3 kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia

3 kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia

di Indonesia
3 kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia
Pertanian di Indonesia telah ada semenjak jaman-jaman kerajaan Hindu & Budha. Ini terbukti menurut beberapa kerajaan misalnya Majapahit, Singosari, Sriwijaya, & lain-lain sudah mengenal pertanian sebagai pemasukan atau income bagi suatu kerajaan, menggunakan memperjual belikan output berdasarkan pertanian.
Kemudian berlanjut dalam jaman Belanda/ VOC yang menjajah Indonesia selama 350 tahun yaitu menurut tahun 1592 hingga 1942 untuk mengambil kekayaan alamnya menggunakan cara memperkerjakan masyarakat Indonesia tanpa buruh atau dikenal menggunakan sebutan Rodi.
Bangsa Belanda memberlakukan monopoli perdagangan yg menyebabkan rakyat Indonesia sulit buat hayati setelah dimuntahkan dua peraturan.
· Rakyat hanya menjual hasil rempah-rempah hanya pada VOC
· Jenis tanaman dan tempat menanam rempah-rempah dipengaruhi oleh VOC
Banyak penderitaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia, menanamkan sistem kerja paksa atau Rodi sehingga masyarakat Indonesia dikuras habis tenaganya sang Belanda & sangat kejam dalam bangsa Indonesia.
Karena kebijakan ekonomi Belanda, masyarakat Indonesia terutama masyarakat mini   (petani) mengalami kerugian yg akbar. Lantaran kebijakan ekonomi Belanda dikenal dengan sebutan Pajak Tanah. Pada kebjakan itu disebutkan bahwa semua tanah sebagai milik pemerintah Belanda, oleh karenanya, para petani berkewajiban membayar sewa tanah kepada Belanda, pemungutan itu dilakukan oleh Belanda secara paksa.
Dari situ dapat diketahui galat satu faktor kedatangan Belanda merupakan untuk mendapatkan hasil kekayaan Indonesia. Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam menguras kekayaan Indonesia, lantaran memang dikenal Indonsia memiliki tanah yg fertile pula ditambah menggunakan iklim trofis yg mendukung dalam pertanian.
Akan tetapi aktivitas pertanian pada waktu itu adalah sebuah kerugian besar  bagi para petani, lantaran hasil-hasil panen dalam waktu itu diberikan pada Belanda. Juga mendapat siksaan berupa kerja paksa dengan upah yang minim. Kemudian petani harus membyar pajak terhadap Belanda karena semua ladang petani adalah milik Belanda.
Penderitaan berlanjut waktu jaman penjajahan Jepang. Meski hanya tiga tahun yaitu pada tahun 1942 hingga 1945, warga  Indonesia mengalami penderitaan yang sangat hebat diantaranya.
·         Merampas seluruh hasil pertanian masyarakat. Seperti beras, jagung, teh, rempah-rempah, dan lain-lain. Akibatnya banyak rakyat Indonesia yang menderita kelaparan.
·         Romusha adalah sebutan bagi orang-orang Indonesia yang diperintah untuk kerja paksa tanpa dibayar. Kebanyakan Romusha merupakan dari golongan petani.
·         Tanam paksa, saat Jepang menjajah Indonesia, Jepang memberlakukan sistem tanam paksa. Dalam sistem tanam paksa, rakyat Indonesia harus mengolah pertanian lalu diberikan kepada Jepang.
·         Pajak, walaupun petani diperintah buat tanam paksa, namun mereka tetap wajib  membayar pajak kepada Jepang. Rakyat Indonesia wajib  membayar pajak saat melewati jembatan, jalan raya, dan fasilitas generik lainnya.
Terlihat bahwa dalam penjajahan Jepang, para petani mengalami masa yang sangat pahit. Pemerintah Jepang sangat kejam dan tidak ada rasa manusiawi dengan memperkerjakan rakyat Indonesia dengan sistem tanam paksa yg memakan banyak korban terutama dari petani, lantaran memang sistem tanam paksa ini bertujuan untuk menguras kekeayaan Indonesia berdasarkan bidang pertanian.
Apabila kita lihat secara akurat, bila penjajahan yg dilakukan Belanda & Jepang dengan tujuan untuk menguras kekayaan Indonesia dibidang pertanian. Ini terbeukti menggunakan sistem yang mereka berlakukan seperti monopoli perdagangan VOC, pajak sewa tanah oleh Belanda, sistem tanam paksa oleh Jepang, & sistem Romusha yang seluruhnya merugikan rakyat Indonesia terutama bagi kalangan para petani.
Berikut ini merupakan 3 kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia, yaitu:

KEBIJAKAN POLITIK PINTU TERBUKA

Politik Pintu Terbuka Sebagai wujud Transformasi Modal dan transformasi Agraria di Indonesia Pasca defisit keuangan Pemerintah Belanda, para pejabat di bawah pimpinan Elout, Van der Cappellen mulai melakukan sejumlah kebijakan internal maupun eksternal guna meningkatkan pendapatan kerajaan, khusunya di Hindia Belanda. Kebijakan internal yang dilakukan adalah dengan melakukan reformasi dan rasionalisasi struktur birokrat negara.
Sejumlah pejabat yang disinyalir melakukan korupsi ditindak secara tegas. Sedangkan di tingkat eksternal, arah kebijakannya ditujukkan kepada daerah-daerah koloni kerajaan, secara khusus di Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan salah satu penyebab defisit keuangan negara adalah biaya perang yang begitu besar, terutama Perang Diponegoro dan Perang Paderi. Selain itu juga dikarenakan VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie) mengalami kerugian besar. Upaya pertama yang dilakukan adalah penempatan Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal baru, setelah ditinggal T.S Raffles (1811-1816) yang pulang ke Inggris. Solusi utama peningkatan keuangan negara adalah pelaksanaan konsep tanam paksa (1830-1870).
Orientasi dari pelaksanaan sistem tanam baru ini adalah peningkatan ekspor daerah koloni yang diperjualbelikan di pasar internasional. Ketentuan-ketentuan dalam sistem tanam paksa pada dasarnya adalah peningkatan surplus pertanian yang ditujukan untuk peningkatan keuangan Belanda. Sistem tanam paksa sebenarnya merupakan lanjutan dari kebijakan liberal dalam bentuk sewa tanah yang telah digagas Raffles.
Melalui sewa tanah, mulai berdatangan sejumlah besar modal akibat datangnya banyak orang Eropa ke Hindia Belanda . Namun, hal ini tidak betahan lama, karena pasca London Treaty (1814) antara Belanda dan Inggris, maka Hindia Belanda kembali menjadi wilayah jajahan Belanda (1816).
Sistem tanam paksa diterapkan setelah Belanda kembali menguasai Hindia Belanda. Pelaksanaan tanam paksa mendatangkan keuntungan yang begitu besar terhadap devisa kerajaan Belanda, karena produk-produk pertanian yang berasal dari Hindia Belanda laku pesat di pasar internasional, khususnya Eropa dan Amerika. Namun, terjadi pergolakan pada akhir tahun 1869. Pada akhir 1869, pemilihan Parlemen Belanda didominasi kelompok liberal. Kelompok liberal yang muncul pada pertengahan abad- XIX di Belanda, melihat bahwa keuntungan yang begitu besar dari tanah jajahan tidak hanya dimonopoli pemerintah setempat, tetapi juga harus diberikan kepada pihak swasta berdasarkan mekanisme pasar bebas. Kelompok liberal merupakan manifestasi dari kelas borjuis Belanda yang juga menginginkan keuntungan dari tanah jajahan. Kelas borjuis ini menampakkan sifatnya sebagai kelas kapital borjuis, yakni kapital yang hanya berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya dari surplus pertanian.
Dampak selanjutnya orientasi kebijakan ekonomi di Hindia Belanda juga terpengaruh. Kepemilikan pemerintah yang begitu dominan di bidang pertanian, khususnya kepemilikan tanah, kemudian harus berganti menjadi kepemilikan swasta. Terjadi swastanisasi terhadap sektor pertanian dan perkebunan di Hindia Belanda. Banyak perkebunan swasta bermunculan di Sumatera Timur dan sebagian besar Jawa. Tanaman-tanaman perkebunan seperti kopi, kina, kopra, kapas menjadi tanaman ekspor yang cukup laku di pasaran internasional. Hal ini kemudian memunculkan sekelompok pengusaha-pengusaha baru yang berasal dari Eropa yang menguasai hampir semua surplus kemakmuran dari sektor pertanian.
Melihat hal ini Gubernur Jenderal Van Den Bosch berusaha mengikis kepemilikan swasta yang berlebih dengan sistem bagi hasil yang sebagian besar dikuasai pemerintah Belanda. Kelas kapital negara muncul atas kegelisahan Van Den Bosch tersebut. Negara menginginkan dominasi dalam penguasaan keunutngan dari tanah jajahan. Beberapa langkah yang ditempuh adalah penetapan beberapa undang-undang, seperti :

1. Undang-Undang Perbendaharaan Hindia Belanda (Indische Comptabiliteitswet) tahun 1867 yang menyatakan bahwa anggran belanja Hindia belanda harus ditetapkan dengan undang-undang, jadi dengan persetujuan Parlemen belanda
2. Undang-Undang Gula (Suikerwet) tahun 1870, berisi ketetapan bahwa tanaman tebu adalah tanaman monopoli pemerintah berangsur-angsur akan dihilangkan sehingga di Pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta.
3. Undang-Undang Agraria (Agrarichwet) yang berisi :
·         Tanah di Hindia Belanda (Indonesia) dibedakan atas dua, yakni tanah rakyat dan tanah pemerintah
·         Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifanya bebas dan tanah desa yang miliknya tidak bebas. Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada bangsa asing, hanya boleh disewakan
·         Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah milik atau disewakan selama 75 tahun
Melalui kebijakan tanam paksa, kepemilikan modal tetap diberikan kepada swasta yang bekerjasama dengan pemerintah. Kebijakan ini memunculkan sejumlah besar modal asing yang berasal dari Eropa dan Amerika. Era ini kemudian dikenal dengan Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Selain muncul begitu banyak perkebunan, seperti teh,kopi,kina, serat nanas, kelapa sawit, juga terdapat pembukaan pertambangan di Hindia Belanda, seperti minyak di Sumatera dan Kalimantan, batubara di Sumatera Barat dan Selatan, serta timah di Kepulaan Bangka. Masuknya modal swasta ini, kemudian menuntut bukan hanya keuntungan, tetapi dengan keuntungan yang diperoleh ini mampu memberikan keuntungan lagi melalui proses industri yang bernafaskan efisiensi dan efektivitas. Kemudian muncullah jalur kereta api di Hindia belanda, jalan raya, pelabuhan dan sejumlah infrastruktur lainnya demi tercapainya modernitas, khususnya sektor pertanian.
Gaya kapitalis negara, berubah menjadi kapiltalis industri yang didominasi pengusaha-pengusaha Eropa dan Amerika. Era baru masuknya modal ini justru membuat masyarakat semakin sengsara. Kondisi pertanian dalam negeri bersifat eksplosif dan eklsploitatif demi memenuhi kebutuhan ekspor dan pendapatan negara Belanda. Sedangkan para petani semakin sulit unutk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kolonialisme telah mengubah struktur masyarakat Indonesia dan pola pertanian bangsa ini.
Berdasarkan pola tanam baru ini (cultuuer stelsel), secara tidak langsung mengubah transformasi agraria di Indonesia. Masyarakat Indonesia dipaksakan menyeragamkan komoditi pertanian demi kepentingan ekspor. Padahal masyarakat Indonesia masih menerapkan pola pertanian tradisional yang bersifat subsisten. Petani Indonesia pada dasarnya menggunakn pola produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kalupun terdapat kelebihan produksi (over production), kelebihan produksi ini dipertukarkan dengan kebutuhan pokok lainnya. Hal ini berubah setelah pihak kolonial menerapkan pola tanam paksa, dengan memaksa petani menanamkan produk-produk pertanian berorientasi ekspor yang laku di pasar internasional, seperti kopi, teh,kina,kapas, kelapa sawit . Selain itu, penggunaan asupan pertanian baru seperti pupuk kimia, traktor, mesin giling, dan berbagai input lainnya membuat pola pertanian Indonesia bergantung kepada asupan peningkatan produksi pertanian dari luar negeri. Sistem produksi pertanian Indonesia rentan terhadap input-input pertanian yang berasal dari Eropa.
Berikutnya adalah hancurnya transformasi agraria di Indonesia. Secara sederhana, transforma agraria adalah peralihan masyarakat dari feodal dan agraris ke masyrakat kapital dan industrialis. Berpindahnya penduduk pedesaan yang semula agraris menjadi pekerja sektor modern karena tumbuhnya berbagai bidang kerja sektor modern. Struktur masyarakat pertanian Indonesia, idealnya mengalami hal ini, tetapi dihambat oleh arus kolonialisme. Konsepsi Adam Smith bahwa dalam proses transformasi agraria akan memunculkan kelas pekerja, tuan tanah dan kelas kapitalis. Upah, sewa tanah dan modal merupakan output dari munculnya ketiga kelas sosial tersebut. Masyarakat Barat melewati proses yang menyeluruh dari transformasi agraria. Kelas tuan tanah memiliki surplus pertanian yang dikonversi menjadi teknologi pertanian yang berevolusi menjadi industrialisasi.
Terjadinya industrialisasi yang menuntut efektivitas dan efisiensi produksi membuat sektor pertanian mengalami evolusi menjadi pertanian berbasis agroindustri dan agrobisnis. Kelas tuan tanah berubah menjadi kelas pemilik modal (kapitalis). Ditambah dengan berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi, maka proses transformasi masyarakat petani di Eropa berjalan maksimal dan menyeluruh. Sedangkan di Indonesia, pasca masuknya modal asing dan perubahan pola pertanian lokal, maka proses transformasi juga berjalan mandet, bahkan tidak berjalan sama sekali. Masyarakat petani di Indonesia, dibagi atas petani sawah (Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan), petani ladang berpindah (Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, NTT) serta petani peramu dan pemburu (Papua) .
Pihak kolonial menghancurkan tatanan pertanian tersebut dan menggantinya dengan pertanian kapital, dimana surplus pertanian tidak dinikmati oleh para tuan tanah dan kelas pekerja, tetapi dikuasai kelas kapitalis, baik kapitalis borjuis, kapitalis negara maupun kapitalis industri. Kelas tuan tanah di Indonesia semasa diberlakukan open door policy, hanya dijadikan pengumpul pajak dan upeti bagi pemerintah, sebagai imbalannya mereka diberi gaji dan mendaptkan kepercayaan sebagai bagian integral dari pemerintah kolonial. Sedangkan kelas pekerja yang diisi oleh para petani gurem dan miskin, hanya menjadi sapi perah pemodal dan pemerintah. Sistem produksi subsisten diganti menjadi pertanian berorientasi ekspor, yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan petani di Indonesia. Akumulasinya adalah di Indonesia, kelas tuan tanah semakin terlantar dan tidak menikmati sewa tanah dan petani tidak mendapat upah yang layak seperti yang tertera dalam platform wealth of nationsnya Adam Smith. Wealth of nation hanya diberikan kepada pihak kolonial Belanda, sedangkan Indonesia hanya menjadi sapi perahan dan lumbung kuli bagi bangsa lain.

KEBIJAKAN POLITIK TANAM PAKSA

Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

KEBIJAKAN POLITIK ETIS

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
· Irigasi
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
· Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
· Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dari ketiga kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda.

Perkembangan Pertanian di Indonesia Pada Orde Lama

Masa Orde lama berlansung dari tahun 1945 sampai 1968. Perkembangan pertanian di Indonesia pada masa orde lama ini, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank.
Tidak banyak yang dilakukan pada periode ini dalam mengembangkan pertanian. Karena pada jaman ini masih ada dampak-dampak dari para penjajah sperti inflasi yang sangat tinggi, adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menuntup pintu perdagangan luar negeri.
Indonesia baru merencakan untuk sektor pertanian (kasmi plan) yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti mahzab Fisiokrat: sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Kesibukan pemerintah tidak hanya ditujukan dalam sektor pertanian, tetapi juga dalam sektor-sektor lain seperti politik, ekonomi, dan lain-lain yang membangun infrastruktur-infrastruktur di Indonesia. Jadi wajar jika perkembangan pertanian pada periode ini masih belum menunjukan adanya perubahan dalam bidang pertanian.
Begitu juga pada masa demokrasi terpimpin (1959-1967) sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).
Perkembangan Pertanian di Indonesia pada Orde Baru
Perkembangan Pertanian di Indonesia pada Masa Orde Baru ini pemerintah harus menelan pil pait dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitas ekonomi. Pemerintah pada waktu itu berusaha untuk menurunkan tingkat inflasi dengan menstabilkan harga. Dengan dikendalikan inflasi, stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin. Dan sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Yang dibagi kedalam enam periode.

· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada Masa REPELITA I (1969-1974)

Repelita I dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Ini merupakan landasan awal untuk memajukan ekonomi di Indonesia yang tujuannya untuk menaikan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Titik berat Repelita ini adalah pembangunan pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi memalui proses pembaharuan dalam bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.

· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA II (1974-1979)

Repelita II ini dimulai sejak 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7,5% per tahun. Perioritasnya adalah sektor pertanianyang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Selain memprioritaskan pertanian juga untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat, dan Repelita II ini berhasil mencapai angka 7% per tahun.perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikan produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitas.

· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA III (1979-1984)

Repelita III dimulai pada tanggal 1 April 1797 hingga 31 Maret 1984. Repelita III ini lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang brtujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijakan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemetaan.

· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA IV (1984-1989)

Repelita IV mulai dilaksanakan pada 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Repelita IV ini adalah terusan dari Repelita III. Prioritas utamanya adalah untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri sendiri. Hasil yang dicapai pada Repelita IV ini yaitu swasembada pangan, dimana oada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Dan berhasil mendaptkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) Selain itu, juga diberlakukan sistem KB dan Rumah untuk keluarga.

· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA V (1984-1994)

Repelita V ini dimulai pada 1 April 1984 hingga 31 Maret 1994. Repelita ini lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V ini adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang kedua, yaitu dengan mengadakan Repelita VI yang diharapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA VI (1984-1994)

Repelita ini masih menitik beratkan pada pembangunan sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

Kebijakan Daendels, Raffles, dan VOC di Indonesia adalah sebagai berikut:

A. Kebijakan Pemerintahan Herman W. Daendel

Sebagai seorang revolusioner, Daendels sangat mendukung perubahan-perubahan liberal. Beliau juga bercita-cita untuk memperbaiki nasib rakyat dengan memajukan pertanian dan perdagangan. Akan tetapi, dalam melakukan kebijakan-kebijakannya beliau bersikap diktator sehingga dalam masa pemerintahannya yang singkat, yang diingat rakyat hanyalah kekejamannya. Pembaruan-pembaruan yang dilakukan Daendels dalam tiga tahun masa jabatannya di Indonesia adalah sebagai berikut.
I.)                  Bidang Birokrasi Pemerintahan
1.      Dewan Hindia Belanda sebagai dewan legislatif pendamping gubernur jenderal dibubarkan dan diganti dengan Dewan Penasihat. Salah seorang penasihatnya yang cakap ialah Mr. Muntinghe.
2.      Pulau Jawa dibagi menjadi 9 prefektuur dan 31 kabupaten. Setiap prefektuurdikepalai oleh seorang residen (prefek) yang langsung di bawah pemerintahan Wali Negara. Setiap residen membawahi beberapa bupati.
3.      Para bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda dan diberi pangkat sesuai dengan ketentuan kepegawaian pemerintah Belanda. Mereka mendapat penghasilan dari tanah dan tenaga sesuai dengan hukum adat.
II.)                Bidang Hukum dan Peradilan
1.      Dalam bidang hukum, Daendels membentuk 3 jenis pengadilan.
- Pengadilan untuk orang Eropa.
- Pengadilan untuk orang pribumi.
- Pengadilan untuk orang Timur Asing.
Pengadilan untuk pribumi ada di setiap prefektuur dengan prefek sebagai ketua dan para bupati sebagai anggota. Hukum ini diterapkan di wilayah kabupaten, sedangkan di wilayah prefektuur seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya diberlakukan hukum Eropa.
2.      Pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, termasuk terhadap bangsa Eropa sekalipun. Akan tetapi, Daendels sendiri malah melakukan korupsi besar-besaran dalam penjualan tanah kepada swasta.
III.)              Bidang Militer dan Pertahanan
Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
Peta jalur Anyer-Panarukan yang dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Rakyat melakukan pembuatan jalan ini dengan kerja paksa atau Rodi
Dalam melaksanakan tugas utamanya untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, Daendels mengambil langkah-langkah berikut ini.
1. Membangun jalan antara Anyer-Panarukan, baik sebagai lalu lintas pertahanan maupun perekonomian.
2. Menambah jumlah pasukan dalam angkatan perang dari 3000 orang menjadi 20.000 orang.
3. Membangun pabrik senjata di Gresik dan Semarang. Hal itu dilakukan karena beliau tidak dapat mengharapkan lagi bantuan dari Eropa akibat blokade Inggris di lautan.
4. Membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dan Surabaya.
IV.)              Bidang Ekonomi dan Keuangan

1. Membentuk Dewan Pengawas Keuangan Negara (Algemene Rekenkaer) dan dilakukan pemberantasan korupsi dengan keras.
2. Mengeluarkan uang kertas.
3. Memperbaiki gaji pegawai.
4. Pajak in natura (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) yang diterapkan pada zaman VOC tetap dilanjutkan, bahkan ditingkatkan.
5. Mengadakan monopoli perdagangan beras.
6. Mengadakan Prianger Stelsel, yaitu kewajiban bagi rakyat Priangan dan sekitarnya untuk menanam tanaman ekspoer (seperti kopi).
V.)                Bidang Sosial
1. Rakyat dipaksa melakukan kerja paksa (rodi) untuk membangun jalan Anyer-Panarukan.

2. Perbudakkan dibiarkan berkembang.
3. Menghapus upacara penghormatan kepada residen, sunan, atau sultan.
4. Membuat jaringan pos distrik dengan menggunakan kuda pos.

B. Kebijakan-Kebijakan Raffles :

I.)                  Bidang Birokrasi dan Pemerintahan
Langkah-langkah Raffles pada bidang pemerintahan adalah:
1.      Membagi Pulau Jawa menjadi 18 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964)
2.      Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat
3.      Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh secara turun-temurun
4.      Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan
II.)                Bidang Ekonomi dan Keuangan
Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan pemerintah kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan.
III.)              Bidang Hukum
Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai berikut:
Court of Justice
, terdapat pada setiap residen
Court of Request, terdapat pada setiap divisi
Police of Magistrate
IV.)              Bidang Sosial
Penghapusan kerja rodi (kerja paksa) dan penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau.
V.)                Bidang Ilmu Pengetahuan
1.      Ditulisnya buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817 dan dibagi dua jilid
2.      Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Eidenburg pada tahun 1820 dan dibagi tiga jilid
3.      Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan
4.      Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi
5.      Dirintisnya Kebun Raya Bogor
6.      Memindahkan Prasasti Airlangga ke Calcutta, India sehingga diberi nama Prasasti Calcutta
Dari kebijakan ini, salah satu pembaruan kecil yang diperkenalkannya di wilayah kolonial Belanda adalah mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri, yang berlaku hingga saat ini.

C. Kebijakan- kebijakan VOC :

I.)                  menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdangan.
II.)                melaksakan politik devide et impera ( memcah dan menguasai ) dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
III.)              Untuk mempererat kedudukannya, perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
IV.)              Melaksakan sepenuhnya Hak Oktroi yang diberikan pemerintah belanda, seperti :
-   hak monopoli
-   hak untuk membuat uang
-   hak nutuk mendirikan benteng
-   hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia, dan
-   hak untuk tentara.
V.)      membangun pangkalan atau markas VOC yang semula di banten dan di Ambon, dipindah ke Jayakarta ( Batavia ).
VI.)           Melaksakan pelayaran Hongi ( HOngi tocjten ).
VII.)     Adanya hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »