mapel)
|
140
|
2) Sertifikasi guru
Menurut Muslih
(2009: 2), sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru
yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan
yang layak. Mendiknas juga menjelaskan sertifikasi guru dalam Peraturannya.
Menurut Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru
Dalam Jabatan, pasal 1, yang dimaksud sertifikasi bagi guru dalam jabatan
adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan.
Dari dua pernyataan
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi adalah proses
pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan
tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Guru yang telah
tersertifikasi tentu akan lebih diakui keprofesionalannya daripada guru yang
belum tersertifikasi.
3) Pengalaman mengajar
Menurut Depdiknas
dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2007,
yang dimaksud dengan pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan
tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat
tugas dari lembaga yang berwenang (dapat dari pemerintah, dan/atau kelompok
masyarakat penyelenggara pendidikan). Bukti fisik dari komponen ini dapat
berupa surat keputusan/surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang.
Depdiknas juga
mengelompokkan dan menemberikan nilai dalam penilaian fortofolio mengenai masa
kerja guru. Berikut merupakan pedoman penilaian masa kerja guru dalam Buku III
Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007.
Tabel 2. Pedoman Penilaian Masa Kerja Guru
Masa Kerja Guru
|
Skor
|
>25 tahun
|
160
|
23 – 25 tahun
|
145
|
20 – 22 tahun
|
130
|
17 – 19 tahun
|
115
|
14 – 16 tahun
|
100
|
11 – 13 tahun
|
85
|
8 – 10 tahun
|
70
|
5 – 7 tahun
|
55
|
2 – 4 tahun
|
40
|
Keterangan: Tugas belajar diperhitungkan dalam pengalaman mengajar
4) Diklat
Menurut Depdiknas,
dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2007,
yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan (diklat) yaitu pengalaman dalam
mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan/atau
peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada
tingkat kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, nasional, maupun
internasional. Bukti fisik komponen ini dapat berupa sertifikat, piagam, atau
surat keterangan dari lembaga penyelenggara diklat.
Suhadak (2010: 34)
dalam desertasinya juga berpendapat bahwa guru perlu dikutsertakan sesering
mungkin dalam berbagai diklat peningkatan profesi guru (inservice training)
yang dikelola secara profesional dan merujuk pada kebutuhan guru dalam
menjalankan peran dan fungsinya. Dasar pemikirannya adalah seiring dengan
perkembangan IPTEK, dimungkinkan kebutuhan siswa dalam belajar akan meningkat,
baik kebutuhan informasi, kebutuhan cara pendekatan, maupun kebutuhan
pembimbingan dalam belajar. Kondisi tersebut jelas menuntut guru untuk selalu
mengembangkan diri. Untuk itulah diperlukan inservice training
pengelolaan pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan
karakteristik guru yang mampu melakukan baik pengelolaan pembelajaran maupun
pengelolaan kelas, termasuk di dalamnya berkomunikasi dengan siswa secara
efektif.
Terdapat beberapa
macam diklat (inservice training) menurut Indrafachruni via Suhadak
(2010: 35-36). Macam-macam diklat tersebut adalah sebagai berikut.
a) Up-garding
Up-grading ini merupakan salah satu usaha meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibutuhkan guru tentang suatu masalah
tertentu. Misalnya, tentang cara-cara pembuatan alat-alat pelajaran dalam pengembangan
kurikulum muatan lokal, pembaharuan metode suatu mata pelajaran, dan cara-cara
pembimbingan calon guru berpraktek pembelajaran.
b) Ceramah-ceramah, rapat, dan seminar
Ceramah-ceramah,
rapat, dan seminar umumnya dilakukan dalam bentuk persentasi tentang suatu
masalah yang perlu dipecahkan oleh nara sumber, kemudian dilakukan tanya jawab
atau diskusi untuk menemukan alternatif solusi dari permasalahan yang timbul
dalam presentasi tersebut. Ceramah-ceramah, rapat, dan seminar yang dimaksud di
sini tentu saja bentuk ceramah, rapat, dan seminar yang ada kaitannya dengan
profesi sebagai guru. Jika guru sering mengikuti seminar tetapi seminar
tersebut tidak terkait dengan profesi gurunya, maka seminar tersebut tidak akan
banyak berpengaruh pada kinerja sebagai guru.
c) Work-shop
Work-shop umumnya dilakukan dalam beberapa hari pada
suatu tempat dengan agenda utama meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
peserta yang diundang oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan
work-shop tersebut.
d) Study tour
Di lingkungan
diklat bagi guru, study tour dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan guru dengan melakukan kunjungan untuk studi banding ke sekolah
yang lebih maju. Study tour kini sering dirasakan lebih efektif bagi
guru karena peserta diklat dapat mengetahui tingkat kemajuan sekolah yang
dikunjungi secara langsung. Mereka juga mempunyai kebebasan untuk melakukan
tanya jawab dengan guru-guru dan staf sekolah yang dikunjungi.
e) Intervisitation
Intervisitation ini
pada prinsipnya sama dengan study tour, hanya saja sifatnya timbal
balik. Masing-masing guru di suatu sekolah saling melakukan kunjungan untuk sharing
pengetahuan dan pengalaman dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru
dan staf sekolah lain.
Selain itu, diklat
juga dapat digunakan untuk mengetahui jenjang karier seorang guru. Berikut
merupakan standar pola pembinaan karier guru menurut Suparlan (2008:186).
Menurut Suparlan
(2008: 182), pembinaan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui beberapa
kegiatan. Kegiatan tersebut yaitu: (1) peningkatan kualifikasi melalui jenjang
pendidikan formal; (2) peningkatan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan;
(3) peningkatan kompetensi melalui kegiatan yang dirancang oleh oraganisasi
profesi; (4) belajar mandiri.
Depdiknas juga
mengelompokkan dan menemberikan nilai dalam penilaian fortofolio mengenai
pendidikan dan pelatihan guru. Berikut merupakan pedoman penilaian masa kerja
guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan
Tahun 2007.
3. Pengelolaan kelas
dalam pembelajaran bahasa Indonesia
a. Pengertian
pengelolaan kelas
Sebelum mengetahui
pengertian pengelolaan kelas, terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai arti
kedua kata tersebut secara terpisah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005: 534), pengelolaan adalah (1) proses, cara, perbuatan mengelola; (2)
proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; (3)
proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; (4) proses
yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan
kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.
Yamin dan Maisah
(2009: 34) mengungkapkan bahwa kata pengelolaan memiliki arti yang sama dengan management
dalam bahasa Inggris. Kata mangement dalam bahasa Inggris tersebut
selanjutnya diserap ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi kata manajemen. Beralih
pada kata kelas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 529-530), kelas
adalah (1) tingkat; (2) ruang tempat belajar di sekolah; (3) kelompok
masyarakat berdasarkan pendidikan; (4) golongan atau kumpulan (sesuai persamaan
berbagai sifat tertentu), dan; (5) bio klasifikasi dalam biologi sesudah
devisi dan sebelum bangsa. Namun, Yamin dan Maisah (2009: 34) mengungkapkan
pengertian kelas sebagai kelompok orang. Jika kedua pendapat mengenai
pengertian kelas tersebut digabungkan, maka akan terbentuklah sebuah pengertian
kelas yang cukup ideal. Kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding,
tempat sejumlah orang berkumpul untuk mengikuti proses belajar mengajar.
Gabungan antara
kata pengelolaan dan kata kelas adalah kata pengelolaan kelas. Kata pengelolaan
kelas di sini akan memunculkan makna yang berbeda dengan hanya menggabungkan
dua kata yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Kamus Besar Besar Bahasa
Indonesia (2005: 708), manajemen kelas adalah manajemen untuk mencapai tujuan
pengajaran di kelas secara efektif dan efisien.
Manajemen kelas sebenarnya
tidak berbeda dengan pengelolaan kelas. Wragg memiliki pengertian sendiri
mengenai pengelolaan kelas. Menurut Wragg (1996: 8), pengelolaan kelas adalah
segala sesuatu yang dilakukan guru agar anak-anak berpartisipasi aktif dalam
kegiatan belajar-mengajar, bagaimanapun cara dan bentuknya. Mulyasa
mengungkapkan pengertian yang berbeda dengan Wragg. Menurut Mulyasa (2007: 91),
pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran
yang kondusif dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran.
Pujiastuti (2009:
5), memberikan pengertian mengenai mengelola kelas. Menurutnya, mengelola kelas
adalah menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal, dan/atau
mengembalikan ke kondisi yang optimal dari gangguan dalam proses belajar.
Berdasarkan
beberapa pengertian mengenai pengelolaan kelas dari teori-teori tersebut, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan kelas adalah keterampilan guru yang
berupa kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang optimal
dan kondusif, serta mengendalikannya ketika terjadi gangguan, sehingga siswa
dapat berpatisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan begitu,
pengelolaan kelas merupakan kunci penting untuk mewujudkan tercapainya tujuan
pembelajaran. Rohani dan Ahmadi (1995: 116) membedakan antara pengelolaan pengajaran
dan pengelolaan kelas, walaupun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat.
Jika pengelolaan pengajaran mencakup semua kegiatan yang secara langsung
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran, maka pengelolaan
kelas menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan
kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar. Yamin dan Maisah (2009:
34) juga mendukung pendapat Rohani dan Ahmadi tersebut. Menurut mereka, dalam
proses pembelajaran di sekolah dapat dibedakan adanya dua kelompok masalah
yaitu masalah pengelolaan kelas dan pengelolaan pembelajaran.
b. Tujuan pengelolaan
kelas
Pengelolaan kelas
yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar
yang efektif (Rohani dan Ahmadi, 1995: 117). Dengan kata lain, kemampuan
pengelolaan kelas yang efektif merupakan hal yang sangat penting dan mendasar
yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Menurut Wragg (1996:
1), kemampuan pengelolaan kelas sering juga disebut kemampuan menguasai kelas.
Hal ini berarti seorang guru harus mampu mengontrol atau mengendalikan prilaku
muridnya sehingga mereka terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar.
Kemampuan pengelolaan
kelas ini memiliki beberapa tujuan. Menurut Hasibuan (via Suwarna, 2006: 82),
tujuan keterampilan pengelolaan kelas yaitu: (1) mendorong siswa mengembangkan
tingkah lakunya sesuai tujuan pembelajaran; (2) membantu siswa menghentikan
tingkah lakunya yang menyimpang dari tujuan pembelajaran; (3) mengendalikan
siswa dan sarana pembelajaran dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan,
untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan; (4) membina hubungan baik antara guru
dengan siswa dan siswa dengan siswa, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi
efektif.
c. Komponen
pengelolaan kelas
Menurut Yamin dan
Maisah (2009: 34), terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan kelas. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1) kehangatan dan keantusiasan;
(2) tantangan; (3) bervariasi; (4) luwes; (5) penekanan pada hal-hal positif;
(6) penanaman disiplin diri. Selain prinsip-prinsip pengelolaan kelas,
Pujiastuti (2009: 5) juga mengungkapkan tentang hal yang perlu dihindari dalam
pengelolaan kelas. Hal yang perlu dihindari tersebut adalah (1) campur tangan
yang berlebihan; (2) ketidaktepatan waktu kegiatan; (3) bertele-tele; (4)
pengulangan penjelasan yang tidak perlu.
Menurut Mulyasa
(2007: 91), terdapat dua komponen keterampilan mengelola kelas. Komponen
keterampilan mengelola kelas tersebut adalah (1) penciptaan dan pemeliharaan
iklim pembelajaran yang optimal, dan; (2) keterampilan yang berhubungan dengan
pengendalian kondisi belajar yang optimal.
Keterampilan
penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang optimal ini terdiri dari
enam. Enam hal tersebut adalah (1) menunjukkan sikap tanggap di kelas; (2)
membagi perhatian secara visual dan verbal; (3) memusatkan perhatian kelompok
dengan cara menyiapkan peserta didik dalam pembelajaran; (4) memberikan
petunjuk yang jelas; (5) memberikan teguran secara bijaksana, dan; (6) memberi
penguatan ketika diperlukan.
Keterampilan yang
berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang optimal menurut Mulyasa
(2007: 91-92) terdiri dari tiga hal. Keterampilan tersebut yaitu: (1)
modifikasi perilaku; (2) pengelolaan kelompok dan; (3) menemukan dan mengatasi
perilaku yang menimbulkan masalah. Masing-masing keterampilan tersebut kemudian
akan dijabarkan lagi dalam kutipan sebagai berikut.
Modifikasi perilaku
terdiri dari tiga hal penting yaitu: (1) mengajarkan perilaku baru dengan
contoh dan pembiasaan; (2) meningkatkan perilaku yang baik melalui penguatan
dan; (3) mengurangi perilaku buruk dengan hukuman. Pengelolaan kelompok terdiri
dari dua hal penting yaitu: (1) peningkatan kerjasama dan keterlibatan dan; (2)
menangani konflik dan memperkecil masalah yang timbul. Sedangkan menemukan dan
mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah, terdiri dari sembilan hal penting yaitu:
(1) pengabdian yang direncanakan; (2) campur tangan dengan isyarat; (3)
mengawasi secara ketat; (4) mengakui perasaan negatif peserta didik; (5)
mendorong peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya; (6) menjauhkan
benda-benda yang dapat mengganggu konsentrasi; (7) menyususn kembali program
belajar; (8) menghilangkan ketegangan dengan humor dan; (9) mengekang secara
fisik.
Muijs dan Reynold
(2008: 117) dalam bukunya yang berjudul Effective Teaching Teori dan
Aplikasi, mengemukakan elemen-elemen manajemen kelas yang efektif. Menurut
mereka, elemen-elemen manajemen kelas
yang efektif adalah (1) memulai pelajaran tepat waktu; (2) penataan tempat
duduk yang tepat di kelas; (3) mengatasi disrupsi atau gangguan yang berasal
dari luar kelas; (4) menetapkan aturan dan prosedur yang jelas sejak awal tahun
pembelajaran; (5) peralihan yang mulus antar segmen pelajaran; (6) menangangi
murid yang berbicara selama pelajaran berlangsung; (7) memberikan pekerjaan
rumah; (8) mempertahankan momentum selama pelajaran; (9) menghindari downtime,
dan; (10) mengakhiri pelajaran.
Menurut Djamarah
dan Zain (2006: 2), pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi
belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa
menemukan kendala yang berarti. Sayangnya, pengelolaan kelas yang baik tidak
selamanya dapat dipertahankan. Hal tersebut disebabkan adanya gangguan yang
tidak dikehendaki datang secara tiba-tiba. Suatu gangguan yang datang secara
tiba-tiba dan berada di luar kemampuan guru adalah kendala spontanitas dalam
pengelolaan kelas. Dengan hadirnya kendala spontanitas, suasana kelas biasanya
akan terganggu yang ditandai dengan pecahnya konsentrasi anak didik. Setelah
kejadian itu, tugas terberat guru adalah mengupayakan anak didik untuk kembali
belajar dengan mempertahankan tugas belajar yang diberikan oleh guru.
Dari penjelasan
tersebut, maka dapat ditangkap bahwa terdapat masalah-masalah yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam pengelolaan kelas. Untuk lebih mengetahui
masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kelas, maka selanjutnya akan
dijabarkan mengenai masalah-masalah dalam pengelolaan kelas tersebut.
d. Masalah dalam
pengelolaan kelas
Masalah pengelolaan
kelas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, menurut Rohani dan Ahmadi
(1995: 117). Masalah pengelolaan kelas tersebut adalah masalah individual dan
masalah kelompok. Dreikus dan
Cassel (via Rohani dan Ahmadi, 1995:
118) membedakan empat kelompok masalah pengelolaan kelas individual yang
didasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan upaya
pencapaian tujuan pemenuhan keputusan untuk diterima kelompok dan kebutuhan
untuk mencapai harga diri. Empat kelompok masalah individu tersebut adalah (1)
tingkah laku yang ingin mendapatkan perhatian orang lain; (2) tingkah laku yang
ingin menunjukkan kekuatan; (3)tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang
lain, dan; (4) peragaan ketidakmampuan, yaitu dalam bentuk tidak mau melakukan segala
sesuatu yang diperintahkan guru karena merasa tidak mampu.
Johnson dan Bany
(via Rohani dan Ahmadi, 1995: 119) mengemukakan enam kategori masalah kelompok
dalam pengelolaan kelas. Masalah-masalah yang dimaksud adalah (1) kelas kurang
kohesif; (2) kelas mereaksi negatif terhadap salah seorang anggotanya; (3) membesarkan
hati anggota kelas yang justru melanggar norma kelompok; (4) kelompok cenderung
mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang tengah digarap; (5) semangat kerja
rendah; (6) kelas kurang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru.
Selain masalah
dalam pengelolaan kelas, terdapat juga faktor-faktor yang menjadi penghambat
dalam pengelolaan kelas. Faktor-faktor tersebut adalah (1) faktor guru; (2)
faktor peserta didik; (3) faktor fasilitas, dan; (4) faktor keluarga. Faktor
guru yang menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas adalah (1) tipe
kepemimpinan guru; (2) format belajar yang monoton; (3) kepribadian guru; (4)
pengetahuan guru, dan; (5) pemahaman guru tentang peserta didik.
Kekurangsadaran
peserta didik dalam memenuhi tugas dan haknya sebagai anggota suatu kelas juga
dapat menjadi faktor utama penyebab masalah pengelolaan kelas. Sedangkan faktor
fasilitas yang menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas adalah (1) jumlah
peserta didik dalam kelas; (2) besar ruang kelas; (3) ketersedian alat.
Kebiasaan yang kurang baik di lingkungan keluarga seperti tidak tertib, tidak
patuh pada disiplin, kebebasan yang berlebihan, atau pun terlampau dikekang,
juga dapat menjadi latar belakang yang menyebabkan peserta didik melanggar
disiplin di kelas.
e. Tindakan
pengelolaan kelas
Masalah-masalah
kelas di atas tidak perlu terjadi apabila guru melakukan tindakan pengelolaan
kelas yang baik. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 119), tindakan pengelolaan
kelas dibagi menjadi dua, yaitu tidakan pencegahan dan tindakan korektif.
1) Tindakan pencegahan
Tindakan pencegahan
seperti yang dimaksud tersebut, dapat dilakukan dengan mengatur kondisi dan
situasi pembelajaran maupun mengatur disiplin dan tata tertib.
a) Mengatur kondisi dan situasi pembelajaran
Mengatur kondisi
dan situasi pembelajaran dapat meliputi tiga aspek. Ketiga aspek tersebut
adalah (1) mengatur kondisi fisik; (2) mengatur kondisi sosio-emosional, dan;
(3) mengatur kondisi organisasional.
Lingkungan fisik
yang menguntungkan dan memenuhi syarat minimal mendukung meningkatnya
intensitas proses perbuatan belajar peserta didik dan mempunyai pengaruh
positif terhadap pencapaian tujuan pengajaran (Rohani dan Ahmadi, 1995:
120-121). Kondisi fisik yang dimaksud adalah (1) ruang berlangsungnya proses
pembelajaran; (2) pengaturan tempat duduk; (3) ventilasi dan pengaturan cahaya,
dan; (4) pengaturan penyimpanan barang-barang.
Ruang tempat
berlangsungnya proses belajar harus memungkinkan semua bergerak leluasa tidak
berdesak-desakan dan saling mengganggu antara peserta didik yang satu dengan
yang lain pada saat melakukan aktivitas belajar. Besarnya ruang sangat
tergantung pada dua hal yaitu jenis kegiatan dan jumlah peserta didik.
Sedangkan dalam mengatur tempat duduk, yang penting adalah memungkinkan
terjadinya tatap muka. Dengan demikian perilaku peserta didik dapat terkontrol
dengan baik. Ventilasi harus cukup menjamin kesehatan peserta didik. Jendela
harus cukup besar sehingga memungkinkan panasnya matahari masuk. Barang-barang
hendaknya disimpan ditempat khusus yang mudah dicapai.
Kondisi
sosio-emosional dalam kelas juga akan mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap proses pembelajaran. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 123), kondisi
sosio-emosional dalam situasi pembelajaran ada tiga, yaitu: (1) tipe
kepemimpinan guru; (2)sikap guru, dan; (3) suara guru.
Tipe kepemimpinan
guru akan mewarnai suasana emosional di dalam kelas. Tipe kepemimpinan guru
yang otoriter tentu akan berbeda pengaruhnya dengan tipe kepemimpinan guru yang
demokratis. Sikap guru dalam menghadapi peserta didik hendaknya sabar dan
bersahabat. Suara guru, walaupun bukan faktor yang besar, tetapi turut
mempunyai pengaruh dalam belajar. Suara yang melengking tinggi atau demikian
rendah sehingga tidak terdengar oleh peserta didik secara jelas dari jarak yang
agak jauh akan membosankan dan membuat peserta didik tidak memperhatikan
pembelajaran. Suara macam ini juga akan mengundang tingkah laku yang tidak
diinginkan.
Kegiatan rutin yang
secara organisasional dilakukan baik tingkat kelas maupun tingkat sekolah akan
dapat mencegah masalah pengelolaan kelas. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995:
125), kegitan tersebut yaitu: (1) pergantian pelajaran; (2) guru yang
berhalangan hadir, dan; (3) masalah peserta didik, seperti peserta didik yang
berkelahi dan lain sebagainya.
b) Disiplin dan tata tertib
Di sekolah,
disiplin banyak digunakan untuk mengontrol tingkah laku peserta didik yang
dikehendaki agar tugas-tugas di sekolah dapat berjalan dengan optimal. Menurut
Rohani dan Ahmadi (1995: 128) terdapat dua sumber pelanggaran disiplin di
sekolah. Pertama, pelanggaran disiplin yang bersumber pada lingkungan
sekolah dan kedua, pelanggaran disiplin yang bersifat umum.
Pelanggaran
disiplin yang bersumber dari lingkungan sekolah tidak akan dibahas karena
sifatnya yang kompleks. Yang akan di jelaskan adalah masalah pelanggaran
disiplin yang bersifat umum. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 129), terdapat
tiga sebab pelanggaran disiplin yang bersifat umum, yaitu: (1) kebosanan dalam
kelas; (2) perasaan kecewa dan tertekan karena peserta didik dituntut untuk
bertingkah laku yang kurang wajar sebagai remaja, dan; (3) tidak terpenuhinya
kebutuhan akan perhatian, pengenalan, atau status.
Ada berbagai cara
yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi pelanggaran disiplin. Menurut
Rohani dan Ahmadi (1995: 129), cara-cara tersebut adalah (1) pengenalan peserta
didik; (2) melakukan tindakan korektif; (3) melakukan tindakan penyembuhan,
dan; (4) tertib ke arah siasat.
2) Tindakan korektif
Tindakan korektif
dapat dibagi menjadi dua yaitu, tindakan yang seharusnya segera diambil guru
pada saat terjadi gangguan (dimensi tindakan) dan tindakan penyembuhan terhadap
tingkah laku yang menyimpang.
a) Dimensi tindakan
Dimensi tindakan
merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan guru bila terjadi masalah
pengelolaan. Guru dituntut untuk berbuat sesuatu dalam menghentikan perbuatan
peserta didik secepat dan setepat mungkin. Guru harus segera mengingatkan peserta
didik terhadap peraturan tata tertib yang dibuat dan ditetapkan bersama dan
konsekuensinya, untuk kemudian melaksanakan sanksi yang seharusnya berlaku.
Kegiatan ini juga bertujuan untuk memonitor efektifitas aturan dan tata tertib.
b) Tindakan penyembuhan
Pelanggaran yang
sudah terlanjur dilakukan peseta didik perlu ditanggulangi dengan tindakan
penyembuhan baik secara individu, maupun secara kelompok. Langkah-langkah yang
dapat dilakukan dalam tindakan penyembuhan ini meliputi: (1) mengidentifikasi peserta didik yang mendapat kesulitan untuk menerima dan
mengikuti tata tertib atau menerima konsekuensi dari pelanggaran yang dibuatnya
(2) membuat rencana yang diperkirakan tepat tentang langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam mengadakan kontrak dengan peserta didik (3) menetapkan waktu pertemuan dengan peserta didik yang disetujui bersama bersama
oleh guru dan peserta didik yang bersangkutan (4) saat
bertemu dengan peserta didik, jelaskan maksud pertemuan tersebut, dan manfaat
yang mungkin diperoleh dari pertemuan tersebut (5) tunjukkan kepada peserta didik bahwa guru pun bukan manusia yang sempurna
dan tidak bebas dari kekurangan (6) bila pertemuan yang dilakukan ternyata tidak
responsip, maka guru dapat mengajak peserta didik untuk diskusi dilain
kesempatan (7) pertemuan guru dan peserta didik harus sampai
pada pemecahan masalah (8) melakukan kegiatan tindak lanjut.
f. Pengelolaan Kelas
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Jamaluddin (2003:
18) juga mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran. Faktor
tersebut adalah (1) faktor internal yang meliputi faktor fisiologis dan
psikologis dan; (2) faktor eksternal yang meliputi faktor sosial dan nonsosial.
Guru berada dalam salah satu faktor sosial yang mempengaruhi pembelajaran.
Jika guru merupakan
salah satu faktor sosial yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran,
maka guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan leadership yang baik
dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut dibutuhkan untuk dapat mengontrol dan
mengelola kelas peserta didik dengan baik.
Arends (via
Tumisih, 2003: 37) mengemukakan tree important leadership functions of
teaching are planning, menaging classroom life, and assessing student progress.
Maksudnya, tiga hal penting dalam fungsi kepemimpinan seorang guru adalah
merencanakan, mengelola kelas, dan menilai perkembangan peserta didik.
Wragg (1996: 8)
menambahkan bahwa dalam pembelajaran, kemampuan menggunakan waktu secara
efisien dan menggunakan sarana dan prasarana yang serba kurang secara efektif
merupakan inti kemampuan profesional. Demikian juga halnya dengan penggunaan
waktu dan pengelolaan kelas.
Hal tersebut
berlaku untuk semua jenis pembelajaran tidak terkecuali dengan pembelajaran
bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia terkadang masih sering dipandang
sebelah mata oleh peserta didik karena dianggap sebagai pelajaran yang mudah.
Dalam prakteknya, saat pembelajaran bahasa Indonesia tengah berlangsung, ada
saja peserta didik yang kurang memperhatikan guru. Jika keadaannya seperti itu,
tugas berat guru mata pelajaran bahasa Indonesia adalah untuk mengontrol
peserta didik dengan keterampilan pengelolaan kelas yang efektif dan baik untuk
pembelajaran bahasa Indonesia.
4. Hubungan
kualifikasi guru dengan pengelolaan kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia
Yamin (2007: 2)
menyatakan bahwa guru profesional di samping mereka memiliki kualifikasi, juga
dituntut memiliki kompetensi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
Suparlan (2008:
147) juga melengkapi pernyataan Yamin tersebut. Ia mengungkapkan bahwa
kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan guru merupakan tiga aspek yang
saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiganya harus dapat terpenuhi agar
tercapai kompetensi guru yang optimal.
Sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah
tentang standar Nasional Pendidikan Pasal 28 (via Muslich, 2007: 12), terdapat
empat kompetensi guru. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial. Mulyasa dalam bukunya yang berjudul
Standar Kometensi dan Sertifikasi Guru banyak mengulas tentang keempat
kompetensi di atas. Menurut Mulyasa (2009: 136), pengelolaan kelas merupakan
salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh guru.
Menurut Wragg
(1996: 7), ketidakmampuan mengelola kelas secara efektif sering merupakan
satu-satunya alasan yang paling umum terjadinya kegagalan mahasiswa praktek
mengajar dan kegagalan calon guru dalam masa percobaan. Pernyataan Wragg ini
dapat menjadi salah satu indikasi bahwa untuk dapat mengelola kelas dengan
baik, seorang guru harus memiliki kualifikasi. Logikanya, semakin tinggi
kualifikasi guru, maka semakin banyak pengalaman yang di dapatkan oleh guru,
dan semakin baik pula kemampuan pengelolaan kelasnya.