BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan : praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah: pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era reformasi sekarang.
Sistem Pendidikan di Indonesia sebelum & sesudah kemerdekaan |
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan, pokok permasalahan :
- Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa Belanda?
- Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa Jepang?
1.3 Tujuan
Untuk mendeskripsikan perkembangan dan perbedaan sistem pendidikan yang telah berlaku di Indonesia khususnya pada masa pendudukan Jepang, Belanda, dan setelah kemerdekaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern.Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah Ongko Loro dan Ongko Siji.Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana.Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro.Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori Van Deventer dan Baron Van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan Schakel School dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak.Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini.Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru.Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS.Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini.Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan (China Lagere School) bagi anak-anak keturunan Tionghoa.Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang.Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap.Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar.Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris.Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini.Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk memperoleh kesempatan ini.Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial Belanda.
Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak.Oleh karena pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan.Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri.
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial.Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa.Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya.Menjadi guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS.Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa.Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda.Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya.
Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah.
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.
2.2 Pendidikan Masa Jepang
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini.Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942.Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
- Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
- Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
- Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
- Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
- Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
- Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi.Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi).Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
- Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
- Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
- Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
- Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
- Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
- Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi;
- Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
- Setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
- Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
- Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
- Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses Resinification(penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi.Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
- Mengubah Kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
- Pondok Pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
- Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
- Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
- Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
- Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan kebijakan pendidikan yang dihasilkan.Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi politik sebuah bangsa.Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan.Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan semata.
Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SLTA.Akibatnya, semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai bangsa maju di kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan Peta.
3.2 Saran-Saran
Setelah membaca makalah Sistem Pendidikan Sebelum Kemerdekaan para pembaca disarankan supaya:
- Mengambil manfaat dari pendidikan yang diterapkan sebelum kemerdekaan untuk memperbaiki pendidikan sekarang dan pendidikan yang akan datang.
- Pembaca supaya dapat memberikan pengetahuannya tentang sejarah pendidikan Indonesia sebelum kemerdekan.
- Pembaca supaya dapat mengambil pelajaran untuk memberikan pembelajaran kepada calon pesrta didiknya kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Zaenuddin, 2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.