3 kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia
3 kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia |
Pertanian di Indonesia
telah ada semenjak jaman-jaman kerajaan Hindu & Budha. Ini terbukti menurut
beberapa kerajaan misalnya Majapahit, Singosari, Sriwijaya, & lain-lain
sudah mengenal pertanian sebagai pemasukan atau income bagi suatu kerajaan,
menggunakan memperjual belikan output berdasarkan pertanian.
Kemudian berlanjut dalam
jaman Belanda/ VOC yang menjajah Indonesia selama 350 tahun yaitu menurut tahun
1592 hingga 1942 untuk mengambil kekayaan alamnya menggunakan cara
memperkerjakan masyarakat Indonesia tanpa buruh atau dikenal menggunakan
sebutan Rodi.
Bangsa Belanda
memberlakukan monopoli perdagangan yg menyebabkan rakyat Indonesia sulit buat
hayati setelah dimuntahkan dua peraturan.
· Rakyat hanya menjual hasil rempah-rempah hanya pada VOC· Jenis tanaman dan tempat menanam rempah-rempah dipengaruhi oleh VOC
Banyak penderitaan yang
dialami oleh masyarakat Indonesia, menanamkan sistem kerja paksa atau Rodi
sehingga masyarakat Indonesia dikuras habis tenaganya sang Belanda & sangat
kejam dalam bangsa Indonesia.
Karena kebijakan ekonomi
Belanda, masyarakat Indonesia terutama masyarakat mini (petani) mengalami kerugian yg akbar.
Lantaran kebijakan ekonomi Belanda dikenal dengan sebutan Pajak Tanah. Pada
kebjakan itu disebutkan bahwa semua tanah sebagai milik pemerintah Belanda,
oleh karenanya, para petani berkewajiban membayar sewa tanah kepada Belanda,
pemungutan itu dilakukan oleh Belanda secara paksa.
Dari situ dapat
diketahui galat satu faktor kedatangan Belanda merupakan untuk mendapatkan hasil
kekayaan Indonesia. Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam menguras
kekayaan Indonesia, lantaran memang dikenal Indonsia memiliki tanah yg fertile
pula ditambah menggunakan iklim trofis yg mendukung dalam pertanian.
Akan tetapi aktivitas
pertanian pada waktu itu adalah sebuah kerugian besar bagi para petani, lantaran hasil-hasil panen
dalam waktu itu diberikan pada Belanda. Juga mendapat siksaan berupa kerja
paksa dengan upah yang minim. Kemudian petani harus membyar pajak terhadap
Belanda karena semua ladang petani adalah milik Belanda.
Penderitaan berlanjut
waktu jaman penjajahan Jepang. Meski hanya tiga tahun yaitu pada tahun 1942
hingga 1945, warga Indonesia mengalami
penderitaan yang sangat hebat diantaranya.
·
Merampas seluruh hasil pertanian
masyarakat. Seperti beras, jagung, teh, rempah-rempah, dan lain-lain. Akibatnya
banyak rakyat Indonesia yang menderita kelaparan.
·
Romusha adalah sebutan bagi orang-orang
Indonesia yang diperintah untuk kerja paksa tanpa dibayar. Kebanyakan Romusha
merupakan dari golongan petani.
·
Tanam paksa, saat Jepang menjajah
Indonesia, Jepang memberlakukan sistem tanam paksa. Dalam sistem tanam paksa,
rakyat Indonesia harus mengolah pertanian lalu diberikan kepada Jepang.
·
Pajak, walaupun petani diperintah buat
tanam paksa, namun mereka tetap wajib
membayar pajak kepada Jepang. Rakyat Indonesia wajib membayar pajak saat melewati jembatan, jalan
raya, dan fasilitas generik lainnya.
Terlihat bahwa dalam
penjajahan Jepang, para petani mengalami masa yang sangat pahit. Pemerintah
Jepang sangat kejam dan tidak ada rasa manusiawi dengan memperkerjakan rakyat
Indonesia dengan sistem tanam paksa yg memakan banyak korban terutama dari
petani, lantaran memang sistem tanam paksa ini bertujuan untuk menguras
kekeayaan Indonesia berdasarkan bidang pertanian.
Apabila kita lihat
secara akurat, bila penjajahan yg dilakukan Belanda & Jepang dengan tujuan
untuk menguras kekayaan Indonesia dibidang pertanian. Ini terbeukti menggunakan
sistem yang mereka berlakukan seperti monopoli perdagangan VOC, pajak sewa
tanah oleh Belanda, sistem tanam paksa oleh Jepang, & sistem Romusha yang
seluruhnya merugikan rakyat Indonesia terutama bagi kalangan para petani.
Berikut ini merupakan 3
kebijakan voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia, yaitu:
KEBIJAKAN POLITIK PINTU TERBUKA
Politik Pintu Terbuka
Sebagai wujud Transformasi Modal dan transformasi Agraria di Indonesia Pasca
defisit keuangan Pemerintah Belanda, para pejabat di bawah pimpinan Elout, Van
der Cappellen mulai melakukan sejumlah kebijakan internal maupun eksternal guna
meningkatkan pendapatan kerajaan, khusunya di Hindia Belanda. Kebijakan
internal yang dilakukan adalah dengan melakukan reformasi dan rasionalisasi
struktur birokrat negara.
Sejumlah pejabat yang
disinyalir melakukan korupsi ditindak secara tegas. Sedangkan di tingkat
eksternal, arah kebijakannya ditujukkan kepada daerah-daerah koloni kerajaan,
secara khusus di Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan salah satu penyebab
defisit keuangan negara adalah biaya perang yang begitu besar, terutama Perang
Diponegoro dan Perang Paderi. Selain itu juga dikarenakan VOC ( Verenigde Oost
Indische Compagnie) mengalami kerugian besar. Upaya pertama yang dilakukan
adalah penempatan Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal baru, setelah
ditinggal T.S Raffles (1811-1816) yang pulang ke Inggris. Solusi utama
peningkatan keuangan negara adalah pelaksanaan konsep tanam paksa (1830-1870).
Orientasi dari
pelaksanaan sistem tanam baru ini adalah peningkatan ekspor daerah koloni yang
diperjualbelikan di pasar internasional. Ketentuan-ketentuan dalam sistem tanam
paksa pada dasarnya adalah peningkatan surplus pertanian yang ditujukan untuk
peningkatan keuangan Belanda. Sistem tanam paksa sebenarnya merupakan lanjutan
dari kebijakan liberal dalam bentuk sewa tanah yang telah digagas Raffles.
Melalui sewa tanah,
mulai berdatangan sejumlah besar modal akibat datangnya banyak orang Eropa ke
Hindia Belanda . Namun, hal ini tidak betahan lama, karena pasca London Treaty
(1814) antara Belanda dan Inggris, maka Hindia Belanda kembali menjadi wilayah
jajahan Belanda (1816).
Sistem tanam paksa
diterapkan setelah Belanda kembali menguasai Hindia Belanda. Pelaksanaan tanam
paksa mendatangkan keuntungan yang begitu besar terhadap devisa kerajaan
Belanda, karena produk-produk pertanian yang berasal dari Hindia Belanda laku
pesat di pasar internasional, khususnya Eropa dan Amerika. Namun, terjadi
pergolakan pada akhir tahun 1869. Pada akhir 1869, pemilihan Parlemen Belanda
didominasi kelompok liberal. Kelompok liberal yang muncul pada pertengahan
abad- XIX di Belanda, melihat bahwa keuntungan yang begitu besar dari tanah
jajahan tidak hanya dimonopoli pemerintah setempat, tetapi juga harus diberikan
kepada pihak swasta berdasarkan mekanisme pasar bebas. Kelompok liberal
merupakan manifestasi dari kelas borjuis Belanda yang juga menginginkan
keuntungan dari tanah jajahan. Kelas borjuis ini menampakkan sifatnya sebagai
kelas kapital borjuis, yakni kapital yang hanya berorientasi pada keuntungan
sebesar-besarnya dari surplus pertanian.
Dampak selanjutnya
orientasi kebijakan ekonomi di Hindia Belanda juga terpengaruh. Kepemilikan
pemerintah yang begitu dominan di bidang pertanian, khususnya kepemilikan
tanah, kemudian harus berganti menjadi kepemilikan swasta. Terjadi swastanisasi
terhadap sektor pertanian dan perkebunan di Hindia Belanda. Banyak perkebunan
swasta bermunculan di Sumatera Timur dan sebagian besar Jawa. Tanaman-tanaman
perkebunan seperti kopi, kina, kopra, kapas menjadi tanaman ekspor yang cukup
laku di pasaran internasional. Hal ini kemudian memunculkan sekelompok
pengusaha-pengusaha baru yang berasal dari Eropa yang menguasai hampir semua
surplus kemakmuran dari sektor pertanian.
Melihat hal ini Gubernur
Jenderal Van Den Bosch berusaha mengikis kepemilikan swasta yang berlebih
dengan sistem bagi hasil yang sebagian besar dikuasai pemerintah Belanda. Kelas
kapital negara muncul atas kegelisahan Van Den Bosch tersebut. Negara
menginginkan dominasi dalam penguasaan keunutngan dari tanah jajahan. Beberapa
langkah yang ditempuh adalah penetapan beberapa undang-undang, seperti :
1. Undang-Undang Perbendaharaan Hindia Belanda (Indische Comptabiliteitswet) tahun 1867 yang menyatakan bahwa anggran belanja Hindia belanda harus ditetapkan dengan undang-undang, jadi dengan persetujuan Parlemen belanda
2. Undang-Undang Gula (Suikerwet) tahun 1870, berisi ketetapan bahwa tanaman tebu adalah tanaman monopoli pemerintah berangsur-angsur akan dihilangkan sehingga di Pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta.
3. Undang-Undang Agraria (Agrarichwet) yang berisi :
·
Tanah di Hindia Belanda (Indonesia)
dibedakan atas dua, yakni tanah rakyat dan tanah pemerintah
·
Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik
yang sifanya bebas dan tanah desa yang miliknya tidak bebas. Tanah rakyat tidak
boleh dijual kepada bangsa asing, hanya boleh disewakan
·
Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah
milik atau disewakan selama 75 tahun
Melalui kebijakan tanam
paksa, kepemilikan modal tetap diberikan kepada swasta yang bekerjasama dengan
pemerintah. Kebijakan ini memunculkan sejumlah besar modal asing yang berasal
dari Eropa dan Amerika. Era ini kemudian dikenal dengan Politik Pintu Terbuka
(Open Door Policy). Selain muncul begitu banyak perkebunan, seperti teh,kopi,kina,
serat nanas, kelapa sawit, juga terdapat pembukaan pertambangan di Hindia
Belanda, seperti minyak di Sumatera dan Kalimantan, batubara di Sumatera Barat
dan Selatan, serta timah di Kepulaan Bangka. Masuknya modal swasta ini,
kemudian menuntut bukan hanya keuntungan, tetapi dengan keuntungan yang
diperoleh ini mampu memberikan keuntungan lagi melalui proses industri yang
bernafaskan efisiensi dan efektivitas. Kemudian muncullah jalur kereta api di
Hindia belanda, jalan raya, pelabuhan dan sejumlah infrastruktur lainnya demi
tercapainya modernitas, khususnya sektor pertanian.
Gaya kapitalis negara,
berubah menjadi kapiltalis industri yang didominasi pengusaha-pengusaha Eropa
dan Amerika. Era baru masuknya modal ini justru membuat masyarakat semakin
sengsara. Kondisi pertanian dalam negeri bersifat eksplosif dan eklsploitatif
demi memenuhi kebutuhan ekspor dan pendapatan negara Belanda. Sedangkan para
petani semakin sulit unutk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Kolonialisme telah mengubah struktur masyarakat Indonesia dan pola pertanian
bangsa ini.
Berdasarkan pola tanam
baru ini (cultuuer stelsel), secara tidak langsung mengubah transformasi
agraria di Indonesia. Masyarakat Indonesia dipaksakan menyeragamkan komoditi
pertanian demi kepentingan ekspor. Padahal masyarakat Indonesia masih
menerapkan pola pertanian tradisional yang bersifat subsisten. Petani Indonesia
pada dasarnya menggunakn pola produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, kalupun terdapat kelebihan produksi (over production), kelebihan
produksi ini dipertukarkan dengan kebutuhan pokok lainnya. Hal ini berubah
setelah pihak kolonial menerapkan pola tanam paksa, dengan memaksa petani
menanamkan produk-produk pertanian berorientasi ekspor yang laku di pasar
internasional, seperti kopi, teh,kina,kapas, kelapa sawit . Selain itu,
penggunaan asupan pertanian baru seperti pupuk kimia, traktor, mesin giling,
dan berbagai input lainnya membuat pola pertanian Indonesia bergantung kepada
asupan peningkatan produksi pertanian dari luar negeri. Sistem produksi
pertanian Indonesia rentan terhadap input-input pertanian yang berasal dari
Eropa.
Berikutnya adalah
hancurnya transformasi agraria di Indonesia. Secara sederhana, transforma
agraria adalah peralihan masyarakat dari feodal dan agraris ke masyrakat
kapital dan industrialis. Berpindahnya penduduk pedesaan yang semula agraris
menjadi pekerja sektor modern karena tumbuhnya berbagai bidang kerja sektor
modern. Struktur masyarakat pertanian Indonesia, idealnya mengalami hal ini,
tetapi dihambat oleh arus kolonialisme. Konsepsi Adam Smith bahwa dalam proses
transformasi agraria akan memunculkan kelas pekerja, tuan tanah dan kelas
kapitalis. Upah, sewa tanah dan modal merupakan output dari munculnya ketiga
kelas sosial tersebut. Masyarakat Barat melewati proses yang menyeluruh dari
transformasi agraria. Kelas tuan tanah memiliki surplus pertanian yang
dikonversi menjadi teknologi pertanian yang berevolusi menjadi industrialisasi.
Terjadinya
industrialisasi yang menuntut efektivitas dan efisiensi produksi membuat sektor
pertanian mengalami evolusi menjadi pertanian berbasis agroindustri dan
agrobisnis. Kelas tuan tanah berubah menjadi kelas pemilik modal (kapitalis).
Ditambah dengan berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi, maka proses transformasi
masyarakat petani di Eropa berjalan maksimal dan menyeluruh. Sedangkan di
Indonesia, pasca masuknya modal asing dan perubahan pola pertanian lokal, maka
proses transformasi juga berjalan mandet, bahkan tidak berjalan sama sekali.
Masyarakat petani di Indonesia, dibagi atas petani sawah (Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi Selatan), petani ladang berpindah (Kalimantan, sebagian besar
Sulawesi, NTT) serta petani peramu dan pemburu (Papua) .
Pihak kolonial
menghancurkan tatanan pertanian tersebut dan menggantinya dengan pertanian
kapital, dimana surplus pertanian tidak dinikmati oleh para tuan tanah dan
kelas pekerja, tetapi dikuasai kelas kapitalis, baik kapitalis borjuis,
kapitalis negara maupun kapitalis industri. Kelas tuan tanah di Indonesia
semasa diberlakukan open door policy, hanya dijadikan pengumpul pajak dan upeti
bagi pemerintah, sebagai imbalannya mereka diberi gaji dan mendaptkan
kepercayaan sebagai bagian integral dari pemerintah kolonial. Sedangkan kelas
pekerja yang diisi oleh para petani gurem dan miskin, hanya menjadi sapi perah
pemodal dan pemerintah. Sistem produksi subsisten diganti menjadi pertanian
berorientasi ekspor, yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan petani di Indonesia. Akumulasinya adalah di Indonesia, kelas tuan
tanah semakin terlantar dan tidak menikmati sewa tanah dan petani tidak
mendapat upah yang layak seperti yang tertera dalam platform wealth of
nationsnya Adam Smith. Wealth of nation hanya diberikan kepada pihak kolonial
Belanda, sedangkan Indonesia hanya menjadi sapi perahan dan lumbung kuli bagi
bangsa lain.
KEBIJAKAN POLITIK TANAM PAKSA
Cultuurstelsel
(harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai
Sistem Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam
Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van
den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian
tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum
(nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga
yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya
peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian
wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan
Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap
dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama
setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era
paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa
ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal
pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang
memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku
penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian
dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870
dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah
penjajahan Indonesia.
Pada tahun 1830 pada
saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar
(Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin
khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama
mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran
pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa
berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada
pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama
desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian
tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila).
Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima
luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam
paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari
penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti
dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti
membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa
diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang
tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial
memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang
membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial
Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia
tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta
gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran
belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan
Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung
atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta
api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami
surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij
(NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini,
produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843,
muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah,
tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras
dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun
untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program
yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria
1870.
KEBIJAKAN POLITIK ETIS
Politik Etis atau
Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah
kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran
ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum Etis yang
di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van
Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih
memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu
Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen
Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi
(een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum
dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
2. Menambah jumlah pasukan dalam angkatan perang dari 3000 orang menjadi 20.000 orang.
3. Membangun pabrik senjata di Gresik dan Semarang. Hal itu dilakukan karena beliau tidak dapat mengharapkan lagi bantuan dari Eropa akibat blokade Inggris di lautan.
4. Membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dan Surabaya.
1. Membentuk Dewan Pengawas Keuangan Negara (Algemene Rekenkaer) dan dilakukan pemberantasan korupsi dengan keras.
2. Mengeluarkan uang kertas.
3. Memperbaiki gaji pegawai.
4. Pajak in natura (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) yang diterapkan pada zaman VOC tetap dilanjutkan, bahkan ditingkatkan.
5. Mengadakan monopoli perdagangan beras.
6. Mengadakan Prianger Stelsel, yaitu kewajiban bagi rakyat Priangan dan sekitarnya untuk menanam tanaman ekspoer (seperti kopi).
2. Perbudakkan dibiarkan berkembang.
3. Menghapus upacara penghormatan kepada residen, sunan, atau sultan.
4. Membuat jaringan pos distrik dengan menggunakan kuda pos.
Banyak pihak
menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan
tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya,
sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan
kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk
perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan
penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya
pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis
dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda.
Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah
Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan
selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah,
baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di
daerah-daerah.
Sementara itu, dalam
masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda
dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin
terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai
tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri
dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup
proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.
Pada dasarnya
kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para
pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
· Irigasi
Pengairan
hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
· Edukasi
Pemerintah
Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh
rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang
yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I
untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah
kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
· Migrasi
Migrasi ke daerah
luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang
besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di
Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan
kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak
yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang
menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dari ketiga kebijakan
voc di bidang pertanian yang diterapkan di Indonesia ini, terjadi karena lebih
banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda.
Perkembangan Pertanian di Indonesia Pada Orde Lama
Masa Orde lama
berlansung dari tahun 1945 sampai 1968. Perkembangan pertanian di Indonesia
pada masa orde lama ini, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor
industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan
kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik
seperti pendanaan dari bank.
Tidak banyak yang
dilakukan pada periode ini dalam mengembangkan pertanian. Karena pada jaman ini
masih ada dampak-dampak dari para penjajah sperti inflasi yang sangat tinggi,
adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menuntup
pintu perdagangan luar negeri.
Indonesia baru
merencakan untuk sektor pertanian (kasmi plan) yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti mahzab
Fisiokrat: sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Kesibukan pemerintah
tidak hanya ditujukan dalam sektor pertanian, tetapi juga dalam sektor-sektor
lain seperti politik, ekonomi, dan lain-lain yang membangun
infrastruktur-infrastruktur di Indonesia. Jadi wajar jika perkembangan
pertanian pada periode ini masih belum menunjukan adanya perubahan dalam bidang
pertanian.
Begitu juga pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1967) sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli
1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah).
Perkembangan Pertanian di
Indonesia pada Orde Baru
Perkembangan Pertanian di
Indonesia pada Masa Orde Baru ini pemerintah harus menelan pil pait dari
buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk
rehabilitas ekonomi. Pemerintah pada waktu itu berusaha untuk menurunkan
tingkat inflasi dengan menstabilkan harga. Dengan dikendalikan inflasi,
stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang
mulai terjamin. Dan sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk
rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Yang dibagi kedalam enam periode.
· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada Masa REPELITA I (1969-1974)
Repelita I dilaksanakan
pada tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Ini merupakan landasan awal
untuk memajukan ekonomi di Indonesia yang tujuannya untuk menaikan pertumbuhan
ekonomi sekitar 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup
pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian.
Titik berat Repelita ini adalah pembangunan pembangunan bidang pertanian sesuai
dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi memalui proses pembaharuan
dalam bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari
hasil pertanian.
· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA II (1974-1979)
Repelita II ini dimulai
sejak 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Dengan target pertumbuhan ekonomi
sebesar 7,5% per tahun. Perioritasnya adalah sektor pertanianyang merupakan
dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar
tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Selain
memprioritaskan pertanian juga untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat,
dan Repelita II ini berhasil mencapai angka 7% per tahun.perbaikan dalam hal
irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikan produksi. Lalu banyak jalan
dan jembatan yang di rehabilitas.
· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA III (1979-1984)
Repelita III dimulai
pada tanggal 1 April 1797 hingga 31 Maret 1984. Repelita III ini lebih
menekankan pada Trilogi Pembangunan yang brtujuan terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijakan
ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan
nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemetaan.
· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA IV (1984-1989)
Repelita IV mulai
dilaksanakan pada 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Repelita IV ini adalah
terusan dari Repelita III. Prioritas utamanya adalah untuk memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan industri sendiri. Hasil yang dicapai pada
Repelita IV ini yaitu swasembada pangan, dimana oada tahun 1984 Indonesia
berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Dan berhasil mendaptkan
penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) Selain itu, juga
diberlakukan sistem KB dan Rumah untuk keluarga.
· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA V (1984-1994)
Repelita V ini dimulai
pada 1 April 1984 hingga 31 Maret 1994. Repelita ini lebih menitik beratkan
pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita V ini adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama.
Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang kedua, yaitu dengan mengadakan
Repelita VI yang diharapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia
untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri menuju terwujudnya masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
· Perkembangan Pertanian di Indonesia pada masa REPELITA VI (1984-1994)
Repelita ini masih
menitik beratkan pada pembangunan sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri
dan pertanian serta pembangunan serta pembangunan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Kebijakan Daendels, Raffles, dan VOC di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan Pemerintahan Herman W. Daendel
Sebagai seorang
revolusioner, Daendels sangat mendukung perubahan-perubahan liberal. Beliau
juga bercita-cita untuk memperbaiki nasib rakyat dengan memajukan pertanian dan
perdagangan. Akan tetapi, dalam melakukan kebijakan-kebijakannya beliau
bersikap diktator sehingga dalam masa pemerintahannya yang singkat, yang
diingat rakyat hanyalah kekejamannya. Pembaruan-pembaruan yang dilakukan
Daendels dalam tiga tahun masa jabatannya di Indonesia adalah sebagai berikut.
I.)
Bidang Birokrasi Pemerintahan
1. Dewan
Hindia Belanda sebagai dewan legislatif pendamping gubernur jenderal dibubarkan
dan diganti dengan Dewan Penasihat. Salah seorang penasihatnya yang cakap ialah
Mr. Muntinghe.
2. Pulau
Jawa dibagi menjadi 9 prefektuur dan 31 kabupaten. Setiap prefektuurdikepalai
oleh seorang residen (prefek) yang langsung di bawah pemerintahan Wali Negara.
Setiap residen membawahi beberapa bupati.
3. Para
bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda dan diberi pangkat sesuai dengan
ketentuan kepegawaian pemerintah Belanda. Mereka mendapat penghasilan dari
tanah dan tenaga sesuai dengan hukum adat.
II.)
Bidang Hukum dan Peradilan
1. Dalam
bidang hukum, Daendels membentuk 3 jenis pengadilan.
- Pengadilan untuk orang
Eropa.
- Pengadilan untuk orang
pribumi.
- Pengadilan untuk orang
Timur Asing.
Pengadilan untuk pribumi
ada di setiap prefektuur dengan prefek sebagai ketua dan para bupati sebagai
anggota. Hukum ini diterapkan di wilayah kabupaten, sedangkan di wilayah
prefektuur seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya diberlakukan hukum Eropa.
2. Pemberantasan
korupsi tanpa pandang bulu, termasuk terhadap bangsa Eropa sekalipun. Akan
tetapi, Daendels sendiri malah melakukan korupsi besar-besaran dalam penjualan
tanah kepada swasta.
III.)
Bidang Militer dan Pertahanan
Peta jalur Anyer-Panarukan yang dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Rakyat melakukan pembuatan jalan ini dengan kerja paksa atau Rodi |
Dalam melaksanakan tugas
utamanya untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, Daendels
mengambil langkah-langkah berikut ini.
1. Membangun jalan antara Anyer-Panarukan, baik sebagai lalu lintas pertahanan maupun perekonomian.2. Menambah jumlah pasukan dalam angkatan perang dari 3000 orang menjadi 20.000 orang.
3. Membangun pabrik senjata di Gresik dan Semarang. Hal itu dilakukan karena beliau tidak dapat mengharapkan lagi bantuan dari Eropa akibat blokade Inggris di lautan.
4. Membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dan Surabaya.
IV.)
Bidang Ekonomi dan Keuangan
1. Membentuk Dewan Pengawas Keuangan Negara (Algemene Rekenkaer) dan dilakukan pemberantasan korupsi dengan keras.
2. Mengeluarkan uang kertas.
3. Memperbaiki gaji pegawai.
4. Pajak in natura (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) yang diterapkan pada zaman VOC tetap dilanjutkan, bahkan ditingkatkan.
5. Mengadakan monopoli perdagangan beras.
6. Mengadakan Prianger Stelsel, yaitu kewajiban bagi rakyat Priangan dan sekitarnya untuk menanam tanaman ekspoer (seperti kopi).
V.)
Bidang Sosial
1. Rakyat dipaksa melakukan kerja paksa (rodi) untuk membangun jalan Anyer-Panarukan.2. Perbudakkan dibiarkan berkembang.
3. Menghapus upacara penghormatan kepada residen, sunan, atau sultan.
4. Membuat jaringan pos distrik dengan menggunakan kuda pos.
B. Kebijakan-Kebijakan Raffles :
I.)
Bidang Birokrasi dan Pemerintahan
Langkah-langkah Raffles
pada bidang pemerintahan adalah:
1. Membagi
Pulau Jawa menjadi 18 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai
tahun 1964)
2. Mengubah
sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem
pemerintahan kolonial yang bercorak Barat
3. Bupati-bupati
atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh
secara turun-temurun
4. Sistem
juri ditetapkan dalam pengadilan
II.)
Bidang Ekonomi dan Keuangan
Petani diberikan kebebasan untuk
menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar
untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib
(verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC. Menetapkan
sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan pemerintah kolonial.
Pemungutan pajak secara perorangan.
III.)
Bidang Hukum
Sistem peradilan yang
diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena
Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada
besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai
berikut:
Court of Justice
, terdapat pada setiap
residen
Court of Request,
terdapat pada setiap divisi
Police of Magistrate
IV.)
Bidang Sosial
Penghapusan kerja rodi
(kerja paksa) dan penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia melanggar
undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan.
Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan
harimau.
V.)
Bidang Ilmu Pengetahuan
1. Ditulisnya
buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817 dan dibagi dua jilid
2. Ditulisnya
buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Eidenburg pada tahun
1820 dan dibagi tiga jilid
3. Raffles
juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan
ilmu pengetahuan
4. Ditemukannya
bunga Rafflesia Arnoldi
5. Dirintisnya
Kebun Raya Bogor
6. Memindahkan
Prasasti Airlangga ke Calcutta, India sehingga diberi nama Prasasti Calcutta
Dari kebijakan ini,
salah satu pembaruan kecil yang diperkenalkannya di wilayah kolonial Belanda
adalah mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri, yang
berlaku hingga saat ini.
C. Kebijakan- kebijakan VOC :
I.)
menguasai pelabuhan-pelabuhan dan
mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdangan.
II.)
melaksakan politik devide et impera (
memcah dan menguasai ) dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di
Indonesia.
III.)
Untuk mempererat kedudukannya, perlu
mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
IV.)
Melaksakan sepenuhnya Hak Oktroi yang
diberikan pemerintah belanda, seperti :
-
hak monopoli
-
hak untuk membuat uang
-
hak nutuk mendirikan benteng
-
hak untuk melaksanakan perjanjian dengan
kerajaan di Indonesia, dan
-
hak untuk tentara.
V.) membangun pangkalan atau markas VOC yang
semula di banten dan di Ambon, dipindah ke Jayakarta ( Batavia ).
VI.) Melaksakan pelayaran Hongi ( HOngi
tocjten ).
VII.) Adanya hak ekstirpasi, yaitu hak untuk
membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan